This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 17 Maret 2011

MEMBACA KEGELISAHAN ZAMAN

“Si Gila,” tulis Nietsche, “Tidakkah kalian dengar tentang si Gila yang menyulut lentera pada jam-jam pagi yang benderang; ia lari masuk pasar dan terus berteriak: ‘Saya mencari Tuhan! Saya mencari Tuhan!’ Si Gila tertawa terbahak-bahak kegirangan di tengah-tengah orang banyak yang berdiri. Mereka sudah tidak percaya kepada Tuhan. Seorang di antara mereka berkata: ‘Apakah engkau ini telah kehilanganNya?’ Yang lain berucap: ‘Apakah Ia (Tuhan) telah tersesat seperti seorang bocah? Atau bersembunyikah Ia? Takutkah Ia kepada kita? Mengembarakah Ia? Atau Ia telah berpindah?’ Begitulah ocehan mereka sambil tertawa.”

“Si Gila lalu meloncat ke tengah mereka dan menembus mereka bersama suluhnya. Ia berteriak, ‘Ke manakah Tuhan larinya?’ Aku akan jelaskan kepada kalian. Kita telah membunuhnya–kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuh…. Bukankah lentera itu harus dinyalakan di kala pagi? Belumkah kita dengar para penggali pusara yang sedang mengubur Tuhan? Tuhan telah mati. Tuhan tetap mati!”

God is dead. God remains dead! Demikian teriak Nietsche menggambarkan kegilaan zaman, sebelum akhirnya ia sendiri mengalami kegilaan total sampai saat ajal menjemputnya tahun 1900. Kisah di atas yang dikutip oleh Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif (dalam: “Islam dan Politik, Upaya Membingkai Peradaban”, Pustaka Dinamika, Cirebon, 1999) menggambarkan betapa humanisme sekuler modern merupakan petaka yang amat mengerikan bagi sejarah kemanusiaan. Bagi Nietsche, bukan saja Tuhan tidak ada, melainkan prinsip tata tertib dan keteraturan alam semesta dan manusia juga tidak ada.

Kegelisahan peradaban modern telah diungkap oleh banyak pena, berikut berbagai hujatan yang diarahkan kepada “sebab-sebab” pemicu munculnya kegelisahan tersebut. Tak kurang dari Toynbee, ia melancarkan kritik habis-habisan terhadap peradaban modern yang dianggapnya telah melahirkan materialisme dan kegelisahan spiritual yang amat dahsyat. Ia menunjuk dua kali perang dunia serta sistem totalitarianisme sebagai anak kandung yang lahir dari rahim abad sekuler ini.

Dengan ungkapan yang sedikit berbeda, Solzhenitsyn, seorang sastrawan Rusia, melihat peradaban modern sebagai kekuatan yang menghancurkan kriteria baik dan buruk. Dalam bukunya, The Gulag Archipelago, ia mempertanyakan hal yang amat mendasar, “Apabila kriteria baik dan buruk sudah tersingkir, adakah lagi yang masih tersisa pada diri manusia itu?” Solzhenitsyn menerawang ke depan, baginya iklim kemanusiaan semakin hari semakin meredup saja. Manusia kehilangan sesuatu yang amat berharga dalam dirinya, dan akhirnya merusakkan banyak sendi kehidupan. Ini semua, menurut Roger Geraudy, disebabkan oleh humanisme renaisanse.

“Kita lihat bahwa malapetaka yang dihadapi oleh kemanusiaan sekarang, pertama-tama dan terutama sekali adalah malapetaka kemanusiaan. Kemanusiaan adalah spesies yang sedang runtuh. Ia sedang mengalami metamorfosis, dan persis seperti kupu-kupu yang lepas dari kepompong, ia berada dalam bahaya akibat keberhasilan kecerdasan dan usahanya,” catat Ali Syari’ati mengkritisi kondisi kemanusiaan zaman modern ini.

“Yang mengherankan lagi,” tambah Syari’ati, “sepanjang sejarah, kemanusiaan biasa dikorbankan untuk cita-cita pembebasannya sendiri. Dalam sejenis pusaran sejarah, rindu akan pembebasan telah menempa rantai belenggu manusia, dan dengan menawarkan harapan untuk bebas malah mengantarkan manusia ke dalam jebakan!”

Kegelisahan dunia modern memang disorot dengan sangat tajam oleh banyak ahli. Fritjof Capra (2007), misalnya, ia mengawali tulisannya dalam buku The Turning Point dengan analisis tentang krisis global saat ini. Menurutnya, krisis ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sepanjang sejarah umat manusia:
“Pada awal dua dasawarsa terakhir abad keduapuluh, kita menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks multidimensional yang sei-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan, kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi dan politik. Krisis ini terjadi dalam dimensi intelektual, moral dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia” (Fritjof Capra, 2007).

Bahkan Daoed Joesoef menengarai adanya “kehampaan makna” yang sangat membahayakan kehidupan bahkan peradaban manusia, yang tengah menggejala dalam tubuh masyarakat dunia saat ini:
“Dengan semakin pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan ternyata disamping meningkatnya manfaat dan kebaikan, semakin banyak pula kerugian dan keburukan yang ditimbulkannya. Daftar dari cacat-cacat ilmu pengetahuan modern ini dapat dimulai dengan alat membunuh yang telah dikutuk oleh semua orang, yaitu bom nuklir, senjata kimia dan lain-lain, sampai artikel yang diperdebatkan aspek moralnya, seperti bayi tabung, rekayasa genetik-sintetik, obat bius, behavioral psichology, reductionist materialism, dan lain-lain”.
Lebih lanjut Daoed Joesoef menegaskan, “Di samping semua kebutuhan tersebut, masih ada hal lain yang mengganggu pikiran, suatu kehampaan yang pantas dicemaskan, mengingat ia adalah produk langsung dari sikap ilmiah para ilmuwan itu sendiri dan berhubung dengan itu penanganannya bukan merupakan tugas politik. Kehampaan ini mencemaskan karena bekerjanya halus seperti racun, bukan membusukkan daging dan menghancurkan tulang, tetapi melumpuhkan jiwa manusia. Hal yang dicemaskan ini adalah kehampaan makna dari kegersangan psikis” (Daoed Joesoef, 1990).

