Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
Selasa, 27 Januari 2015
Tarbiyah Madal Hayah, Jangan Berhenti Kawan!
By Unknown05.23Dakwah Kampus, Islam For World, Mohamad Khaidir, Tarbiyah Tsaqofiyah, Taujih Thulaby, TausyiahNo comments
Palu, Diruang tengah, 13 Januari 2015
Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
dakwatuna.com – Gedung yang begitu megah berdiri
didepan jalan utama Kota Palu, pola arsitek gedung tersebut benar-benar
mencerminkan budaya khas daerah Sulawesi Tengah. Desain khas gedung
tersebut menunjukkan bahwa betapa bangsa ini sangat menghargai para
pendahulunya dari sisi kebudayaan dan struktur sosial. Betapa luhurnya
budi pekerti bangsa ini yang menghormati para pendahulu dan mewujud
nyata dalam hal-hal yang bersifat fisik. Desain gedung, baruga, batik
bomba, kayu hitam, yang menjadi ciri khas Sulawesi Tengah. Betapa
besarnya bangsa ini ketika tim sepakbola nasional bangsa ini sedang
bertanding dikancah internasional, para supporter dengan bangga
mengenakan baju merah putih berlambang Burung Garuda lambang Negara
ini. Segala hal yang berkaitan dengan pembangunan sarana prasarana dan
infrastrukstur atau dengan kata lain pembangunan fisik begitu
diprioritaskan. Hal ini terbukti dari sebagian besar Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) digelontorkan untuk pembangunan fisik, dan
hal-hal yang berkaitan dengan yang tampak di mata kita. Mungkin sebagian
besar dari kita semua lupa dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya,
“Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Raganya, Untuk Indonesia Raya..”.
Gedung
kebanggaan Sulawesi Tengah tersebut, atau sering disebut Gedung Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Tengah (DPRD Sulteng) telah menjadi
pilihan sekelompok mahasiswa yang aktif berlembaga untuk mengadakan
musyawarah. Agenda tahunan inipun tidak penulis sia-siakan untuk
menghadirinya, sebagai bentuk tanggungjawab moril sebagai orang yang
pernah berkecimpung di dalam dunia dakwah kampus meskipun sudah
berstatus sebagai purna atau alumni. Ini sudah yang keenam kalinya
penulis mengikuti agenda musyawarah besar Mahasiswa Pecinta Mushallah
(MPM) Al-Iqra’ Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako, pengalaman pertama
mengikuti musyawarah besar penulis pernah diamanahkan sebagai
sekretaris dalam kepanitiaan. Agenda ini juga menjadi ajang silaturrahim
para panitia, anggota, dan seluruh kader dakwah kampus baik yang sudah
alumni maupun yang masih berstatus sebagai mahasiswa. Terus terang saja,
kerinduan untuk menjadi pionir utama dakwah kampus masih ada, dan masih
sangat merindukan kehangatan persaudaraan ketika masih menjadi pengurus
lembaga dakwah. Namun, sudah menjadi sunnatullah bahwa setiap masa ada orang-orangnya dan setiap orang-orang ada masanya.
Aula
Gedung DPRD Sulteng terdengar begitu gaduh dengan argumen-argumen
cerdas dan retorika yang merupakan ciri khas kaum intelektual. Layaknya
para pejabat Negara, berbagai pendapat dikemukakan dengan memperhatikan
etika dan adab-adab persidangan. Bagaimana tidak, mereka para peserta
sidang adalah orang-orang yang ter-tarbiyah dengan baik. Mereka
para peserta sidang adalah orang-orang intelektual yang memiliki akhlak
yang baik karena memiliki keinginan untuk berubah menjadi pribadi yang
lebih baik melalui kegiatan mentoring yang dijalani setiap
pekannya. Mereka para aktifis dakwah kampus tersebut adalah orang-orang
yang mampu menjadi teladan di antara teman-teman seangkatannya, memiliki
perangai yang baik dalam bersikap, di rumah, di kampus, di manapun
mereka berada. Sebagaimana teladan sejati umat manusia sepanjang masa,
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang mampu menjadi khalifah yang
bijaksana, ayah yang penyayang, sahabat yang baik, panglima perang yang
tegas, pada saat yang bersamaan, di manapun dan kapanpun akan menjadi
teladan terbaik. Mengutip perkataan George Bernard Shaw, “alangkah
butuhnya dunia di era modern ini kepada seorang pribadi seperti
Muhammad, yang dapat memecahkan berbagai persoalan pelik sembari meneguk
secangkir kopi”.
