BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cita-cita dari sistem ukuran kinerja adalah untuk
mengimplementasikan strategi. Dalam menetapkan sistem semacam itu, manajemen
senior memilih ukuran-ukuran yang paling mewakili strategi perusahaan.
Ukuran-ukuran ini dapat dilihat sebagai faktor keberhasilan penting (critical
success factors) masa kini dan masa depan; jika ukuran-ukuran ini membaik,
berarti perusahaan telah mengimplementasikan strateginya. Keberhasilan strategi
bergantung pada kekuatannya. Sistem ukuran kinerja hanyalah merupakan suatu
mekanisme yang memperbaiki kemungkinan bahwa organisasi tersebut akan
mengimplementasikan strateginya dengan berhasil.
Setiap organisasi memiliki cita-cita. Suatu peranan
penting dari sistem pengendalian manajemen adalah untuk memotivasi para anggota
organisasi untuk mencapai cita-cita tersebut. Untuk itu para manajer hendaknya
mencari keselarasan cita-cita, beberapa caranya adalah dengan fokus pada
mekanisme insentif dan sistem kompensasi serta fungsinya dalam mempengaruhi
perilaku karyawan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Seperti apakah
konsep Ukuran
Kinerja ?
2. Bagaimanakah Sistem Pengukuran Kinerja ?
3.
Bagaimanakah Balance Scorecard
4. Bagaimanakah Konsep Public Sector Scorecard ?
5.
Jelaskan Sistem Kompensasi Manajemen !
1.3 Tujuan Umum
1. Memberikan pemahaman kepada para pengguna
makalah pada diskusi-diskusi terpadu tentang pengukuran kinerja dan sistem
pengukuran kinerja yang sebenarnya.
2. Memberikan pemahaman tentang Balance
Scorecard dan Konsep Public Sector Scorecard.
3. Menjelaskan secara komperhensif mengenai
sistem kompensasi manajemen.
BAB II
PEMBAHASAN
UKURAN KINERJA DAN KOMPENSASI
MANAJEMEN
2.1
Ukuran Kinerja
Pengukuran
kinerja merupakan salah satu kegiatan rutin perusahaan yang dilakukan dengan
tujuan untuk mengevaluasi kinerjanya dalam suatu periode tertentu. Namun yang
seringkali dijumpai, perusahaan hanya melakukan pengukuran kinerja pada aspek
finansial saja, dimana selama perusahaan bisa menghasilkan profit, maka
dianggap kinerja perusahaan sudah baik. Oleh karena itu perIu dirancang ulang
suatu sistem pengukuran kinerja yang memperhatikan aspek finansial dan
non-finansial. Metode yang digunakan adalah Metode Performance Prism yang mampu
mengukur kinerja perusahaan secara lebih terintegrasi yaitu dengan melihat 5
sudut pandang suatu perusahaan dari sisi kepuasan dan kontribusi stakeholder,
strategi, proses, serta kemampuan yang dimiliki oleh perusahaan.
2.2 Sistem Pengukuran
Kinerja
Setelah suatu sistem pengelolaan keuangan terbentuk, perlu
disiapkan suatu alat untuk mengukur kinerja dan mengendalikan pemerintahan agar
tidak terjadi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), tidak adanya kepastian
hukum dan stabilitas politik, dan ketidakjelasan arah dan kebijakan pembangunan
(Mardiasmo, 2002a).
Pengukuran kinerja memiliki kaitan erat dengan akuntabilitas,
seperti halnya akuntabilitas memiliki kaitan erat dengan NPM. Untuk memantapkan
mekanisme akuntabilitas, diperlukan manajemen kinerja yang didalamnya terdapat
indikator kinerja dan target kinerja, pelaporan kinerja, dan mekanisme reward
and punishment (Ormond and Loffler, 2002). Indikator pengukuran kinerja
yang baik mempunyai karakteristik relevant, unambiguous, cost-effective,
dan simple (Accounts Commission for Scotland, 1998) serta berfungsi
sebagai sinyal atau alarm yang menunjukkan bahwa terdapat masalah yang
memerlukan tindakan manajemen dan investigasi lebih lanjut (Jackson, 1995).
Fokus pengukuran kinerja terdiri dari tiga hal yaitu produk,
proses, dan orang (pegawai dan masyarakat) yang dibandingkan dengan standar
yang ditetapkan dengan wajar (benchmarking) yang dapat berupa anggaran
atau target, atau adanya pembanding dari luar (Hoque, 2002). Hasil pembandingan
digunakan untuk mengambil keputusan mengenai kemajuan daerah, perlunya
mengambil tindakan alternatif, perlunya mengubah rencana dan target yang sudah
ditetapkan apabila terjadi perubahan lingkungan.