Ada dua kecenderungan yang senantiasa ditampakkan oleh sejarah secara ekstrem: satu sisi kecenderungan kepada kebenaran, sisi lain cenderung pada kebatilan. Satu bagian bekerja konstruktif, bagian lain bekerja destruktif. Sebagaimana sejarah kegelapan dan pencerahan, sejarah kejahiliahan dan kejayaan adalah dua sisi sejarah yang akan terus berhadap-hadapan.

Sejarah peradaban materialisme telah diungkapkan oleh Al Qur’an sebagai dinamika kontemporer yang senantiasa mengemuka dari zaman ke zaman. Tiga peradaban materialisme terdahulu telah diungkapkan Al Qur’an sebagai sebuah pemberitaan mengenai usang dan rapuhnya paham serba materi yang mereka miliki. Perhatikan bagaimana Allah Ta’ala mencatat sejarah kesombongan dan akhirnya kejatuhan mereka:
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah berbuat kepada kaum ‘Ad? (Yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah, dan kaum Fir’aun yang mempunyai pasak (tentara) yang banyak, yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu. Karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti adzab. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi” (Al Fajr: 6-14).

Sebagaimana peradaban materialisme ‘Ad, Tsamud dan Fir’aun telah diabadikan kisahnya dalam Al Qur’an, peradaban profetik para nabi dan rasul terdahulu juga dikisahkan sebagai sesuatu yang akan senantiasa mengemuka sepanjang zaman. Allah Ta’ala mengabadikan kisah pengepungan peradaban Fir’aun terhadap peradaban profetik Nabi Musa as, tatkala Musa dan pengikutnya dikejar-kejar oleh Fir’aun bersama tentara kerajaan.
Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: Sesungguhnya kita akan benar-benar tersusul! Musa menjawab: Sekali-kali tidak akan tersusul, sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku” (Asy Syu’ara: 61-62).

Sedemikian tinggi makrifat Nabi Musa as terhadap Allah Ta’ala, membuatnya merasa senantiasa terjaga. Tidak ada kekhawatiran pada dirinya menghadapi kekuatan-kekuatan yang mengancam. Sangat kokoh jawaban Musa atas kekhawatiran kaumnya, “Sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” Demikian pula Nabi Muhammad saw, telah diabadikan kisahnya tatkala dikejar masyarakat paganis, Quraisy:
Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: ‘Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita. Maka Allah menurunkan ketenanganNya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya” (At Taubah: 40).

Menghadapi ancaman serius dari masyarakat paganis yang mengejar tersebut, ada keyakinan luar biasa yang hanya dimiliki oleh masyarakat berperadaban makrifat: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.”

Demikianlah dua peradaban telah berdiri berhadapan sepanjang sejarah kemanusiaan. Sebuah peradaban tengah mengubur Tuhan, satu lagi tengah berjalan menuju Tuhan. Peradaban materialisme yang menjadikan serba materi sebagai landasan berpijak, dan peradaban profetik yang menjadikan keimanan kepada Allah dan kenabian sebagai landasan berpijak. Dari waktu ke waktu, hingga berakhirnya zaman nanti. 

Kekuasaan peradaban materialisme di muka bumi saat ini yang menyebabkan kegelisahan zaman. Dunia hanya bermata materi, tanpa mata ruhani. Dampaknya, dunia berdiri tidak seimbang. Mudah runtuh, mudah jatuh, sangat rapuh……

Selasa, 15 Maret 2011

“Kenapa ya Allah?”

' Tak perlu bersusah payah untuk menguraikan berbagai kebaikan yang didapat dari sebuah nikmat. Tetapi bila datang sebuah musibah, hanya sedikit orang yang bisa mengambil hikmah di baliknya. '


"Kenapa ya Allah?" Sebenarnya untuk apa pertanyaan seperti itu? Bukan Ia yang akan ditanyai, tapi manusia. "Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai" (QS 21:23). Kalau tidak mampu menjabarkan hikmah yang didapat dari musibah, tak cukupkah berbaik sangka kepada Allah? ("Aku tergantung dengan prasangka hamba-Ku," Hadits Qudsi). Sehingga bila kita yakini Allah memberikan kebaikan di balik musibah, maka Allah akan menuruti prasangka kita - insya Allah. 
 
Wajar bila manusia tidak mengerti kebijaksanaan Allah dibalik musibah. Karena manusia hanya diberi sedikit pengetahuan (QS Al-Isra’:85). Tapi yang keterlaluan adalah bila manusia mencoba menggurui Allah SWT. "Kok rusak sih, ya Allah? HP ini kan untuk keperluan dakwah juga!" "Ya Allah, terlalu cepat Engkau memanggil dia." Atau bahkan memvonis Allah ta’ala. "Engkau sudah tak sayang aku lagi, ya Allah…" Ah… manusia memang sering keterlaluan.

Subhanallah, Maha Suci Allah. Allah Maha Suci dari berbagai keburukan. Tak pantas ia dituduh begini begitu hanya karena kebodohan kita tak mampu memaknai musibah.
Dalam Syarah Aqidah Wasithiyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin menjelaskan tentang iman kepada qadar yang baik dan buruk: "Tiada keburukan dalam perbuatan Allah. Semua amal perbuatan Allah adalah baik dan bijaksana. Akan tetapi, keburukan itu pada apa-apa (objek) yang dilakukan dan apa-apa yang diberi ketentuan. Oleh sebab itu, Nabi Shalallahu Alaihi wa salam bersabda, "Sesuatu yang buruk tidak ditujukan kepada-Mu." (HR Muslim)"

*****

Manusia cuma bisa mencoba menyelidiki latar belakang kebijaksanaan atas suatu keputusan Allah swt, dengan segala keterbatasan ilmunya. Tapi manusia tidak akan bisa memastikan hasil penyelidikan itu.

Perintah sholat 5 waktu sedikit banyak akan membebani seorang muslim. Begitu juga perintah zakat, puasa, haji, jihad, silaturahim, dsb. Tetapi orang yang beriman tak pernah berhenti menarik hikmah di balik semua perintah itu. Contohnya pada sholat subuh, orang-orang akan menguraikan betapa sholat subuh itu baik untuk kesehatan, bisa berfungsi sebagai kontemplasi, dsb. Sungguh pun begitu, tetap tidak akan bisa menjawab secara pasti mengapa Allah memerintahkan sholat subuh.
Pada akhirnya, husnuzhon billah (berbaik sangka pada Allah) adalah muara penghambaan yang hakiki. Baik hukum syar’i (sholat, puasa, zakat, dsb) maupun hukum kauni (setiap peristiwa yang Allah kehendak pada manusia) pasti ada kebijaksanaan Allah swt di balik itu semua.

