dakwatuna.com – Kini telah tiba fase kedua, fase di mana sang penjelajah ini akhirnya tahu maksud dan tujuan menjelajahi arus deras nan keras. Arus yang kemudian berubah menjadi gelombang besar lalu meluluh-lantahkan semua yang ada di hadapannya. Kecuali mereka yang mempunyai skill untuk tetap bertahan dan surfing di atas gelombang besar. Mereka yang mampu menjelajahi arus, tak hendak melawan arus, mereka yang mampu merubah tantangan menjadi peluang, penjelajah arus sejati. Penjelajah arus yang tak kenal lelah, terus menerus merekonstruksi niatnya dalam amal dan kerja-kerja dakwah. Penjelajah arus yang pantang menyerah, terus bergerak, tak sudi bersimpuh di hadapan luka. Penjelajah arus yang masih menyadari bahwa dirinya masih tengah berproses, terus memperbaiki dan memantaskan diri, karena ia menyadari untuk meraih cita-cita besar dibutuhkan kapasitas yang besar pula, jiwa dan pikiran yang besar serta dada yang lapang.
Sebuah lembah eksotik nan indah sempat menjadi saksi sebagian besar petualangan dan perjalanan sang penjelajah arus ini. Lembah yang di bagian Utara-nya memiliki tanah yang gersang, ditumbuhi kaktus dan tanaman khas tanah-tanah kering nan tandus, tanaman-tanaman yang tampak luarnya rapuh tetapi akarnya menghujam dalam-dalam ke tanah dengan kokoh mencari sumber air dalam tanah. Meskipun lembah Utara-nya gersang dan tandus, Engkau akan mendengar kisah tentang dua suar cahaya di bumi kaktus, kisah yang bercerita tentang dinamika para aktifis dakwah kampus di kampus bumi kaktus bumi tadulako. Kisah yang mengharu biru, membuat emosi bermain di ujung batasnya, membuat darah muda meluap-luap, memendam amarah dan melepaskannya hingga membuncah, menyimpan narasi romantisme perjuangan dakwah kampus, memberi banyak pelajaran berharga, bahwa bila salah menempatkan atau menautkan cinta, maka kekecewaan yang mendalam yang akan kau hadapi, bahwa bila cinta ditambatkan di salah satu hati, akan berujung pada luka yang mengiris-iris, karena Sang Pemilik Cinta adalah Yang Maha Cinta. Kisah dua suar cahaya di bumi kaktus ini bahkan sang penjelajah arus juga turut menjadi pemeran utamanya.
Lembah tiga dimensi ini juga turut menjadi saksi perjuangan dan perjalanan sang penjelajah arus, tiga dimensi yang dimaksud adalah engkau dapat menikmati udara pegunungan, penatnya dataran, dan riuh sejuknya angin pantai, pada saat yang sama tanpa harus khawatir terjebak macet. Sebuah lembah indah dan spesial karena menjadi tempat penerawangan total solar eclipse pada Bulan Maret 2016. Lembah yang begitu banyak menyimpan kisah masa kecil sang penjelajah arus, bahkan awal tersentuh halaqah tarbiyah juga terjadi di lembah ini. Sungguh negeri indah titipan Tuhan kepada Ras Melayu dan Austronesia, sepenggal surga yang ada di muka bumi ini. Karena indah dan sejuknya alam nusantara ini, ingin sekali sang penjelajah arus melantunkan tembang Rayuan Pulau Kelapa ciptaan Ismail Marzuki:
Tanah airku Indonesia
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja sepanjang masa
Tanah airku aman dan makmur
Pulau kelapa yang amat subur
Pulau melati pujaan bangsa
Sejak dulu kala
Sang penjelajah arus merasa masih ada yang kurang dengan kisah perjalanan dan penjelajahannya di lembah tadulako ini, ia merasa masih harus mengembangkan diri, beraktualisasi diri, mencari arti hidup yang sebenarnya, mencari hakikat hidup yang sebenarnya, untuk apa ia dihadirkan di bumi nusantara ini? Untuk apa maksud penjelajahan dan perjalanannya selama ini? Mungkin berada di lembah tadulako terus menerus akan membuat ia terus merasa nyaman dan akhirnya kemauan dan keinginannya untuk menjelajah akan hilang secara perlahan. Sepertinya terlalu lama menetap di lembah yang terukir kisah masa kecilnya akan membuatnya kehilangan kesempatan untuk menjelajahi arus-arus yang lain. Sungguh ia merasa harus meneladani Sang Teladan Terbaik umat manusia, katahijrah terngiang-ngiang di telinga sang penjelajah arus. Adapun Hijrah menurut Eep Saifullah Fattah memiliki enam pilar, yaitu:
Pertama: Hijrah ‘aqadiyah. Yaitu tekad dan komitmen penuh untuk melakukan hijrah dari berbagai “tuhan” dalam hidup kita, termasuk tuhan-tuhan tokoh, harta, kedudukan, persepsi, dll. Menuju kepada Tuhan Yang Maha Tunggal, Allah SWT. Barangkali, wacana ketuhanan Ibrahim as. akan sangat membantu kita dalam hal ini. Ibrahim as. memulai menemukan tuhannya dalam bentuk bintang-bintang. Namun karena timbul bulan yang kelihatannya lebih besar dan bersinar, ia pun memiliki keberanian untuk mengatakan no kepada bintang-bintang tersebut. Beberapa masa kemudian, ternyata bulan seolah mengilang dari pancaran mentari yang bersinar. Maka dengan kebesaran jiwa yang dimilikinya, Ibrahim as. mampu melepaskan diri dari mempertuhankan bulan menuju kepada keyakinan akan ketuhanan matahari. Tapi tatkala matahari tenggelam, ia pun berkesimpulan, inni wajjahtu wajhiya lilladzi fatarassamawati walardh haniifan musliman wa maa ana minal musyrikiin.