Selama ini, sektor publik sering dinilai sebagai sarang
inefisiensi, pemborosan, dan sumber kebocoran dana. Tuntutan baru muncul agar
organisasi sektor publik memperhatikan value for money yang
mempertimbangkan input, output, dan outcome secara
bersama-sama. Dalam pengukuran kinerja value for money, efisiensi dapat
dibagi menjadi dua, yaitu: efisiensi alokasi (efisiensi 1), dan efisiensi
teknis atau manajerial (efisiensi 2). Efisiensi alokasi terkait dengan
kemampuan mendayagunakan sumber daya input pada tingkat kapasitas
optimal. Efisiensi teknis terkait dengan kemampuan mendayagunakan sumber daya input
pada tingkat output tertentu (dapat dilihat pada Gambar 1). Kedua
efisiensi tersebut merupakan alat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
apabila dilaksanakan atas pertimbangan keadilan dan keberpihakan terhadap
rakyat (Mardiasmo, 2002a).
Kampanye implementasi konsep value for money pada
organisasi sektor publik perlu gencar dilakukan seiring dengan meningkatnya
tuntutan akuntabilitas publik dan pelaksanaan good governance.
Implementasi konsep tersebut diyakini dapat memperbaiki akuntabilitas sektor
publik dan memperbaiki kinerja sektor publik dengan meningkatkan efektivitas
layanan publik, meningkatkan mutu layanan publik, menurunkan biaya layanan
publik karena hilangnya inefisiensi, dan meningkatkan kesadaran akan penggunaan
uang publik (public costs awareness).
2.3 Balance Scorecard
Kartu skor berimbang (bahasa Inggris:
balanced scorecard, BSC) adalah suatu konsep untuk mengukur
apakah aktivitas-aktivitas operasional suatu perusahaan
dalam skala yang lebih kecil sejalan dengan sasaran yang lebih besar dalam hal
visi dan strategi. BSC pertama kali dikembangkan dan digunakan pada perusahaan Analog Devices pada tahun 1987. Dengan tidak berfokus hanya pada
berfokus pada hasil finansial melainkan juga masalah manusia, BSC membantu
memberikan pandangan yang lebih menyeluruh pada suatu perusahaan yang pada
gilirannya akan membantu organisasi untuk bertindak sesuai tujuan jangka
panjangnya. Sistem manajemen strategis membantu manajer untuk berfokus pada
ukuran kinerja sambil
menyeimbangkan sasaran finansial dengan perspektif pelanggan, proses, dan karyawan.
Pada tahun 1992, Robert S. Kaplan dan David P. Norton mulai mempublikasikan kartu skor
berimbang melalui rangkaian artikel-artikel jurnal dan buku The Balanced
Scorecard pada tahun 1996. Sejak diperkenalkannya konsep aslinya, BSC telah menjadi lahan subur
untuk pengembangan teori dan penelitian, dan banyak praktisi yang telah
menyimpang dari artikel asli Kaplan dan Norton. Kaplan dan Norton sendiri
melakukan tinjauan ulang terhadap konsep ini satu dasawarsa kemudian
berdasarkan pengalaman penerapan yang mereka lakukan.
Balanced Scorecard membantu organisasi untuk menghadapi
dua masalah fundamental: mengukur performa organisasi secara efektif dan
mengimplementasikan strategi dengan sukses. Secara tradisional, pengukuran
terhadap bisnis berkisar pada aspek finansial, yang kemudian banyak
mendatangkan kritik. Ukuran finansial tidaklah konsisten dengan lingkungan
bisnis saat ini, punya daya prediktif yang lemah, mengakibatkan munculnya silo
fungsional, menghambat cara berpikir jangka panjang, dan tidak lantas bisa
relevan bagi kebanyakan level organisasi. Mengimplementasikan strategi secara
efektif menjadi permasalahan tersendiri. Setidaknya terdapat empat pembatas
implementasi strategi di organisasi: pembatas visi, pembatas orang, pembatas
sumberdaya, dan pembatas manajemen.
Balanced Scorecard memberi
organisasi elemen yang dibutuhkan untuk berpindah dari paradigma ‘melulu finansial’
menuju model baru yang mana hasil Scorecard menjadi titik awal untuk me-review,
mempertanyakan, dan belajar tentang strategi yang dipunya. Balanced Scorecard
akan menerjemahkan visi dan strategi ke dalam serangkaian ukuran koheren dalam
empat perspektif yang berimbang. Kita akan dengan cepat bisa dapatkan informasi
untuk dipertimbangkan lebih dari sekedar ukuran finansial.