Masih dalam syarah Aqidah Al-Wasithiyah, "Perhatikan kebijaksanaan Allah dalam hukum kauni-Nya, dimana Dia ta’ala menimpakan berbagai musibah besar kepada manusia untuk berbagai tujuan yang mulia. Seperti firman Allah ta’ala,

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kepada jalan yang benar)" (QS Ar-Ruum: 41)."

Dalam ayat ini ada sanggahan atas ucapan orang yang mengatakan "Sesungguhnya hukum-hukum Allah itu bukan atas dasar kebijaksanaan, tetapi sekedar karena kehendak-Nya."

*****

Keimanan menghasilkan ketenangan. Dalam menjalakan hukum syar’i, iman yang kuat menjalaninya dengan mantap karena keyakinan bahwa itu semua telah Allah gariskan dengan kebijaksanaan-Nya. Dalam menerima setiap peristiwa (hukum kauni), segalanya baik karena ada keyakinan bahwa Allah Maha Bijaksana atas setiap perbuatan-Nya. "Sungguh ajaib urusan orang mukmin itu, sesungguhnya segala urusannya baik baginya. Dan itu tidak ada kecuali bagi mukmin. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, dan itu menjadi kebaikan baginya. Dan jika ia ditimpa musibah/bencana, ia bersabar dan itu menjadi kebaikan baginya.” (HR Muslim)

Dan masih dalam Syarah Aqidah Wasithiyah, Syaikh Sholih Utsaimin menjelaskan: "Firman Allah ta’ala "Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?" (At-Tiin:8); mencakup hukum kauni dan syar’i. Allah Azza wa Jalla Maha Bijaksana dengan hukum kauni dan hukum syar’i. Dia Ta’ala juga teliti terhadapnya. Maka masing-masing dari dua hukum itu sejalan dengan hikmah ‘kebijaksanaan’.
Akan tetapi sebagian hikmah itu kita mengetahuinya dan sebagian lagi kita tidak mengetahuinya, karena Allah ta’ala berfirman:

"Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan, melainkan sedikit." (QS Al-Isra’: 85)

Kemudian hikmah ‘kebijaksanaan’ itu ada dua macam:

1. Kebijaksanaan dalam kondisi sesuatu sesuai dengan kenyataan dan keadaannya. Seperti keadaan sholat. Dia adalah ibadah besar yang didahului dengan bersuci dari hadats dan najis dan dialaksanakan dengan gerakan tertentu berupa berdiri, duduk, ruku’, dan sujud. Juga seperti zakat. Dia adalah ibadah demi Allah dengan menunaikan sebagian harta yang berkembang pada umumnya kepada orang yang sangat membutuhkan kepadanya. Atau pada kaum muslimin ada hajat kepada mereka serta sebagian orang-orang mu’allaf.


2. Kebijaksanaan dalam suatu tujuan hukum. Di mana semua hukum Allah ta’ala memiliki tujuan-tujuan mulia dan buah-buah yang terpuji."

Begitulah. Di dalam perintah sholat, semua syarat dan rukunnya adalah bentuk kebijaksanaan Allah swt. Dan kebijaksanaan Allah juga terdapat dalam tujuan Allah memerintahkan sholat kepada manusia.
Hikmah kebijaksanaan itu ada yang dikabari-Nya, seperti dalam firman-Nya: "Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa." (QS 2:179) Dan juga ada yang tidak dikabari, namun orang yang berakal mampu menjabarkannya dengan baik.
Husnuzhon-lah kepada Allah swt. Tak perlu nada protes menjerit, "Kenapa ya Allah?"

MA’RIFATUL INSAN

I am thinking therefore I am (Rene Descartes)

Berani menjejakkan kaki di permukaan bumi tanpa mengenal jati diri, itu perbuatan yang sangat riskan. Bisa saja kita survive, tapi kita akan kehilangan banyak hal. Karena hidup itu memiliki mimpinya sendiri, maka salah satu yang akan sulit kita raih adalah impian (visi) tersebut. Karena hidup memiliki misi tersendiri, maka kehidupan yang tidak mengenal jati dirinya, akan melalaikan misi itu..

The Human, in Islamic Paradigm
Manusia adalah makhluk yang paling mencengangkan di alam semesta ini. Manusia dianugerahi akal. Bahkan akal tersebut digunakannya lagi untuk kerja rekursif: memikirkan hakekat dirinya sendiri, hakekat eksistensinya yang unik di jagad raya.

Maka berbagai disiplin ilmu ikut andil mempelajari manusia. Mulai dari filsafat, psikologi, sosiologi, teologi, ekonomi, dsb. Berbagai disiplin ilmu itu memandang manusia dari berbagai sudut dimana disiplin ilmu itu berdiri, dan menggunakan kacamata egocentris: memandang manusia berdasarkan bingkai disiplin ilmu tersebut. Sehingganya, tak satu pun yang utuh menjabarkan manusia secara sempurna.

Andai kata kita mencoba memahami diri kita sendiri menggunakan akal yang kita miliki, maka keterbatasan yang menjadi sifat mutlak manusia akan membenturkan kita untuk mendapatkan jawaban yang utuh mengenai teka-teki yang hebat ini. Tapi Allah SWT, yang telah menciptakan manusia dengan tangan kanan-Nya sendiri – dan semua tangan Allah adalah kanan, telah memberikan petunjuk mengenai manusia yang tertuang dalam wahyu. Dasar yang tepat dalam berteori tentang eksistensi manusia.
Manusia memiliki tiga unsur: hati, akal dan jasad. Hati membentuk keputusan yang bersumber dari keyakinan (Qs 75:14), memiliki kehendak (Qs 18:29) dan kebebasan memilih (Qs 90:10). Akal Allah berikan, mampu membentuk pengetahuan (Qs. 17:36). Sedangkan jasad adalah unsur yang melakukan amal (Qs. 9:105).
Dengan akal, hati, dan jasad manusia dapat beribadah.

