Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
Arusnya
mengalir begitu deras, mengalir menerjang bebatuan, pepohonan, tumbuh-tumbuhan
kecil, menerpa dan mengikis tanah lembab sedikit demi sedikit. Bahkan tanah dan
bebatuan yang kokoh pun sedikit demi sedikit terkikis karena terjangan dan
terpaan arus yang terus menerus. Arus ini menggerus apapun yang berada di
sepanjang jalannya, sekokoh dan sesolid
apapun materi tersebut. Arus yang begitu konsisten ini terkadang harus
menghadapi sekelompok penantangnya. Dan hampir dapat di pastikan arus ini akan
selalu memenangkan pertarungan dengan para penantang arus tersebut.
Perkenalkan
mereka para penantang arus, yang selalu tak sabar dengan perubahan. Inginnya
selalu instan dan konstan. Para penantang arus ini tak menghargai proses dan
sangat mementingkan hasil akhir. Apapun yang terjadi yang paling penting adalah
hasil akhirnya, ini opini mereka para penantang arus. Terkadang mereka harus
menerima akibatnya akibat terlalu terburu-buru dalam bersikap, bertindak, dan
menganalisis segala sesuatunya.
Para
penantang arus ini tidak menyadari bahwa ada alam yang lebih kekal setelah alam
dunia yang hanya menjadi tempat persinggahan mereka. Sehingga, mata dan hati
para penantang arus sering larut dalam perdebatan panjang. Padahal, kata Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah mata merupakan penuntun, sedangkan hati adalah pendorong dan
penuntut. Mata menikmati pandangan dan hati menikmati kepuasan pencapaian.
Dalam cinta, keduanya merupakan sisi
yang tidak bisa melepaskan. Manakala terpuruk dalam kesulitan dan sama-sama
berada dalam cobaan, keduanya saling mencela dan mencaci.
Hati
berkata kepada mata, “Kamu yang menyeretku kepada lubang kebinasaan,
menjadikanku berada dalam penyesalan panjang hanya karena telah mengikuti
langkahmu sesaat saja. Kamu lemparkan lirikan ke taman itu, kamu mencari
penawar di kebun penyakit, dan kamu melanggar firman Allah Yang Maha Bijaksana,
“Hendaklah kamu menahan pandangan.” Kamu juga menyalahi tuntunan Rasulullah
yang menyatakan, “Memandang perempuan
adalah panah iblis yang berlumur racun, barangsiapa yang melakukannya karena
takut kepada Allah Swt. maka Allah akan memberikan balasan atas keimanannya,
berupa kemanisan iman yang ia rasakan di dalam hatinya.” (H.R.Ahmad).
Inilah debat panjang antara mata dan hati para penantang arus, karena para
penantang arus tersebut tidak sabaran, terburu-buru dengan perubahan sehingga
mereka sendirilah yang kemudian terjerembab dalam lembah hitam kemaksiatan yang
semakin samar-samar.
Kondisi
ini sangat kontradiktif dengan para petualang arus, para penjelajah arus. Para
penjelajah arus begitu menikmati arus yang akan dilewatinya. Mereka menyadari
bahwa arus adalah gerakan yang alamiah, seperti gerakan api yang sedang
berkobar. Inilah mereka para penjelajah arus, memiliki sedikit kesamaan dengan
para penantang arus, yaitu lebih menghendaki gerakan secara kolektif dan
berjama’ah.
Kata
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, ada satu golongan berjalan pada rel perintah dan
cinta-Nya, mereka berhenti di tempat penghentian yang ditentukannya. Mereka
bergerak sesuai dengan panduan gerak dan perintah-Nya. Mereka mempergunakan
perintah dan dalam takdir, mendayung dengan sampan perintah di lautan
takdir-Nya, menetapkan urusan dengan takdir-Nya, dan menghukum dengan
ketetapan-Nya. Semua itu sebagai manifestasi dari ketaatan terhadap
perintah-Nya dan demi mencari keridhaan-Nya. Mereka inilah orang-orang yang
selamat dan berbahagia. Menurut penulis pribadi, karakteristik yang disampaikan
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah inilah karakteristik yang mendekati sosok para penjelajah arus.