Konsep
keseimbangan dalam Balanced Scorecard terkait pada tiga area berikut:
- Keseimbangan
antara indikator keberhasilan finansial dan non finansial. Balanced
Scorecard sendiri awalnya dibuat untuk mengatasi kekuranghandalan ukuran
performa finansial dengan menyeimbangkannya dengan pemicu lain untuk
performa yang mengacu ke masa depan. Ini adalah masih terus menjadi
prinsip dari sistem Balanced Scorecard ini.
- Keseimbangan
antara konstituen internal dan eksternal dari organisasi. Shareholder dan
pelanggan merepresentasikan konstituen eksternal dalam Balanced Scorecard,
sementara karyawan dan proses internal merepresentasikan konstituen internal.
Balanced Scorecard berusaha menyeimbangkan kebutuhan kedua grup yang tak
jarang menjadi kontradiktif satu sama lain untuk bisa secara efektif
mengimplementasikan strategi.
- Keseimbangan
antara indikator performa lag dan lead. Indikator lag secara umum
merepresentasikan performa masa lalu. Contohnya semisal saja kepuasan
pelanggan atau revenue. Meskipun ukuran tersebut pada umumnya cukup
obyektif dan bisa diakses dengan mudah, namun mereka semua punya daya
prediktif yang lemah. Sementara itu indikator lead adalah pemicu performa
yang membawa pada pencapaian indikator lag. Indikator ini biasanya
berbentuk ukuran atas proses dan aktivitas. Pengiriman tepat waktu,
semisal, bisa merepresentasikan indikator lead untuk ukuran lag kepuasan
pelanggan. Suatu scorecard harus berisi campuran/paduan antara indikator
lag dan lead. Indikator lag yang tanpa disertai oleh ukuran lead tidak
akan mengkomunikasikan bagaimana target akan diraih. Sebaliknya, indikator
lead tanpa ukuran lag akan menghasilkan perkembangan jangka pendek namun
tidak tampak bagaimana perkembangan tersebut berdampak pada peningkatan
benefit bagi pelanggan dan juga shareholder.
2.4
Public Sector Scorecard
Sistem manajemen strategik berbasis BSC yang mengakomodasi
konsep-konsep di atas seperti value
for money, NPM, dan best value
meliputi sistem pengukuran kinerja. Scorecard
sektor publik berbeda dengan scorecard
sektor swasta, karena sektor publik lebih berfokus pada pelayanan masyarakat
bukan pada profit, tidak mempunyai shareholders,
lebih berfokus pada kondisi regional dan nasional, lebih dipengaruhi oleh
keadaan politik, dan mempunyai stakeholders
yang lebih beragam dibandingkan dengan sektor swasta.
Scorecard merefleksikan ukuran kinerja komprehensif yang
mencerminkan lingkungan kompetitif dan strategi yang digunakan. Scorecard berfokus pada strategi yang
diterapkan bukan pada pengendalian penerapan scorecard (Hoque, 2002), meskipun pengawasan terhadap scorecard perlu dilakukan mengingat
fokus strategi terus berubah seiring dengan perubahan kondisi sosial ekonomi
masyarakat (Accounts Commission for Scotland, 1998).
Pengukuran kinerja dilakukan dengan mempertimbangkan empat
perspektif BSCyaitu perspektif financial,
customer, internal business dan learning
and growth (Kaplan and Norton, 1992 dalam Quinlivan, 2000) secara
proporsional. Dengan demikian, pemerintah seharusnya tidak hanya diukur dengan
kinerja keuangan, tetapi juga kinerjanya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat
secara ekonomis, efisien, dan tepat sasaran.
2.5 Kompensasi Manajemen
Kompensasi adalah seluruh
imbalan yang diterima karyawan atas hasil kerja karyawan tersebut pada
organisasi. Kompensasi bisa berupa fisik maupun non fisik dan harus dihitung
dan diberikan kepada karyawan sesuai dengan pengorbanan yang telah diberikannya
kepada organisasi / perusahaan tempat ia bekerja.
Perusahaan dalam memberikan
kompensasi kepada para pekerja terlebih dahulu melakukan penghitungan kinerja
dengan membuat sistem penilaian kinerja yang adil. Sistem tersebut umumnya
berisi kriteria penilaian setiap pegawai yang ada misalnya mulai dari jumlah
pekerjaan yang bisa diselesaikan, kecepatan kerja, komunikasi dengan pekerja
lain, perilaku, pengetahuan atas pekerjaan, dan lain sebainya.
Para karyawan mungkin akan
menghitung-hitung kinerja dan pengorbanan dirinya dengan kompensasi yang
diterima. Apabila karyawan merasa tidak puas dengan kompensasi yang didapat,
maka dia dapat mencoba mencari pekerjaan lain yang memberi kompensasi lebih
baik. Hal itu cukup berbahaya bagi perusahaan apabila pesaing merekrut /
membajak karyawan yang merasa tidak puas tersebut karena dapat membocorkan
rahasia perusahaan / organisasi.