Untuk apa manusia diciptakan?
Perspektif Islam menjawab semua ini.
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al-Mukmin:115)

1. Untuk beribadah kepada Allah SWT
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (Adz-Dzariat : 56).
Semua ciptaan Allah selaras menyembah-Nya. Hal ini adalah sebuah sunnatullah. Sejalan dengan itu, manusia pun pada hakikatnya diciptakan untuk menyembah Allah swt. Hanya saja pada penyembahan itu, manusia memiliki freewill apakah dia hendak menyembah-Nya atau tidak. Kebebasan kehendak itu pada akhirnya akan dipertanggungjawabkan.
“Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (An-Nur:41)

2. Untuk menjadi khalifah di Bumi
“…Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya…” (Qs. Hud:61).
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”…” (Qs. 2:30).
Sejatinya, manusia adalah makhluk pembangun yang cerdas untuk bumi ini. Tetapi, kita malah melihat kerusakan di mana-mana. Ozon yang bocor, pemanasan global, hingga terumbu karang yang terancam punah.
Manusia telah menyetujui untuk memikul amanat yang ditawarkan oleh Allah. Hanya saja, kebodohan dan kezaliman yang lekat pada manusia telah memalingkannya dari misi yang utama ini.
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat lalim dan amat bodoh. (Qs. Al-Ahzab:72).

3. Sebagai ujian, siapakah di antara kita yang lebih baik amalnya.
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (Al-Mulk:2).
Allah telah menggelar kompetisi di bumi ini, yang kelak akan menentukan gelar khoirul bariyyah (sebaik-baik makhluk, Qs 98:7), dan syarrul bariyyah (makhluk yang buruk Qs 98:6).

Sifat-sifat Manusia
Beberapa berikut ini adalah watak dasar manusia. Manusia memiliki watak yang kebanyakan buruk. Lalu Islam datang untuk meng-upgrade watak-watak manusia, sehingga meninggalkan watak yang buruk dan memiliki watak yang baik sebagai identitas seorang mukmin.
Sifat dasar manusia itu antara lain:
- Tergesa-gesa (17:11, 21:37)

- Berkeluh kesah (70:19, 90:4)

- Gelisah (70:20)

- Tak mau berbuat baik (70:21)

- Pelit (17:100)

- Kufur (14:34)

- Pendebat (18:54)

- Pembantah (100:6)

- Zalim (14:34)

- Jahil (33:72)

Coba periksa adakah sifat-sifat tersebut pada diri kita?

Sesungguhnya sifat-sifat tersebut adalah sifat dasar manusia. Seorang mukmin seharusnya telah ter-upgrade wataknya, tidak lagi memiliki sifat-sifat dasar tersebut.

Kreatif Di Kala Futur

Kreatifitas dibutuhkan untuk mendobrak kejemuan. Termasuk untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, karena keimanan itu fluktuatif, naik dan turun. Hati manusia yang berada di "dua jari Allah swt", kadang mengalami rasa giat, dan kadang mengalami kejenuhan. 

Oleh karena itu, Ali bin Abi Thalib berpesan: "Hiburlah hatimu sedikit demi sedikit, sesungguhnya hati itu apabila tidak suka, menjadi buta. Sesungguhnya hati itu bisa bosan sebagaimana fisik juga bisa bosan, maka carilah untuknya keindahan hikmah (kebijaksanaan)."

Tapi tulisan ini bukan bermaksud mengajak kita kreatif untuk mengada-adakan ibadah yang baru yang tidak dikenal dalam Islam sebelumnya. Bukan itu. Tapi kreatif untuk mengakali mood yang turun, agar dalam futur kita tidak terlalu jauh dari Allah swt.

Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang futur tetap dalam keadaan diatas sunnah, maka ia akan mendapat hidayah. Dan barang siapa yang futur tidak diatas sunnah, maka ia akan celaka”.(Hadits riwayat Imam Abu Dawud). Secara Etimologi arti futur adalah diam setelah giat dan lemah setelah semangat.
Sudah cukup banyak artikel yang membahas tentang futur. Dan yang bisa saya tuangkan hanyalah beberapa tetes ide yang mengalir di kepala saya, dan beberapa berasal dari pengalaman saya.

Bahan bacaan di kala futur
Saat hati melemah, ada baiknya selektif memilih bahan bacan. Bahan bacaan yang bisa membangkitkan gelora untuk berjuang di jalan Allah, berbuat sesuatu untuk menolong keadaan umat Islam yang sedang terpuruk, memang baik. Tapi apakah bahan bacaan itu cocok untuk hati kita yang sedang lemah? 

Tiap orang berbeda, tetapi disaat rasa bosan menyerang, saya lebih memilih bahan bacaan yang akan membangkitkan semangat beribadah kepada Allah swt. Bacaan-bacaan seperti fadhilah/keutamaan sholat tahajud, membaca Al-Qur’an, shoum sunnah, sholat sunnah, juga bacaan tentang keadaan saat sakaratul maut, keadaan dalam qubur, dan di akhirat; adalah bacaan yang saya pilih saat hati melemah. 

Saya menghindari bacaan yang akan banyak membuat saya memeras otak dan berfikir lebih rumit. Bacaan-bacaan seperti itu bisa optimal saya lahap kalau semangat saya sedang naik.
Sekali lagi, tiap orang bisa berbeda keadaannya. Butuh eksplorasi atas diri kita sendiri.

Mencari jalan untuk membangkitkan harapan kepada Allah.
Saya pernah tinggal di sebuah daerah, di mana bila saya hendak pergi kemasjid yang dekat dengan rumah, ada sebuah jalan yang melewati kuburan. Tapi jalan utama menuju ke masjid itu tidak melewati kuburan. Dan saya lebih sering menghindari kuburan untuk mencapai masjid.

Jalan yang melewati kuburan itu kadang saya lalui kalau saya terkena futur. Tidak, saya tidak hendak meminta-minta pada kuburan agar hati saya semangat lagi. Tapi saya cuma memanfaatkan rasa penakut saya, agar ketika melewati kuburan, timbul harapan kepada Allah swt agar dihindarkan dari kejadian yang seram-seram. Ketika melintas di dekat kuburan itu hati saya akan banyak berdzikir kepada Allah swt dan mengakui kesalahan-kesalahan saya. 

Yah, itu memang cara yang agak aneh. Padahal seharusnya saat melintasi kuburan, saya mengingat kematian, mengingat adzab kubur dan susahnya kehidupan di sana, dari pada memanfaatkan rasa takut saya. Karena dengan mengingat adzab kubur itu seharusnya bisa membangkitkan harapan kepada Allah swt.
Ada banyak cara lain untuk membangkitkan harapan kepada Allah swt. Mudahnya, benturkan saja diri kita dengan apa yang kita khawatirkan.