Dari
sekian banyak para penjelajah arus dan diantara mereka, rupanya ada sosok yang
lebih membanggakan dan semangat dalam mengakselerasi gerakan mereka. Sebut saja
sosok ini disebut Sang Penjelajah arus. Sang penjelajah arus pandangannya
begitu visioner dan idealismenya kuat. Meski terkadang keputusan yang diambil
harus situasional dan kondisional, sesuai momentum. Tapi Sang penjelajah arus
ini tetap yakin dengan sumber dan prinsip kebenarannya.
Sang
penjelajah arus bermukim di sebuah negeri yang katanya
bersemayam Satria Piningit, sering disebut Nusantara. Sang penjelajah arus sering menjelajah negeri nusantara yang
sangat ia cintai ini, tidak lain adalah wujud cintanya kepada Allah atas nikmat
negeri yang indah ini. Ia pernah menjelajahi
puncak, meretas jejak para pendahulu, meniti jalan Sekolah Karakter Kebangsaan. Ia pernah
menjelajah ke tanah Ambon manise di Maluku, ia pernah menjelajah istana Sultan
Babullah di Ternate, pernah menjejakkan kaki di monumen perjuangan Bandung Jawa
Barat, pernah mencapai puncak matantimali Sigi Sulawesi Tengah, pernah merapatkan
langkah untuk mendaki segoro gunung Solo Jawa Tengah, pernah menjejakkan kaki
dan merasakan kisah indah di Tanah kelahiran Bung Tomo Surabaya Jawa Timur, pernah
menyebar langkahnya di dermaga Bitung Sulawesi Utara, pernah memantapkan
langkahnya di tanah kelahiran Sultan Hasanuddin Makassar Sulawesi Selatan,
pernah menderapkan kakinya di tanah istimewa Yogyakarta, dan pernah merasakan
hangatnya pasir pantai Bambarano Donggala Sulawesi Tengah.
Ia mencintai negeri ini, ingin ibu
pertiwi ini tak lagi meneteskan air mata.
Negeri ini begitu kaya, begitu elok dan dicintai. Dengan
Rasa Cinta yang begitu mendalam, sering Sang Penjelajah arus menyanyikan sebuah
lagu karya Ismail Marzuki yang berjudul Tanah Air :
"Walaupun
banyak negeri kujalani..
yang masyhur permai di kata orang..
tetapi kampung dan rumahku..
disanalah ku rasa senang..
tanahku tak kulupakan..
Engkau Kubanggakan.."
(Tanah Air, Ismail Marzuki)
yang masyhur permai di kata orang..
tetapi kampung dan rumahku..
disanalah ku rasa senang..
tanahku tak kulupakan..
Engkau Kubanggakan.."
(Tanah Air, Ismail Marzuki)
Ia
tak seideal sosok pemeran utama dalam film Sang Kiai. Ia pun menyadari bahwa
semangat pembaharuannya dalam mengarahkan arus tak sebegitu menggelegar ide dan
aksi sosok pemeran utama dalam film Sang Pencerah. Mungkin saja hubungan dengan kawan-kawannya
tak se-solid para pemeran dalam film Laskar Pelangi. Mungkin juga, ia sedang
tidak dalam kondisi terbaiknya dalam berjuang seperti para pemeran utama dalam
film 5 Cm yang kondisinya selalu baik bahkan jauh lebih baik untuk meraih
mimpi. Atau mungkin juga mimpi, harapan, dan asa-nya tak se-konkrit para
pemeran dalam film Negeri 5 Menara.
Inilah
dia, Sang penjelajah arus. Meski bukan sosok yang ideal, ia yakin seluruh
kerusakkan sistem akan dapat diperbaiki sedikit demi sedikit, maka ia terus
berjuang tanpa kenal lelah. Meski terkadang ia harus sedikit manusiawi dengan
merasa iri pada para anak pejabat dan konglomerat. Ia yakin dengan perbaikan
yang dimulai dari individu, maka kerusakkan yang sudah sistemik ini akan
semakin baik dan harapan besarnya kerusakkan ini akan sirna. ia yakin suatu
saat atas kehendak Allah, kerja secara Berjama’ah, dengan niat yang baik,
metode yang baik, bahan baku yang baik, komponen mesin yang prima dan mumpuni,
suatu saat bangsa ini akan semakin baik dan tercerahkan, Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafuur.
0 komentar:
Posting Komentar