Proses pencapaian kemurnian akidah Ibrahim as. ini adalah contoh kongkrit yang sering terjadi dalam kehidupan kita. Betapa kekaguman kita terhadap seorang tokoh misalnya, namun jika pada akhirnya fakta mengharuskan kita untuk mengambil sikap bersebelahan, maka kita harus melakukannya. Sikap sebagian umat selama ini, yang cenderung mengidolasasikan (memberhalakan) pemimpin sesudah masanya diilhami oleh hijrah (perpindahan positif) ke arah yang lebih positif.
Kedua, Hijrah Ta’abbudiyah. Yaitu tekad dan komitmen penuh dari umat ini untuk melakukan perubahan konsepsi terhadap ibadah dalam Islam. Selama ini, umat masih memahami makna ibadah sebagai kegiatan-kegiatan ritual yang terlepas dari masalah-masalah sosial dalam kehidupannya. Konsekwensinya, terjadi personal split (personalitas yang kontradiktif), di satu sisi merasa menjadi hamba yang saleh karena banyak melakukan haji, namun di sisi lain, tanpa menyadari, menjadi hamba yang korup dalam berbagai bentuknya.
Pemahaman terhadap konsepsi ibadah di atas sudah masanya dirubah, direform, sehingga umat ini tidak lagi kehilangan banyak kunci-kunci syurga. Kunci-kunci syurga dalam bentuk amal-amal kemasyarakatan, termasuk dalam pengelolaan negara dan bangsa. Untuk ini (mengutip Eep Saifullah Fatah), khutbah jum’at sudah harus dirubah isinya, yang selama ini melihat pembicaraan mengenai hal-hal politis (tanpa bermaksud politiking), dianggap tabu. Sebab hanya dengan menyadarkan umat akan makna ibadah dalam proses amar ma’ruf, penegakan keadilan dan penanaman motivasi agar umat bangkit melakukan kewajiban dan memperjuangkan hak, umat akan terhindar dari perilaku penguasa yang cenderung memperbudak.
Ketiga, Hijrah Akhlaqiyah. Yaitu perubahan perilaku, baik lahir maupun bathin (Al Akhlaq wassuluk), ke arah yang Islami. Akhlaq yang diajarkan oleh Islam sesungguhnya adalah perilaku manusia yang universal. Satu contoh misalnya, ketika di musim haji Anda akan merasakan betapa attitude manusia yang beragam, termasuk yang sangat kasar (melompat di atas kepala sesama yang lagi duduk berdzikir) misalnya. Padahal, dalam hadits disebutkan bahwa dilarang duduk di antara dua orang tanpa seizinnya (hadits). Lalu bagaimana melompati kepala orang?
Keempat, Hijrah ‘Aqliyah Tsaqaafiyah. Yaitu tekad untuk membenahi sistem pemikiran dan cara pandang kita sebagai Muslim. Salah satu ajaran penting Islam dalam hal ini adalah bahwa manusia telah dimuliakan dengan kemampuan intelektual (‘allama Aadam). Oleh sebab adalah pengingkaran terbesar terhadap ni’mat Allah jika kemampuan ini tersia-siakan, dengan mengekor kepada cara pandang orang lain tanpa reserve. Termasuk cara pandang dalam melihat kehidupan, misalnya Amerika yang dipersepsikan sebagai the most super power and by some others perceived to be the most civilized country, cenderung diikuti dalam berbagai kebijakannya. Tanpa disadari sebagian umat ini terlibat dengan perilaku ini, yang sesungguhnya pada saat yang sama terjatuh dalam sebuah penjajahan baru, yaitu intellectual colonization (penjajahan intellektual).
Kelima, Hijrah Usrawiyah. Yaitu tekad dan komitmen baru untuk melakukan perubahan dalam pola pembangunan keluarga. Keluarga disebutkan secara khusus karena keluarga merupakan institusi terpenting untuk melakukan pembenahan-pembenahan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Gagalnya institusi keluarga merupakan kegagalan dalam institusi kemasyarakatan yang lebih luas.