Terkadang ada saat-saat kita terlingkupi dalam comfort zone. Semua nyaman. Finansial, jauh dari masalah. Karir, jelas terlihat jalannya. Kesehatan prima. Keadaan seperti ini bisa memancing rasa tidak memerlukan Allah swt dalam diri kita. Bahaya!!! Dan lebih berhaya lagi apabila hati melemah saat terlena dengan keadaan nyaman.

Oleh karena itu bisa diterima kalau ada yang bilang musibah itu adalah nikmat. Karena melalui musibah, ada kenikmatan yang Allah berikan - kalau kita mau meraih kenikmatan itu. Yaitu kenikmatan rasa memerlukan Allah swt.
Ada taujih yang selalu terngiang dalam pikiran saya. Taujih yang saya terima saat i’tikaf di masjid Al-Madani di Padang pada akhir 1999 dan awal tahun 2000. Dalam taujih itu, para pendengar diminta untuk mencari tantangan. "Cobalah jalan ke hutan sendirian, dan bekali diri kita hanya dengan sebuah pisau. Di situ kita akan merasa sangat memerlukan Allah swt. Selama ini mudah sekali kita mendapat makanan. Kalau tidak ada makanan di rumah, di luar banyak yang menjual. Tapi kalau di hutan, kita akan merasa kesulitan sehingga tumbuh rasa harap kepada Allah swt.

Atau coba jalan-jalan ke Muara , kayuh sebuah perahu ke tengah laut. Di tengah laut itu, dirikan sholat sunnah 2 rakaat. Saat itu resapi, bagaimana kita sangat bergantung kepada Allah swt. Bisa saja ada ombak besar menghantam perahu kita sehingga kita jatuh ke laut. Di situ kita dilingkupi kecemasan sehingga kita berharap kepada Allah swt."

Redaksi taujihnya tidak mungkin sama, tapi intinya seperti itulah. Taujih itu yang memotivasi saya untuk kreatif ketika dilanda futur.

Senin, 14 Maret 2011

Ada yang Dikenang, Ada yang Tidak untuk Dikenang

Apakah ada artinya logo atau simbol bagi kita ? Mungkin ya, mungkin tidak. Ka’bah itu simbol penyatuan kiblat umat Islam di seluruh dunia. Saat kita shalat, sudah pasti tidak menyembah Ka’bah, walaupun shalat kita persis di depan Ka’bah. Kita semua menyembah Allah, tidak pernah menyembah selainNya. Namun Ka’bah diperlukan sebagai simbol yang menyatukan arah kiblat umat Islam seluruh dunia. Ka’bah diperlukan sebagai simbol posisi kemana menghadapkan arah saat shalat, kendati telah dinyatakan Allah bahwa laisal birra an tuwallu wujuhakum qibalal masyriqi wal maghrib, bukanlah kebaktian itu menghadapkan wajahmu ke arah barat atau timur. Ka’bah juga diperlukan untuk pusat penyatuan arah saat menunaikan ibadah haji, dimana kaum muslimin menunaikan thawaf mengelilingi Ka’bah.

Dalam konteks ini, kita mengatakan bahwa simbol itu penting. Simbol telah menyatukan arah kiblat, pada suatu titik. Jika dilihat dari langit yang paling atas, saat umat Islam seluruh dunia menunaikan shalat akan tampak komposisi yang tentu sangat indah. Semua menghadap ke satu titik, dimanapun mereka melakukan shalat. Dan titik itu adalah Ka’bah. Dibandingkan dengan besar dan luasnya alam semesta ini, Ka’bah tentu hanya benda kecil, tiada arti dan tiada bandingannya sama sekali. Namun dilihat dari segi makna, ternyata memiliki nilai yang sangat besar bagi umat Islam. Jadi, Ka’bah itu penting. Satu sisi, kepentingannya karena dinyatakan dalam Al Qur’an, namun pada sisi empiris, karena realitas yang kita lihat Ka’bah telah mempertemukan kaum muslimin dari seluruh dunia. Ka’bah bukan semata simbol, namun sekaligus esensi.




Dalam konteks bisnis, simbol yang dimiliki setiap perusahaan menjadi penting untuk kemudahan pemasaran. Tingkat awareness masyarakat terhadap simbol produk atau simbol perusahaan sangat menentukan daya saing di pasaran. Itulah sebabnya perusahaan rela mengeluarkan banyak biaya untuk iklan, agar pasar semakin mengenal dan akrab dengan ikon produk dan perusahaan masing-masing. Satu buah huruf yang dipampang besar-besar di pinggir jalan, sudah mampu mengingatkan masyarakat kepada produk atau perusahaan tertentu.

Dalam konteks politik, simbol partai politik menjadi penting untuk bisa dikenal dan dipilih masyarakat. Saat Indonesia menerapkan kebijakan tiga partai politik peserta Pemilu, maka masyarakat mudah mengenal dan mengingat simbol setiap parpol. Namun ketika parpol mencapai lebih dari 40, maka akan sangat sulit bagi masyarakat untuk menghafal satu persatu simbol dan nama parpol yang ada. Maka bersainglah parpol mengenalkan simbol, logo, warna dominan, nomor urut partai kepada msayarakat pemilih. Kenyataannya, masyarakat banyak dibingungkan oleh warna dominan yang sama atau mirip, simbol parpol yang mirip, yang membuat banyak terjadi salah pilih.             Dalam konteks ini, simbol juga menjadi penting, walaupun yang lebih penting adalah kualitas dan kinerja parpol tersebut.

Jika anda seorang tokoh masyarakat, atau seorang aktivis dakwah, atau pekerja sosial, yang banyak bekerja dan berbuat untuk masyarakat, apakah penting bagi anda untuk menciptakan simbol yang menyebabkan orang selalu mengingat kerja dan kebaikan anda ? Simbol bisa anda buat dalam bentuk nama yayasan, nama lembaga pendidikan, nama lembaga sosial, nama lembaga kajian strategis, nama gang, nama jalan, nama kampung, nama pesantren, nama perpustakaan, dan nama-nama lainnya yang berhubungan dengan masyarakat. Simbol bisa anda buat dalam bentuk patung diri anda, atau monumen yang memuat semua tanda jasa, tanda prestasi, tanda penghargaan, tanda pengabdian anda kepada negara dan bangsa.