Kompensasi yang baik akan memberi beberapa efek
positif pada organisasi / perusahaan sebagai berikut di bawah ini :
a. Mendapatkan karyawan berkualitas baik
b. Memacu pekerja untuk bekerja lebih giat dan meraih prestasi gemilang
c. Memikat pelamar kerja berkualitas dari lowongan kerja yang ada
d. Mudah dalam pelaksanaan dalam administrasi maupun aspek hukumnya
e. Memiliki keunggulan lebih dari pesaing / kompetitor
Macam-Macam / Jenis-Jenis Kompensasi Yang Diberikan
Pada Karyawan :
1. Imbalan Ektrinsik
a. Imbalan ektrinsik yang berbentuk uang antara
lain misalnya :
- gaji
- upah
- honor
- bonus
- komisi
- insentif
- upah, dll
b. Imbalan ektrinsik yang bentuknya sebagai benefit
/ tunjangan pelengkap contohnya seperti :
- uang cuti
- uang makan
- uang transportasi / antar jemput
- asuransi
- jamsostek / jaminan sosial tenaga kerja
- uang pensiun
- rekreasi
- beasiswa melanjutkan kuliah, dsb
2. Imbalan Intrinsik
Imbalan dalam bentuk intrinsik
yang tidak berbentuk fisik dan hanya dapat dirasakan berupa kelangsungan
pekerjaan, jenjang karir yang jelas, kondisi lingkungan kerja, pekerjaan yang
menarik, dan lain-lain.
Salah satu fungsi MSDM adalah
Kompensasi. Kompensasi adalah bagian dari manajemen. Sistem kompensasi yang
baik dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap keberhasilan bisnis.
Kompensasi merupakan sesuatu yang diterima karyawan sebagai pengganti
kontribusi jasa mereka pada perusahaan. Kompensasi juga merupakan biaya utama
atas keahlian atau pekerjaan dan kesetiaan dalam bisnis.
Suatu organisasi akan selalu
berusaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Namun hal ini harus
disesuaikan dengan kondisi lingkungan organisasi, baik di dalam dan di luar
organisasi. Pengaturan kompensasi merupakan faktor penting untuk menarik dan
mempertahankan tenaga kerja. Kompensasi dapat berbentuk Finansial dan
Non-Finansial.
Sikula di dalam Martoyo (2003) mengatakan In the employment world, financial
rewards are the compensation resources provided to employees for the return of
their services. The terms Remuneration”, wage and salary. Also are used to
describe this financial between employers and employees. A remuneration is a
reward, payment or reembursement for services rendered. Most forms of
remuneration are financial, although these reembursements on occasion also may
be non-financial in nature.
Dari pernyataan di atas artinya
kompensasi atau juga disebut dengan remuneration dapat saja berbentuk financial
dan nonfinansial yang pada intinya adalah penghargaan atas jasa seorang pegawai
pada organisasinya. Komponen-komponen kompensasi: Upah, Gaji, Insentif, dan
fringe benefit.
Selanjutnya
adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kompensasi (Martoyo:2003):
1.
Kebenaran dan
keadilan; pemberian kompensasi disesuaikan dengan kemampuan, kecakapanm
pendidikan dan jasa yang telah ditunjukkan kepada organisasi. Dengan demikian
setiap pegawai dapat merasakan bahwa organisasi telah menghargai jasanya.
2.
Dana organisasi;
suatu organisai dalam memberikan kompensasi kepada pegawainya harus disesuaikan
dengan kemampuan dana yang dimiliki oleh organisasi tersebut. Olehkarena itu
organisasi harus dapat menghimpun dana sebanyak mungkin melalui prestasi kerja
yang ditunjukkan oleh para pegawai. Sehingga dengan prestasi yang terus
meningkat maka organisasi akan mendapatkan banyak keuntungan.
3.
Serikat
Karyawan; serikat karyawan merupakan symbol kekuatan karyawan dalam menuntut
perbaikan nasib, yang perlu mendapatkan perhatian. Serikat karyawan yang ada
pada suatu organisasi akan berfungsi sebgai alat kontrol dalam penetapan
kompensasi.
4.
Produktifitas
kerja; semakin tingginya tingkat produktifitas seorang pegawai maka hal ini
akan menjadi pertimbangan bagi organisasi untuk memberikan kompensasi. Karena
produktifitas merupakan salah satu indikator prestasi kerja pegawai.
5.
Biaya hidup;
organisasi juga harus memperhatikan biaya hidup karyawan beserta keluarganya.
