Ade Aleandro*
Pengamat Hukum
Jika ada sebuah pertanyaan “Apakah anda nyaman tinggal di negara Indonesia ini?” Maka mungkin saya adalah orang pertama yang merasa kurang nyaman tinggal di negara ini.
Saya merasa tidak nyaman bukan karena kesabaran saya yang kurang saat
Indonesia tak kunjung beranjak dari keterpurukan, bukan tak nyaman
karena Indonesia terus menjadi sebuah negara dengan Indeks persepsi
korupsi yg rendah atau bukan tak nyaman karena tingginya angka
kriminalitas meski itu semua membuat saya prihatin. Namun saya kerap
merasa terusik dengan penegakan hukum yang dijalankan setengah hati.
Apa yang ada di benak saya, berbagai catatan diatas hanya sebuah
implikasi dari tidak tegaknya hukum di negara ini. Stagnasi pembangunan,
angka korupsi yang tinggi atau tingginya kriminalitas yang ada sekarang
disebabkan satu faktor yaitu penegakan hukum yang tidak benar-benar
dijalankan sebagaimana mestinya.
Penegakan hukum di Indonesia menurut saya adalah penegakan hukum yang
penuh drama dan kepura-puraan. Misalnya pemberantasan korupsi setengah
hati dengan tebang pilihnya perkara korupsi, Pemberantasan korupsi atas
dasar kepentingan politik atau karut marutnya cara menegakkan hukum
telah melahirkan kekecewaan karena banyak ketidakadilan yang timbul
karenanya.
Silahkan anda lihat bagaimana sebuah lembaga pemberantas korupsi menjadi
alat politik dan kepentingan kelompok tertentu, Lihat bagaimana mereka
mementaskan drama kamasutra yang didalamnya melacurkan proses hukum
dengan penghancuran moral pribadi seorang tersangka meski tiada kaitan
antara perkara korupsi yang tengah ia hadapi. Anda juga tentu mampu
menelaah berbagai rekayasa perkara hanya untuk menumbangkan kelompok
yang tak disukai oleh kelompok lainnya sehingga sebuah proses hukum
dijalankan sangat tampak dipaksakan atau penegakan hukum yang tak sesuai
rambu-rambu yang telah digariskan di dalam UU atas nama semangat dan
terobosan pemberantasan korupsi. Bagi saya itu tampak konyol yang tak
lebih bagus dari apa yang disebut sebagai pseudolaw alias hukum yang
dipaksakan.
Dari itu semua, lebih memprihatinkan lagi saat berbagai pihak yang
kritis terhadap penegakan hukum dipersepsikan sebagai pihak-pihak yang
kontra dengan pemberantasan korupsi. Opini penting para guru besarpun
hanya dianggap sebagai sebuah pendapat jalanan yang tak lagi memiliki
bobot dan makna dalam menginterpretasi sebuah perkara hukum. Pendapat
para Guru Besar dan Akademisi nonpartisan tersebut dianggap sebagai
opini-opini yang menyesatkan dengan label sebagai orang normatif,
prosedural atau penganut positivism hukum yang kaku dan tak punya daya
dobrak dalam pemberantasan korupsi yang dianggap telah sangat akuut.
Lembaga pemberantas korupsi yang telah menjadi alat kekuasaan,
hakim-hakim yang takut berhadapan dengan persepsi publik, berbagai LSM
antikorupsi yang senantiasa terus mengintimidasi para penegak hukum
dengan mempersepsikan mereka yang tak sejalan dengan sebutan tidak
berintegritas membuat hukum di Negara ini semakin amburadul karena hasil
menjadi tujuan utama dengan mengabaikan cara-cara penanganannya.
Bagi saya, Pendapat Hans Kelsen sangat tepat yaitu hukum murni yang
harus dibersihkan dari anasir-anasir non-yuridis, seperti unsur
sosiologis, politis, historis, kepentingan kelompok bahkan etis. Hukum
adalah kumpulan norma-norma dengan berbagai batasan dalam pelaksanaanya.
Hukum adalah keharusan yang mengatur tingkah laku manusia termasuk
mengatur mereka yang menjalankan proses hukum itu sendiri sehhingga
aturan hukum yang benar-benar dijalankan secara prosedural adalah entry
acces utama untuk mencapai keadilan pada langkah berikutnya.
Jadi kepada siapa lagi kita mempercayakan keadilan di negeri ini jika
pemberantas korupsi yang super saja dikendalikan dan menjadi alat
penguasa dengan berbagai kesembronoannya dalam melaksanakan penegakan
hukum? Kepada siapa lagi kita menyandarkan kebenaran obyektif jika
hakim-hakim yang semestinya memberikan keadilan hanya sosok-sosok
penakut untuk menyelaraskan arti kebenaran dengan aturan yang ada?
Kepada siapa lagi kita meminta rujukan saat opini para professor
kedudukannya tak lebih bernilai dari ocehan preman pasar?
“Prihatin”
*http://hukum.kompasiana.com/2013/11/14/penegakan-hukum-setengah-hati-yang-menjadi-sumber-masalah-609386.html
0 komentar:
Posting Komentar