Memonumenkan simbol tidak sulit di negara kita. Sangat mudah membuat Yayasan Fulan, Museum Fulan, Jalan Fulan, Perpustakaan Fulan, atau Fulan Center. Apakah ini salah ? Saya kira bukan soal benar atau salah, tapi soalnya adalah apa yang kita inginkan dengan monumenisasi nama dan prestasi tersebut, dan apa yang akan kita lakukan dengan monumen-monumen tersebut. Seberapa penting monumen bagi aktivitas kita ? Untuk tujuan apa monumenisasi kita lakukan ?

Bagi saya, karya yang paling monumental adalah kader. Begitu seseorang atau suatu organisasi perjuangan telah mencetak kader yang siap meneruskan garis perjuangan para pendahulu, itulah karya monumental. Kader dengan sendirinya menjadi monumen hidup, yang siap mencetak karya berikutnya dan kader berikutnya. Sepanjang sejarah perjuangan, bertebaranlah kemilau karya dari para kader yang terus berbuat, terus bergerak, terus berkontribusi di tengah masyarakat.

Nama diri kita tidak dikenang orang, pekerjaan bertahun-tahun mencetak kader tidak akan tertulis dalam buku sejarah, namun hasilnya sangat nyata dan tak bisa diingkari keberadaannya. Kader menyebar cepat dan masuk ke seluruh bidang kehidupan, menebar kebaikan, mencetak prestasi amal, menyumbangkan tenaga, pikiran, waktu, harta bahkan jiwa mereka untuk tercapainya tujuan perjuangan. Kader tidak perlu dimuseumkan, kader tidak perlu disimbolisasi menjadi patung atau tugu monumen, karena kader telah bekerja untuk mencetak prestasi amal, mencetak amal terindah yang mampu mereka torehkan bagi peradaban.

Pekerjaan mencetak dan membina kader tidak membuat anda menjadi terkenal dan dikenal. Tidak akan diakses media, tidak akan dijadikan rujukan pertanyaan wartawan. Berbeda dengan pekerjaan di ranah publik, yang memungkinkan pelakunya menjadi terkenal bak selebritis. Kedua aktivitas tersebut sama-sama diperlukan dalam kehidupan, dan tidak boleh dipertentangkan satu dengan lainnya. Keduanya memiliki kontribusi kebaikan bagi upaya mencapai tujuan perjuangan.

Suatu saat, Umar menyampaikan kepada para sahabat beliau, “Tamannau, bersobsesilah kalian”. Maka para sahabat mulai menyampaikan obesesi mereka. Ada yang mengatakan, ”Aku sangat ingin memiliki emas yang memenuhi rumah ini untuk aku infaqkan fi sabilillah”. Sahabat lain juga menyampaikan obsesi mereka masing-masing. Setelah semuanya menyampaikan, mereka bertanya kepada Umar, ”Apakah obsesimu ya Amiral Mukminin”. Jawab Umar, ”Aku sangat ingin rumah ini dipenuhi oleh kader sekualitas Abu Ubaidah Al Jarrah”. Luar biasa obsesi Umar. Obsesi tentang kader yang handal, kader yang berkualitas, namun juga kader yang banyak.

Kader bisa menjadi simbol, apakah sebuah pergerakan memiliki kehidupan atau sudah mati. Namun kader bukan hanya simbol, kader adalah esensi. Kader yang banyak bisa didistribusikan potensinya di berbagai bidang, ada yang di ranah publik, ada pula yang di ranah ”domestik”. Ada jenis pekerjaan yang berorientasi publik dan oleh karena itu memerlukan tolok ukur dan parameter publisitas. Ada jenis pekerjaan yang bercorak domestik dan oleh karena itu sepi dari dunia publisitas. Keduanya saling bertautan dan saling menguatkan. Pada keduanya diperlukan kader yang tepat. Pada keduanya diperlukan kefahaman dan keikhlasan. Pada keduanya diperlukan kesungguhan dan prestasi.


Selamat berkarya.

Rabu, 09 Maret 2011

Pandu Qurani 1

Pandu adalah kata yang digunakan sebagai istilah bagi orang yang memiliki karakter yang berporos pada kebaikan.Di negeri ini pandu disimbolkan dengan cikal kelapa yang bermakna proses pertumbuhan yang berkelanjutan di satu sisi,dimana ia dapat tumbuh dengan mudah sehingga bisa mempertahankan eksistensinya.


Di sisi lain bermakna manfaat yang dihasilkan oleh setiap aspek yang dimiliki, dari akar sampai ke buah.Di kebanyakan negeri-negeri lain, sebagaimana Pandu Keadilan, ia disimbolkan dengan bunga leli yang memiliki multi manfaat.

Selanjutnya kita akan membicarakan pandu yang berorientasi kepada kitabullah Al-Qur’an yang dalam bahasa da’wah disebut orang yang ‘shaalihun fii nafsihii naafi’un li ghairihii mujaahidun fillaah’.

Pandu yang satu ini kita sebut sebagai ‘Pandu Qur’ani’.Pandu Qur’ani adalah imam bagi orang-orang bertaqwa dalam ketauladanan, pelayanan serta dakwah dan jihad.

A.Ketauladanan Pandu Qur’ani
Al-Qur’an menggambarkan pandu sebagai orang saleh yang patut ditauladani.

Firman Allah:
Sungguh terdapat suri tauladan bagi kalian pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya ketika berkata kepada kaum mereka,‘sungguh kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah, kami ingkar terhadap kalian, dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kalian selamanya hingga kalian beriman kepada (mengilahkan) Allah semata’, kecuali perkataan Ibrahim kepada ayahnya,’akan saya mintakan ampunan untukmu, dan saya tidak memiliki apa-apa untuk (menyelamatkannmu) dari (adzab) Allah.Tuhan kami, kepadamu kami berserah diri, kepadamu kami bertobat, dan kepadamu kami akan kembali’.Tuhan kami jangan engkau biarkan kami dicelakai oleh orang-orang kafir, dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.Sungguh terdapat pada mereka suri tauladan bagi orang-orang yang menginginkan (rahmat) Allah dan (kebahagiaan) akhirat”.Qs:60:4-6.
Sungguh pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan bagi kalian yang menginginkan (rahmat) Allah dan (kebahagiaan) akhirat”.Qs:33:21.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tauladan utama dalam segala hal dari segala sisi kehidupan, baik  dalam hal ilmu, iman maupun amal, dan baik beliau sebagai pribadi, kepala keluarga, anggota dan tokoh masyarakat, maupun sebagai pemimpin ummat dan negara.Beliau kuat dalam ruhiyah, aqliyah dan jasadiah sekaligus.Beliau adalah sebaik-baik mukmin yang dicintai oleh Allah karena dengan iman dan kekuatannya lahirlah amal-amal ibadah baik mahdlah maupun sosial yang mengagumkan.Dengan iman dan kekuatannya pula beliau berjuang menunaikan risalah Allah yang diembannya, menegakkan dinullah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat tekun dalam mengejar pahala yang terbaik dari Allah meskipun ia sudah dijamin masuk sorga. Ketika berangkat menuju perang Uhud, beliau bersama Ali dan seorang sahabat lainnya radliallahu ‘anhuma mempunyai jatah seekor onta untuk dikendarai secara bergantian.Ali dan temannya sepakat menyerahkan jatah tunggangan mereka kepada Rasulullah yang membuat Rasulullah tersinggung dan berkata,”kalian tidak lebih kuat daripada saya ( untuk berjalan), dan kalian tidak lebih membutuhkan pahala daripada saya”.