Artinya perlu adanya penyesuaian pemberian kompensasi dengan biaya hidup. Namun
demikian ini merupakan hal yang cukup sulit untuk menentukan biaya hidup
seseorang. Ini disebabkan oleh sifatnya sangat relative, oleh karena itu perlu
sangat sulit untuk menentukan hidup yang layak tersebut.
6.
Pemerintah;
selaku pengayom masyarakat perlu ikut campur dalam penentuan kompensasi bagai
seorang pekerja. Pemerintah harus membuat peraturan dan perundang-undangan
untuk dlaam menentukan kompensasi.
Keadilan
di dalam organisasi
Keadilan
di dalam manajemen kompensasi dikenal dengan istilah equity theory. Organisasi
memberikan kompensasi kepada pegawainya adalah dengan tujuan untuk memotivasi
pegawainya agar dapat bekerja lebih baik. Organisasi tidak hanya harus memiliki
system yang wajar dan adil, tetapi lebih dari pada itu system tersebut harus dijelaskan
kepada pegawainya. Adapun keadilan di dalam manajemen kompensasi yaitu;
External Equity dan Internal Equity.
External Equity adalah yang
berhubungan dengan gaji yang mereka terima serupa dengan pasar tenaga kerja di
mana mereka bekerja. External Equity ini adalah membandingkan pegawai yang
serupa diantara organisasi yang sebanding. Dua syarat untuk membandingkan yang
harus dipenuhi 1) pegawai yang dibandingkan harus sama dan serup, 2) organisasi
yang diurvey sebaiknya serupa,baik dari ukuran, bidang, misi, sektor.
Internal Equity adalah keseimbangan
antara masukan yang dibawa individu dalam sebuah sistem kepegawaian dengan
hasil yang dicapai. Masukan pegawai dapat berupa; pengalaman, pendidikan,
keahlian, upaya & waktu kerja. Sedangkan keluaran berupa; gaji, tunjangan,
pengakuan, dan imbalan. Internal Equity juga berarti tingkat gaji yang
patut/pantas dengan nilai pegawai internal bgai suatu organisasi. Intinya
adalah system kepegawaian di dalam suatu organisasi.
Tujuan manajemen Kompensasi secara umum tujuan kompensasi adalah untuk membantu
perusahaan mencapai tujuan keberhasilan strategi perusahaan dan menjamin
terciptanya keadilan internal dan eksternal.
Tujuan manajemen Kompensasi;
1. Memperoleh SDM yang berkualitas
2. Mempertahankan Karyawan yang ada
3. Menjamin Keadilan
4. Penghargaan terhadap perilaku yang diinginkan
5. Penghargaan terhadap perilaku yang diinginkan
6. Mengendalikan Biaya
7. Mengikuti aturan hukum
8. Memfasilitasi Pengertian
9. Meningkatkan Efisiensi Administrasi
Sistem Kompensasi sebaiknya dilakukan sebagai berikut:
1. Bersaing (competitive)
2. Mengakui karyawan sebagai “Income Producing Assets”
3. Jangan terpengaruh oleh praktek akuntansi yang menganggap gaji dan upah
sebagai “liabilities”
4. Kompensasi harus mendukung manajemen produktivitas
5. “Payroll Cost” harus dikelola dan dikaitkan dengan keberhasilan bisnis
6. Diketahui perincian pembayaran kempensasi sebagai:- Direct cost -
Opportunity cost: profit sharing- Investment Return: insentive bagi karyawan
yang melebihi standar
- Cost Reduction Spending: pembayaran “Performance Award” yang lebih rendah
dari “Performance Improvement”
Dalam membahas masalah insentif,
tidak terlepas dari masalah kompensasi. Kompensasi yang berarti
penghargaan/ganjaran ternyata tidak sekedar berbentuk pemberian upah/gaji
sebagai akibat dari pengangkatannya menjadi tenaga kerja sebuah organisasi
perusahaan. Penghargaan atau ganjaran sebagai kompensasi dibedakan jenis-jenisnya
sebagai berikut:
1. Kompensasi
Langsung ; Kompensasi langsung adalah penghargaan/ganjaran yang disebut gaji
atau upah, yang dibayar secara tetap berdasarkan tenggang waktu yang tetap.
Sejalan dengan pengertian itu, upah atau gaji diartikan juga sebagai pembayaran
dalam bentuk uang tunai atau berupa natura yang diperoleh pekerja untuk
pelaksanaan pekerjaannya.
Upah diartikan juga sebagai harga untuk jasa-jasa yang telah diberikan oleh
seseorang kepada orang lain. Sedang Dewan Penelitian Pengupahan Nasional,
mengartikan upah ialah suatu penerimaan sebagai suatu imbalan dari pemberi
kerja kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau
akan dilakukan.
2. Kompensasi Tidak
Langsung ; Kompensasi tidak langsung adalah pemberian bagian keuntungan/manfaat
lainnya bagi para pekerja di luar gaji atau upah tetap, dapat berupa uang atau
barang. Misalnya:
THR, Tunjangan Natal dan lain-lain. Dengan kata lain kompensasi tidak langsung
adalah program pemberian penghargaan/ ganjaran dengan variasi yang luas,
sebagai pemberian bagian keuntungan organisasi/perusahaan. Disamping contoh di
atas dalam variasi yang luas itu maka dapat pula berupa jaminan kesehatan,
liburan, cuti, dan lain-lain.
3. Insentif
; Insentif adalah penghargaan/ganjaran yang diberikan untuk memotivasi para
pekerja agar produktivitas kerjanya tinggi, sifatnya tidak tetap atau
sewaktu-waktu. Oleh karena itu insentif sebagai bagian dari keuntungan terutama
sekali diberikan pada pekerja yang bekerja secara baik atau yang berprestasi.
Misalnya dalam bentuk pemberian bonus. Di samping itu insentif dapat pula diberikan
dalam bentuk barang.
Dari pengertian di atas, insentif
merupakan salah satu jenis ganjaran yang diberikan oleh organisasi/perusahaan
terhadap pekerja. Terdapat suatu perbedaan antara upah dan insentif, dua
terminology ini pada intinya adalah pemberian suatu imbalan terhadap pegawai
atas jasa yang telah diberikannya. Namun secara khusus terdapat perbedaannya
yakni upah lebih bersifat umum dan penentuannya berdasarkan suatu norma yang
berlaku umum dalam dunia ketenagakerjaan. Sedangkan insentif lebih bersifat
khusus, oleh karena pemberiannya selalu dikaitkan dengan prestasi kerja yang
telah dicapai oleh seorang pegawai. Dengan kata lain insentif merupakan upah
tambahan terhadap pegawai yang telah mencapai suatu prestasi kerja tertentu.
Insentif tidak terbatas pada pemberian imbalan berupa uang, oleh karena
terdapat pula upah yang bersifat intangible apakah dalam bentuk promosi, kesempatan
untuk mengikuti pendidikan tertentu, atau penghargaan lain yang pada intinya
sebagai imbalan terhadap prestasi yang telah dicapai oleh seorang pegawai.
Tujuan insentif adalah sebagai
reward terhadap pegawai yang telah mencapai suatu prestasi tertentu sesuai
dengan standar kinerja, sehingga tercermin adanya suatu keadilan dalam
memperlakukan pegawai yang berprestasi, di samping sebagai alat motivasi
pegawai.
Mengacu pada variabel insentif, sistem insentif berfungsi dalam memotivasi
pekerja agar terus-menerus berusaha memperbaiki dan meningkatkan kemampuannya
dalam melaksanakan tugas-tugas yang menjadi kewajiban/tanggung jawabnya. Sistem
Insentif ini merupakan tambahan bagi upah gaji dasar yang diberikan
sewaktu-waktu, dengan membedakan antara pekerja yang berprestasi dengan yang
tidak kurang berprestasi dalam melaksanakan pekerjaan/tugas-tugasnya.
Dengan demikian, akan terjadi persaingan yang sehat dalam berprestasi, sehingga
timbul motivasi kerja berdasarkan pemberian insentif tersebut. Dalam konteks
itu berarti, organisasi/perusahaan perlu menghindari pemberian insentif yang
tanpa alasan atau dengan alasan yang tidak ada hubungannya dalam upaya
pemberian motivasi agar pekerja dapat bekerja lebih baik lagi. Berdasarkan
kenyataan itu dalam memberikan insentif sebagai usaha memotivasi kerja,
hendaknya diikuti prinsip-prinsip pokok, yaitu insentif diberikan hanya kepada
pekerja yang produktif, promosikan pekerja sebagai insentif non finansial/non
material, atas dasar produktivitasnya dalam bekerja.
Dari uraian-uraian di atas dapat
diartikan, bahwa insentif yang diberikan harus dapat mendorong pekerja untuk
melaksanakan tugasnya secara baik, yang memang mungkin dilaksanakannya. Apabila
sesuatu yang diharapkan dalam bekerja tidak mungkin dilaksanakan, maka insentif
tidak akan berfungsi untuk memotivasi pekerja. Namun dalam kenyataannya, dapat
saja terjadi bahwa jumlah insentif yang kurang sesuai dengan intensitas dan
sifat pekerjaan, jenis insentif yang sangat terbatas sedangkan jenis dan sifat
pekerjaan terus berkembang dan manfaat insentif yang dirasakan kurang bermakna
bagi tuntutan para pegawai, menyebabkan kebijakan pemberian insentif kurang
efektif.
Dari paparan di atas berarti pula
faktor insentif dapat menjadi faktor dominan dan besar pengaruhnya terhadap
produktivitas kerja pegawai negeri sipil. Pengaruh ini tercakup dalam dimensi
makna insentif.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengukuran
kinerja merupakan salah satu kegiatan rutin perusahaan yang dilakukan dengan
tujuan untuk mengevaluasi kinerjanya dalam suatu periode tertentu. Namun yang
seringkali dijumpai, perusahaan hanya melakukan pengukuran kinerja pada aspek
finansial saja, dimana selama perusahaan bisa menghasilkan profit, maka
dianggap kinerja perusahaan sudah baik. Oleh karena itu perIu dirancang ulang
suatu sistem pengukuran kinerja yang memperhatikan aspek finansial dan
non-finansial.
Setelah suatu sistem pengelolaan keuangan terbentuk, perlu
disiapkan suatu alat untuk mengukur kinerja dan mengendalikan pemerintahan agar
tidak terjadi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), tidak adanya kepastian
hukum dan stabilitas politik, dan ketidakjelasan arah dan kebijakan pembangunan
(Mardiasmo, 2002a).
Pengukuran kinerja memiliki kaitan erat dengan akuntabilitas,
seperti halnya akuntabilitas memiliki kaitan erat dengan NPM. Untuk memantapkan
mekanisme akuntabilitas, diperlukan manajemen kinerja yang didalamnya terdapat
indikator kinerja dan target kinerja, pelaporan kinerja, dan mekanisme reward
and punishment (Ormond and Loffler, 2002). Indikator pengukuran kinerja
yang baik mempunyai karakteristik relevant, unambiguous, cost-effective,
dan simple (Accounts Commission for Scotland, 1998) serta berfungsi
sebagai sinyal atau alarm yang menunjukkan bahwa terdapat masalah yang
memerlukan tindakan manajemen dan investigasi lebih lanjut (Jackson, 1995).
Kartu skor berimbang (bahasa Inggris:
balanced scorecard, BSC) adalah suatu konsep untuk mengukur
apakah aktivitas-aktivitas operasional suatu perusahaan
dalam skala yang lebih kecil sejalan dengan sasaran yang lebih besar dalam hal
visi dan strategi. BSC pertama kali dikembangkan dan digunakan pada perusahaan Analog Devices pada tahun 1987. Dengan tidak berfokus hanya pada
berfokus pada hasil finansial melainkan juga masalah manusia, BSC membantu
memberikan pandangan yang lebih menyeluruh pada suatu perusahaan yang pada
gilirannya akan membantu organisasi untuk bertindak sesuai tujuan jangka
panjangnya. Sistem manajemen strategis membantu manajer untuk berfokus pada
ukuran kinerja sambil
menyeimbangkan sasaran finansial dengan perspektif pelanggan, proses, dan karyawan.
Sistem manajemen strategik berbasis BSC yang mengakomodasi
konsep-konsep di atas seperti value
for money, NPM, dan best value
meliputi sistem pengukuran kinerja. Scorecard
sektor publik berbeda dengan scorecard
sektor swasta, karena sektor publik lebih berfokus pada pelayanan masyarakat
bukan pada profit, tidak mempunyai shareholders,
lebih berfokus pada kondisi regional dan nasional, lebih dipengaruhi oleh
keadaan politik, dan mempunyai stakeholders
yang lebih beragam dibandingkan dengan sektor swasta.
Scorecard merefleksikan ukuran kinerja komprehensif yang
mencerminkan lingkungan kompetitif dan strategi yang digunakan. Scorecard berfokus pada strategi yang
diterapkan bukan pada pengendalian penerapan scorecard (Hoque, 2002), meskipun pengawasan terhadap scorecard perlu dilakukan mengingat
fokus strategi terus berubah seiring dengan perubahan kondisi sosial ekonomi
masyarakat (Accounts Commission for Scotland, 1998).
Kompensasi adalah seluruh
imbalan yang diterima karyawan atas hasil kerja karyawan tersebut pada
organisasi. Kompensasi bisa berupa fisik maupun non fisik dan harus dihitung
dan diberikan kepada karyawan sesuai dengan pengorbanan yang telah diberikannya
kepada organisasi / perusahaan tempat ia bekerja.
Perusahaan dalam memberikan
kompensasi kepada para pekerja terlebih dahulu melakukan penghitungan kinerja
dengan membuat sistem penilaian kinerja yang adil. Sistem tersebut umumnya
berisi kriteria penilaian setiap pegawai yang ada misalnya mulai dari jumlah
pekerjaan yang bisa diselesaikan, kecepatan kerja, komunikasi dengan pekerja
lain, perilaku, pengetahuan atas pekerjaan, dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Robert N.Anthony Vijay Govindarajan.
Management Control System, penerbit Salemba Empat,2005.
2.
Anthony, Robert N. The Management
Control Function. Boston: Harvard Business School Press, 1989.
3.
Kaplan, Robert, dan David Norton.
Balanced Scorecard. Boston: Harvard Business School Press, 1996.
a. Mendapatkan karyawan berkualitas baik
b. Memacu pekerja untuk bekerja lebih giat dan meraih prestasi gemilang
c. Memikat pelamar kerja berkualitas dari lowongan kerja yang ada
d. Mudah dalam pelaksanaan dalam administrasi maupun aspek hukumnya
e. Memiliki keunggulan lebih dari pesaing / kompetitor
- gaji
- upah
- honor
- bonus
- komisi
- insentif
- upah, dll
- uang cuti
- uang makan
- uang transportasi / antar jemput
- asuransi
- jamsostek / jaminan sosial tenaga kerja
- uang pensiun
- rekreasi
- beasiswa melanjutkan kuliah, dsb
Sikula di dalam Martoyo (2003) mengatakan In the employment world, financial rewards are the compensation resources provided to employees for the return of their services. The terms Remuneration”, wage and salary. Also are used to describe this financial between employers and employees. A remuneration is a reward, payment or reembursement for services rendered. Most forms of remuneration are financial, although these reembursements on occasion also may be non-financial in nature.
Tujuan manajemen Kompensasi secara umum tujuan kompensasi adalah untuk membantu perusahaan mencapai tujuan keberhasilan strategi perusahaan dan menjamin terciptanya keadilan internal dan eksternal.
1. Memperoleh SDM yang berkualitas
2. Mempertahankan Karyawan yang ada
3. Menjamin Keadilan
4. Penghargaan terhadap perilaku yang diinginkan
5. Penghargaan terhadap perilaku yang diinginkan
6. Mengendalikan Biaya
7. Mengikuti aturan hukum
8. Memfasilitasi Pengertian
9. Meningkatkan Efisiensi Administrasi
Sistem Kompensasi sebaiknya dilakukan sebagai berikut:
1. Bersaing (competitive)
2. Mengakui karyawan sebagai “Income Producing Assets”
3. Jangan terpengaruh oleh praktek akuntansi yang menganggap gaji dan upah sebagai “liabilities”
4. Kompensasi harus mendukung manajemen produktivitas
5. “Payroll Cost” harus dikelola dan dikaitkan dengan keberhasilan bisnis
6. Diketahui perincian pembayaran kempensasi sebagai:- Direct cost - Opportunity cost: profit sharing- Investment Return: insentive bagi karyawan yang melebihi standar
- Cost Reduction Spending: pembayaran “Performance Award” yang lebih rendah dari “Performance Improvement”
Upah diartikan juga sebagai harga untuk jasa-jasa yang telah diberikan oleh seseorang kepada orang lain. Sedang Dewan Penelitian Pengupahan Nasional, mengartikan upah ialah suatu penerimaan sebagai suatu imbalan dari pemberi kerja kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Insentif tidak terbatas pada pemberian imbalan berupa uang, oleh karena terdapat pula upah yang bersifat intangible apakah dalam bentuk promosi, kesempatan untuk mengikuti pendidikan tertentu, atau penghargaan lain yang pada intinya sebagai imbalan terhadap prestasi yang telah dicapai oleh seorang pegawai.
Mengacu pada variabel insentif, sistem insentif berfungsi dalam memotivasi pekerja agar terus-menerus berusaha memperbaiki dan meningkatkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas-tugas yang menjadi kewajiban/tanggung jawabnya. Sistem Insentif ini merupakan tambahan bagi upah gaji dasar yang diberikan sewaktu-waktu, dengan membedakan antara pekerja yang berprestasi dengan yang tidak kurang berprestasi dalam melaksanakan pekerjaan/tugas-tugasnya.
Dengan demikian, akan terjadi persaingan yang sehat dalam berprestasi, sehingga timbul motivasi kerja berdasarkan pemberian insentif tersebut. Dalam konteks itu berarti, organisasi/perusahaan perlu menghindari pemberian insentif yang tanpa alasan atau dengan alasan yang tidak ada hubungannya dalam upaya pemberian motivasi agar pekerja dapat bekerja lebih baik lagi. Berdasarkan kenyataan itu dalam memberikan insentif sebagai usaha memotivasi kerja, hendaknya diikuti prinsip-prinsip pokok, yaitu insentif diberikan hanya kepada pekerja yang produktif, promosikan pekerja sebagai insentif non finansial/non material, atas dasar produktivitasnya dalam bekerja.
0 komentar:
Posting Komentar