Sidang pleno Lembaga Dakwah Fakultas MPM
Al-Iqra’ masih berlangsung, dan perdebatan semakin hebat ketika memasuki
pembahasan struktur lembaga MPM yang oleh beberapa ikhwah berinisiatif
untuk mengubahnya, tidak lain dan tidak bukan perubahan struktur
tersebut mempunyai maksud yang baik demi kemajuan dakwah kampus kedepan.
Mungkin perdebatan pendapat yang cukup panjang ini, terkait perubahan
struktur, bisa saja meruncing sampai pada konflik. Tetapi hal tersebut
adalah dinamika yang harus disikapi dengan kedewasaan cara berpikir dan
bertindak. Mungkin juga, eratnya persaudaraan sebuah lembaga dakwah yang
mempunyai jargon keep ukhuwah perlu dibumbui dengan konflik
agar semakin dinamis. Ingin rasanya mengutip pemikiran salah seorang
penulis hebat dari Kota Yogyakarta, dalam bukunya “Dalam Dekapan
Ukhuwah”, bahwa salah satu hal yang membuat persaudaraan semakin erat
adalah engkau pernah berkonflik dengan dia.
Perjalanan dakwah
kampus adalah perjalanan yang sangat menginspirasi, seharusnya dan
sepantasnya, orang-orang yang telah memilih jalan ini akan semakin baik
dalam tindak-tanduknya, semakin dewasa cara berpikirnya. Yang menjadi
ironi adalah ketika orang-orang yang telah memilih untuk bergabung dalam
barisan dakwah kampus, kehidupan pasca kampusnya terasa biasa-biasa
saja tanpa perubahan yang berarti, bahkan lebih ironi lagi apabila
terjadi kemunduran dalam kualitas hidupnya. Dengan bangganya berkata,
“dulu saya pernah tarbiyah, lalu berhenti..”, “dulu saya pernah ikut liqa,
lalu nggak lanjut lagi..”. sungguh sangat-sangat ironi terjadi
kemunduran cara berpikir, cara bertindak, semakin kekanak-kanakan
sikapnya, padahal pernah menjadi aktifis dakwah kampus. Lebih parah
lagi, seorang aktifis dakwah kampus yang ketika sudah menjadi alumni
malah semakin jauh dari Allah dan aktifitas dakwah.
Mungkin,
sebagian besar dari aktifis dakwah kampus akan terkaget-kaget dengan
realitas yang ada di masyarakat ketika menyelesaikan masa studinya di
kampus. Betapa berbeda alam idealis dan alam realitas. Mungkin sebagian
besar dari para aktifis dakwah kampus akan sedikit shock dengan
perubahan iklim sosial yang begitu drastis ketika memasuki dunia kerja.
Ada perbedaan secara sosio-kultural yang bisa saja kita pun terpengaruh
dan terjerumus dalam derasnya arus globalisasi dan tak terkendalinya
penyebaran paham sekuler dan liberal, yang bisa saja hal ini membuat
status kita yang dulunya adalah seorang aktifis dakwah malah menjadi
seseorang yang justru antipasti terhadap dakwah.
Melalui tulisan
seorang penulis amatiran yang masih harus banyak belajar ini, penulis
ingin mengingatkan kepada para pembaca dan lebih khusus kepada diri
penulis pribadi, untuk jangan pernah berhenti belajar dan berproses.
Ketika status sosial yang semakin meningkat, perubahan fisik, psikis,
dan ekonomi, membuat kita semua justru semakin jauh dari Allah bahkan
menjadi para penentang dakwah. Tanpa kita sadari dakwah ini menjadi
penyebab semakin berkualitasnya diri kita di hadapan manusia dan di
hadapan Allah SWT. Teruslah berproses dan belajar! Jangan pernah
berhenti! Bisa jadi masa-masa saat menjadi aktifis dakwah kampus tilawah
Quran kita setiap hari, seharusnya kehidupan pasca kampus tilawah Quran
kita semakin menjadi berkualitas dari segi tajwid dan hafalan. Bahkan,
bila perlu tidak hanya dibaca saja, tetapi ditadabburi, dipahami,
diamalkan, dan didakwahkan. Jangan berhenti kawan! Boleh jadi, kita
adalah orang- orang yang rajin mengikuti mentoring saat menjadi mahasiswa, namun pada saat menjadi alumni malah menjadi malas untuk hadir di liqa’.
Seharusnya, kita menyadari bahwa pertemuan pekanan tersebut adalah
kebutuhan diri kita dan untuk kebaikan diri kita sendiri. Jangan pernah
berhenti kawan! Jangan berhenti untuk belajar! Karena tarbiyah mengajari kita begitu banyak hal, termasuk tentang tarbiyah madal hayah, bahwa proses tarbiyah berlangsung sepanjang hidup kita. Jangan berhenti kawan!