Beliau mengajari ummatnya untuk tekun mengejar pahala dari Allah.Sabda beliau:“Shalat (berjama’ah) yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat Isya dan Subuh.Seandainya mereka mengetahui pahala yang didapatkan pada keduanya maka mereka pasti menghadirinya meskipun harus datang dengan merangkak”.

Dalam beramal jama’i Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah seorang pemimpin yang pintar menyuruh belaka melainkan memberi contoh kerja yang optimal, seperti ketika beliau bersama para sahabat membangun masjid Qubaa’.Badan beliau penuh tanah karena bolak balik memanggul tanah.Sikap beliau memberisemangat bagi para sahabat sehingga dapat menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan dengan hasil yang memuaskan.

Beliau suritauladan dalam mengamalkan Al-Qur’an, dan seperti itulah ummatnya seharusnya.Bukankah para hamba Allah selalau memanjatkan do’a;”Wahai Tuhan kami karuniailah kami dari istri-istri dan keturunan-keturunan kami penyejuk mata bagi kami dan jadikanlah kami imam (pemimpin/tauladan) bagi bagi orang-orang yang bertaqwa”

Menjadi Manusia Mulia

Allah swt. menciptakan manusia dan memuliakannya atas makhluk ciptaan-Nya yang lain. Manusia diciptakan dari unsur bumi berupa tanah sebagai lambang materi,  dengan ditiupkan unsur langit berupa ruh sebagai lambang immateri. Manusia dibekali akal, pendengeran, penglihatan dan hati. Pemuliaan manusia itu ditegaskan Allah swt. dalam berfirman-Nya:


وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلا
“Dan sungguh Kami telah muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.QS. Al-Isra:70

Bahkan pemuliaan itu dikuatkan dengan dua kata penguat “Huruf Lam dan Kata Qad”, yang berarti menunjukkan makna yang sangat kuat. Secara fisik, manusia diciptakan sebaik-baik bentuk. Allah swt. berfirman:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” At-Tin:4.


Manusia berdiri tegak, manusia berjalan dengan kedua kaki, tidak merangkak seperti binatang melata. Manusia makan dengan tangan, bukan menjilat dengan lidah atau dengan mulutnya langsung (Tafsir Ibnu Katsir). Dan manusia dibekali akal fikiran, untuk membedakan mana yang baik dan yang buruk, mana yang halal dan yang haram.
أَفَمَنْ يَمْشِي مُكِبًّا عَلَى وَجْهِهِ أَهْدَى أَمْ مَنْ يَمْشِي سَوِيًّا عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (22) قُلْ هُوَ الَّذِي أَنْشَأَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ (23)
“Maka Apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak mendapatkan petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?. Katakanlah: “Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati”. (tetapi) Amat sedikit kamu bersyukur.” Al-Mulk:22-23



Kelemahan Manusia
Di samping penegasan kemuliaan manusia, Allah juga menjelaskan bahwa manusia mempunyai sifat dasar kelemahan. Penjelasan ini agar manusia menyadarinya dan berusaha untuk bisa mengendalikannya. Di antara kelemahan dasar manusia itu adalah:
Sifat lupa, manusia dikatakan insan karena memiliki sifat dasar pelupa, dalam bahasa Arab disebutkan:
سمي الإنسان إنسانا لنسيته

Manusia memiliki sifat tergesa-gesa, Allah swt. berfirman:
وَكَانَ الإنْسَانُ عَجُولا
“Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.Al-Isra’:11

وَكَانَ الإنْسَانُ قَتُورًا
“Dan adalah manusia itu sangat kikir. Al-Isra’:100

إِنَّ الإنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا (19) إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا (20) وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.” Al-Ma’arij:19-21

إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا (36)
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” An-Nisa’:36

إِنَّهُ لَيَئُوسٌ كَفُورٌ (9)
“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah Dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih.” QS. Hud:9

إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan amat bodoh.” Al-Ahzab: 70

Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya. Dan Sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya. Dan Sesungguhnya Dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.” Al-‘Aadiyat:6-8



Di atas adalah sebagian kelemahan manusia yang Allah informasikan dalam Al-Qur’an.


Bekalan Manusia
Sifat dasar kelemahan manusia; lupa, tergesa-gesa, kikir, keluh kesah, putus asa,  kufur, zalim, ingkar dan bodoh itu ada dalam setiap diri manusia, karena manusia memiliki nafsu syahwat dan selagi setan terus menggoda manusia setiap saat.
قال أبو هريرة: يا رسول الله، إذا رأيناك رقَّت قلوبُنا، وكنا من أهل الآخرة، وإذا فارقناك أعجبتنا الدنيا وشَمِمْنا النساء والأولاد، فقال لَوْ أَنَّكُمْ تَكُونُونَ عَلَى كُلِّ حَالٍ ، عَلَى الْحَالِ الَّتِي أَنْتُمْ عَلَيْهَا عِنْدِي، لَصَافَحَتْكُمْ الْمَلائِكَةُ بِأَكُفِّهِمْ ، وَلَزَارَتْكُمْ فِي بُيُوتِكُمْ، وَلَوْ لَمْ تُذْنِبُوا لَجَاءَ اللَّهُ بِقَوْمٍ يُذْنِبُونَ كَيْ يُغْفَرَ لَهُمْ”
Dari Abu Hurairah berkata, “Ya Rasulallah, jika kami melihat Engkau, hati kami luluh, kami menjadi –seakan- penduduk akhirat, tapi jika kami berpisah dari Engkau, dunia menakjubkan kami dan kami disibukkan dengan istri-istri  dan anak-anak (kami). Maka Rasulullah saw. menjawab: “Jika kalian ada dalam satu kondisi saja, yaitu kondisi di mana kalian bersama saya, maka Malaikat pasti akan menjabat tangan kalian, dan pasti mereka akan singgah di rumah-rumah kalian. Jika kalian tidak melakukan dosa, pasti Allah mendatangkan suatu kaum, mereka melakukan dosa, agar Allah mengampuni mereka.” HR. Imam Ahmad

Namun demikian, Allah swt.telah  menyiapkan terminal ruhani, stasiun penghapusan dosa, dan upaya terus menerus agar manusia mampu mengendalikan sifat dasar kelemahan tersebut.
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (10)
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.Asy-Syam:8-10



Terminal ruhani dan stasiun penghapusan dosa itu ada yang sifatnya harian, pekanan, bulanan dan tahunan.
Untuk yang tahunan di antaranya adalah Ramadhan. Ramadhan adalah akademi dan universitas yang mampu melahirkan manusia yang bisa mengendalikan kelemahan dasar dirinya, sekaligus sebagai terminal ruhani dan stasiun penghapusan dosa.
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه
“Barangsiapa berpuasa karena iman dan berhadap ganjaran dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun alaih)
وَالصَّوْمُ جُنَّةٌ
“Dan puasa adalah benteng.” (HR. Bukhari)

Bagi yang diberi keluasan rizki, terminal ruhani tahunan itupun datang dua bulan setelah bulan Ramadhan, yaitu bulan Dzul Hijjah, pelaksanaan ibadah haji. Ibadah haji adalah puncak ibadah dalam kehidupan manusia, karena ia adalah rukun Islam yang kelima.
الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ وَالْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ يُكَفَّرُ مَا بَيْنَهُمَا

Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Haji yang mabrur tiada lain pahalanya kecuali surga. Dan umrah satu ke umrah yang lain menghapus dosa antara waktu keduanya.” HR. Imam Ahmad

Terminal ruhani yang sifatnya bulanan di antaranya; shaum sunnah Ayyamul Baidh –shaum putih atau shaum purnama 13,14,15 bulan Qamariyah-. Shaum pada bulan-bulan tertentu, seperti shaum Arafah, shaum muharram, dll.
Yang sifatnya Pekanan berupa shalat Jum’at. Hari Jum’at adalah Sayyidul Ayyam –penghulu hari-hari-. Pelaksanaan Jum’atan sungguh sangat istimewa dan sakral. Pada hari ini disunnahkan melakukan thaharah –bersuci-;  potong kuku, potong kumis, potong bulu-bulu halus.
« مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ، ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَدَنَا ، وَأَنْصَتَ ، وَاسْتَمَعَ غُفِرَ لَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ إِلَى الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ». رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabd; “Barangsiapa berwudhu dengan membaguskan wudhunya, kemudian berangkat shalat, kemudian ia mendekat, dan menyimak, dan mendengarkan khutbah, ia akan diampuni dosanya dari Jum’at ini ke shalat Jum’at berikutnya dan ditambah tiga hari.” Imam Muslim

Terminal ruhani yang bersifat Harian yaitu berupa shalat lima waktu.
« أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَىْءٌ ». قَالُوا لاَ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَىْءٌ. قَالَ « فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا ». رواه مسلم
Rasulullah saw. bersabda: “Apa pendapat kalian, jika ada sungai di depan pintu rumah kalian, kalian mandi di sana setiap hari lima kali, apakah masih tersisa kotoran? Sahabat menjawab: “Tidak tersisa sedikit pun kotoran sama sekali”. Rasul bersabda:” Itulah perumpamaan shalat lima waktu, Allah menghapus kesalahan-kesalahan dengan shalat lima waktu.” HR. Imam Muslim
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ (45)
“Bacalah apa yang diwahyukan kepadamu dari Al-Kitab, dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mampu mencegah –pelakunya- dari berbuat keji dan munkar, dan dzikir kepada Allah itu perintah yang besar. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.”
Bahkan ada terminal ruhani yang sifatnya setiap waktu dan setiap tempat seperti dengan selalu beristighfar minta pengampunan Allah swt.

Seluruh rangkaian ibadah dalam Islam adalah dalam rangka mengendalikan kekurangan diri, menghapus segala dosa dan kesalahan, memenuhi kepuasan spiritual dan keimanan dan meningkatkan derajat manusia. Meningkatkan derajat itu bahkan bisa melebihi kemuliaan Malaikat sekali pun, sebagaimana Ath-Thabari menafsirkan surat Al-Isra ayat 70 di atas;
وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلا
“Dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.QS. Al-Isra:70

قالت الملائكة: يا ربنا إنك أعطيت بني آدم الدنيا يأكلون منها، ويتنعَّمون، ولم تعطنا ذلك، فأعطناه في الآخرة، فقال: وعزّتي لا أجعل ذرّية من خلقت بيدي، كمن قلت له كن فكان
“Malaikat mengadu, Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengkaruniai anak keturunan Adam dunia, mereka memakan di dalamnya, mereka bersenang-senang di dalamnya, sedangkan kami tidak Engkau beri itu semua, maka karuniakan kami itu di akhirat. Maka Allah swt. berfirman: “Demi kemuliann-Ku, saya tidak akan menjadikan keturunan orang yang Aku ciptakan ia dengan kedua Tanganku sendiri, sebagaimana seperti orang yang Aku berkata kepadanya “Ada, maka ia ada” –itu seperti kalian wahai Malaikat-” (Tafsir At-Thabari, hal 501, juz 30 bab 70)

Akan tetapi sebaliknya, jika manusia terkalahkan dengan sifat dasar kelemahan yang ada pada dirinya, ia akan lebih hina dibanding binatang ternak tak berakal sekalipun. Allah swt. berfirman:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آَذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (179)
“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” Al-A’raf:179

Dengan mampu mengendalikan kelemahan dan terus berupaya menjadi manusia yang mulia, maka manusia mampu memainkan peran yang mulia di mata Allah swt., peran sebagai Khalifatullah Fil Ard. Allah swt. berfirman:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Al-Baqarah:30

Menjadi manusia mulia adalah dengan menyeimbangkan unsur materi dan unsur ruhani yang ada pada diri kita, serta dengan usaha mujahadah dalam setiap waktu, momentum dan tempat untuk mampu mengendalikan dan mengalahkan kelemahan diri. Allahu a’lam