Kalau selama ini, sebagian umat terlalu materialistic minded dalam membangun kehidupan keluarganya, mungkin sudah masanya dilakukan pembenahan dengan perubahan ke arah yang lebih seimbang antara material dan spiritual. Jika umat terlalu termotivasi untuk mendidik anak ke jenjang tertinggi, Ph.D dalam ekonomi, politik, dll. Mungkin sudah masanya dibarengi dengan pendidikan tertinggi pula dalam hal kerohaniaan. Intinya, hijrah ke arah kehidupan keluarga yang Islami, yang ditandai oleh kesuksesan dunia akhirat (fiddunya hasanah wa fil aakhirati hasanah).
Keenam, Hijrah Ijtima’iyah. Tekad dan komitmen dari semua anggota umat ini untuk melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih positif dalam kehidupan jama’ahnya, dalam segala skala kehidupannya, baik politik, ekonomi, legal dan hukum dll. Untuk mencapai perubahan ini, diperlukan strategi-strategi yang sesuai, yang menuntut kemampuan ijtihadiyah dari anggota umat ini. Mungkin akan keliru, jika ada di kalangan umat ini yang mengakui bahwa metode pencapaian jama’ah Islam (istilah apapun namanya, negara atau khilafah Islamiyah) adalah miliknya semata. Berbagai kelompok, yang berada pada jalur ini (upaya pencapaiannya), berada pada persimpangan ijtihadi yang mungkin benar dan mungkin salah. Yang pasti, bahwa memang ada perbedaan kadar kebenaran dan kesalahan yang dimiliki masing-masing kelompok tersebut. Tinggal bagaimana agar kebenaran yang ada pada masing-masing pihak dapat dikoordinasikan sehingga mampu menutupi kekurangan-kekurangan yang ada. Itulah keenam pilar hijrah menurut Eep Saifullah Fatah, lalu sang penjelajah arus pun ingin melanjutkan perjalanannya, dan penjelajahan arus pun berlanjut.
Tiba saatnya menjelajah di tanah selatan Celebes, masih satu daratan dengan lembah tadulako, hanya saja tingkat kemajuan peradabannya lebih tinggi, salah satu bukti tingginya peradaban tanah selatan ini adalah adanya aksara lontara, kualitas peradaban suatu bangsa juga dapat diukur oleh tingkat kemajuan sastra masyarakatnya. Bicara soal peradaban, sang penjelajah arus merasa bahwa selama ini kurikulum pendidikan di Indonesia sukses membuat kagum para anak bangsanya dengan kegemilangan dan kejayaan Islam di masa lalu, kekaguman akan peradaban Islam ini tidak disandingkan dengan sistem politik Islam yang juga mengalami dinamika yang panjang, pergelutan identitas, dan yang pasti sistem politik Islam tidak memiliki sistem yang baku. Peradaban Islam dan sistem politik Islam adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, keduanya saling berkorelasi dan saling memengaruhi. Majunya sebuah peradaban tentunya dipengaruhi oleh baiknya tata kelola pemerintahan dan masyarakat.
Sesampainya di tanah selatan sang penjelajah arus pun semakin memahami korelasi antara politik, peradaban, dan agama. Juga semakin memahami integrasi dakwah ke dalam dunia perpolitikkan tanah air. Semangat sang penjelajah arus semakin menggebu-gebu untuk terus menjelajah dan berjuang, dan semakin memahami mengapa ia harus terus berjuang di manapun ia berada. Iklim menuntut ilmu masyarakat di tanah selatan, relatif cukup tinggi menurut sang penjelajah arus, inilah yang membuat ia tak henti untuk terus belajar dan belajar, berproses dan terus berproses. Betapa masyarakat tanah selatan masih memperlihatkan semangat juang para pejuangnya di masa lalu yang berani menghadapi kezholiman penjajahan Belanda. Sang penjelajah arus kemudian berkesempatan untuk berjuang di sektor kepemudaan, sebuah sektor yang sangat produktif dalam memajukan bangsa dan tanah air, sebab di tangan para pemudalah kejayaan akan di raih, tanah akan bergetar dengan semangat para pemuda, lalu masyarakat madani bukan lagi hanya sebatas mimpi. Masih banyak yang harus terus di pelajari oleh sang penjelajah arus, bukan sekedar belajar secara tekstual atau kontekstual, metode learning by doing menjadi sesuatu yang menarik yang ingin di cobanya. Sembari berjuang, dalam hati yang paling dalam ia masih memiliki rasa cinta yang besar kepada bangsanya, bercita-cita suatu saat negeri nusantara menjadi Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafuur. (dakwatuna.com/hdn)
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2016/04/27/80216/80216/#ixzz475I9cauL
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook