Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
Senin, 17 November 2014
Dakwah Kampus itu Sensasi Inspirasi!
Palu, 9 November 2014
Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
dakwatuna.com – Episode dakwah kampus akan terus
berlanjut, dalam narasi perjuangan pemuda-pemudi yang memilih jalan
hidupnya berbeda dengan orang-orang di sekitarnya. Para pemuda-pemudi
yang mungkin saja sengaja memilih jalan yang tak dilalui oleh orang
banyak. Mungkin jalan ini juga tak ditengok para kawula muda perkotaan
yang disibukkan oleh kegiatan mengejar perkembangan zaman yang
diidentikkan dengan lifestyle. Bahkan kawula muda pedesaan pun
menganggap perlu untuk meniru pemikiran kawula muda perkotaan. Namun,
baik kawula muda perkotaan maupun kawula muda pedesaan, di antara mereka
ada pula yang memilih menulis narasi mereka dengan narasi perjuangan.
Sebuah narasi yang kelak akan menjadi tinta emas sejarah, meskipun pada
saat ini belum banyak yang memahaminya. Episode dakwah kampus adalah
serangkaian jalan yang telah dipilih oleh para pemuda-pemudi ini.
Pemuda-pemudi
yang memilih untuk berkontribusi ini, menganggap bahwa saat ini tak ada
waktu lagi untuk mengeluh, meratap, mengutuk kegelapan, mencerca
kondisi tak ideal, dan tak optimis memandang realita. Pemuda-pemudi ini
lebih memilih secara perlahan untuk mengubah lifestyle mereka
yang cenderung sekuler dan materialis. Perlahan tapi pasti, karena
perubahaan itu bertahap, dan perubahan itu adalah sebuah keniscayaan.
Karena perubahan itu adalah keniscayaan, berarti hanya ada dua hal yang
menjadi arah perubahan. Arah perubahan dalam diri manusia hanya ada dua
kemungkinan, berubah menjadi lebih baik atau berubah menjadi semakin
buruk. Life is a choice kawan! Pilihlah perubahan mana yang
pantas untuk engkau pilih lalu engkau tempuh jalannya. Perubahan ke arah
lebih baik, kebanyakan terjadi di usia-usia produktif. Salah satu
faktor penyebab perubahan ini adalah dakwah kampus. Celupan dan sentuhan
dakwah kampus merubah pola pikir para pemuda-pemudi ini, perubahan yang
cukup drastis.
Sungguh beruntung mereka yang telah tersentuh
dakwah kampus, lalu kemudian menjadi pejuang-pejuangnya. Pejuang yang
tak kenal lelah. Meskipun kerja-kerja mereka terkesan monoton, lebih
suka kegiatan-kegiatan seremonial. Mungkin inilah yang perlu dievaluasi
di kalangan aktivis dakwah kampus. Aktivis dakwah kampus yang penulis
amati luar biasa semangatnya untuk perubahan, tetapi substansi dari
dakwah kampus itu sendiri masih sulit untuk dipahami dan dipraktekkan.
Meskipun seperti itu kondisinya, para pejuang-pejuang dakwah kampus ini
tetap mampu menjadi sumber inspirasi.
Dakwah kampus itu sensasi
inspirasi, mampu memberikan sensasi di kalangan akademisi dan civitas
akademika dan pada saat yang sama mampu menjadi sumber inspirasi. Tiga
lini utama dakwah kampus barangkali perlu untuk diketahui dan dipahami
kembali bagi yang sudah mengetahuinya. Lini yang pertama adalah lini
da’wi, lini untuk mencetak kader-kader dakwah kampus yang militan dan
kapasitas ilmu agama yang mumpuni. Lini kedua adalah lini siyasih,
selain menghasilkan kader-kader dakwah kampus yang mumpuni di bidang
agama, kader-kader dakwah kampus tipe siyasih juga dibutuhkan dan perlu
dijaga keberlangsungan regenerasinya. Kader-kader dakwah kampus tipe
siyasih adalah mereka para politikus kampus, para aktivis dakwah yang
memiliki kapasitas untuk mengambil peran di badan eksekutif mahasiswa,
himpunan mahasiswa, dan unit-unit kegiatan mahasiswa lainnya. Lini
ketiga adalah lini ‘ilmi, dimana goals dari lini ini adalah mencetak sebanyak mungkin Dakwah Kampus Permanen (DKP).
Sensasi
inspirasi dakwah kampus tidak sampai di situ saja, karena dakwah kampus
sejatinya adalah dakwah yang bersifat original. Orisinalitas dakwah
kampus tak perlu untuk diperdebatkan lagi, sebab dengan kembali kepada
keaslian dakwah akan semakin memacu dan mengakselerasi menuju tujuan
utama dari dakwah kampus itu sendiri. Dalam buku Menuju Kemenangan
Dakwah Kampus yang ditulis oleh Ahmad Atian, setidaknya ada lima poin
tentang back to originality. Kelima hal itu adalah Islam,
Tarbiyah, Dakwah, Fiqih Dakwah, dan Manhaj Dakwah. Agar pemahaman kita
semua semakin mendalam terkait kelima hal tersebut, penulis menganjurkan
membaca buku Menuju Kemenangan Dakwah Kampus karya Ahmad Atian dan buku
Fiqih Dakwah karya Al-Ustadz Jum’ah Amin Abdul Aziz.
Dakwah
kampus itu memang harus punya sensasi, mengapa harus punya sensasi?
Karena sebagian besar objek dakwahnya adalah orang-orang yang tergolong
usia produktif. Objek dakwah yang seperti ini membutuhkan cara berdakwah
yang tidak biasa, cara yang penuh sensasi namun tetap dibatasi oleh
syariat Islam. Sensasi yang membuat semua mata terpana, sensasi yang
menggali dan menganalisa potensi kader dakwah, tentunya dengan
mempelajari realitas kekinian. Sensasi bisa dalam bentuk prestasi,
kreatifitas, sifat organisatoris, pantang menyerah, bertanggungjawab,
dan menjadi teladan dalam perilaku. Sensasi prestasi hendaknya
diwujudkan dalam kapasitas kader dakwah kampus yang mumpuni dalam bidang
akademik. Minimal indeks prestasi kumulatif yang dimiliki seorang kader
dakwah kampus menginspirasi orang-orang di sekitarnya. Sensasi
kreatifitas dapat diwujudkan dalam kreatifitas. Kader dakwah kampus yang
kreatif, yang tak mudah menyerah, yang kreatif dalam memecahkan setiap
persoalan. Sehingga dengan sensasi tersebut dakwah kampus mampu menjadi leading innovation dan trendsetter bagi lembaga-lembaga kemahasiswaan lainnya.
Dakwah
kampus itu memang harus menjadi sensasi inspirasi, segala sensasi yang
telah diciptakan hendaknya menjadi inspirasi bagi para objek dakwah,
bagi orang-orang banyak. Sensasi inspirasi yang mampu menyentuh hati
para objek dakwah, karena salah satu indikator keberhasilan dakwah
kampus adalah tentang bagaimana menyentuh hati. Mengapa di awal-awal
dakwah Rasulullah SAW, beliau tidak langsung menghancurkan patung-patung
berhala? Rasulullah SAW tidak langsung mengubah kebiasaan-kebiasaan
jahiliyah secara frontal? Karena Beliau sangat memhami bahwa dakwah
adalah persoalan hati. Bagaimana caranya bisa menyentuh hati orang-orang
agar kemudian hidayah yang datang dari Allah dengan diri kita yang
menjadi penyebabnya, menggerakkan orang tersebut karena telah terpatri
dalam hati.
Dakwah kampus itu sensasi inspirasi yang mampu
menyentuh hati. Setelah menyentuh hati, maka muncul pola pikir yang
baru. Karena ketika asal perubahannya dari hati, akan mengubah secara
perlahan pola pikir manusia. Pola pikir yang tidak tercemari oleh paham
kapitalis dan sosialis, cukup mengambil hal-hal baik dan penting dari
kedua paham itu saja. Pola pikir yang telah tershibgah dengan shibgah yang paling baik. Shibgah manakah yang paling baik selain shibgah Allah?
Pola pikir yang benar-benar meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa
sumber dari segala sumber kebenaran adalah Islam. Pola pikir yang
menentang segala macam bentuk nilai-nilai liberalisme yang membuat semua
hal menjadi liberal, menjadi bebas sebebas-bebasnya, tidak lagi
dibatasi oleh nilai-nilai moral dan etika, bebas dari nilai-nilai agama.
Selanjutnya pola pikir para kader dakwah kampus akan mewujud nyata
dalam perilaku sehari-harinya.
Dakwah kampus memang sensasi
inspirasi yang telah menyentuh hati, mengubah pola pikir, lalu terwujud
nyata dalam perilaku. Perilaku yang baik, menjadi teladan, akhlak yang
baik, teladan di atas teladan mahasiswa –mahasiswi yang ada, teladan
dalam perilaku adalah teladan yang optimal untuk merubah. Betapa
bahagianya mereka para kader dakwah kampus dengan segala sensasi
inspirasinya, yang mampu menginspirasi dan mengubah banyak orang. Contoh
konkretnya adalah jilbab syar’i yang menjadi trend di kalangan
perempuan, shalat berjamaah di Masjid yang perlahan menjadi kebiasaan
civitas akademika. Itulah beberapa contoh sensasi inspirasi yang akan
kita rumuskan, kita diskusikan, kemudian kita wujudkan bersama. Ingat,
dakwah kampus adalah juga tentang pewarisan visi dan misi. Pewaris tugas
mulia para Nabi dan Rasul.
Memang, sensasi inspirasi ini terlihat
sangat ideal bila disandingkan dengan realitas kemasyarakatan yang ada.
Tetapi, teruslah bergerak mengejar keidealan tersebut! Kapan lagi ada
peluang untuk menjadi semakin baik kalau bukan sekarang? Sekali lagi
karena perubahan adalah keniscayaan. Apa anda akan betah menjadi orang
yang jauh dari Allah sampai akhir hayat? Waktunya bagi dakwah kampus
untuk menjadi sensasi inspirasi bagi semua umat manusia, dimulai dari
diri sendiri, keluarga, lingkungan kampus, masyarakat, bangsa, dan
negara.
Selasa, 11 November 2014
Di Mercusuar Manimbaya Aku Berdiri
Palu, Diruang Tengah, 31 Oktober 2014
Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
dakwatuna.com - Di sana aku pernah berdiri, mendaki
anak-anak tangga yang seluruhnya terbuat dari besi. Sebelum mendaki
anak-anak tangga menuju lantai tertinggi mercusuar tersebut,
rupa-rupanya banyak yang mau dan sudah mencoba tetapi belum sampai ke
lantai tertingginya. Sepertinya, memang harus mengumpulkan banyak
keberanian, karena kalau cuma berani saja tidak akan mampu untuk sampai
di puncak mercusuar. Sepertinya, bukan hanya persoalan nyali saja,
tetapi juga harus paham caranya. Bagaimana mungkin bisa mendaki anak
tangga yang panjangnya kurang dari semeter dan lebar tidak lebih dari
telapak kaki dengan tidak menggunakan teknik dan tidak tahu caranya?
Matahari tampak sangat cerah, tak ada satupun awan yang menghalangi
pancaran sinarnya. Terasa sangat panas, namun semangat berpetualang
meniadakan rasa panas menyengat tersebut. Bisa jadi panas menyengat
tersebut tak terasa karena hembusan angin sejuk di Tanjung Manimbaya
Sulawesi Tengah. Hembusan angin tanjung yang merupakan kombinasi angin
darat dan angin laut, terlihat dari dua gelombang besar yang bertemu di
bagian utara Tanjung Manimbaya.
Perjalanan ini dimulai dari Kota
Palu, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah. Sebelum menuju ke Tanjung
Manimbaya di Pantai Barat, begitu kami menyebutnya, tujuan pertama
adalah Pulau Pasoso yang jaraknya sekitar tiga jam perjalanan kapal laut
dari Desa Malei, sebelah utara sisi luar Tanjung Manimbaya. Sesampainya
di desa Malei Kabupaten Donggala kami istirahat sejenak mempersiapkan
diri sebelum menaiki kapal laut keesokan harinya di pagi hari. Tetapi
istirahatnya tak berlangsung lama, karena sore harinya kami bermain bola
bersama penduduk lokal. Pertandingan sepak bola yang berlangsung cukup
sengit, hampir semua kalangan umur bertanding di halaman belakang rumah
tempat kami menginap, halamannya cukup luas dan masih merupakan halaman
sekolah dasar di desa Malei. Karena yang bermain sepak bola hampir dari
semua kalangan umur, dari anak kecil, menjelang dewasa, dewasa, orang
tua, terkadang gelak tawa muncul di tengah-tengah permainan. Bagi kami,
tak peduli kalah ataupun menang, yang terpenting semua orang menikmati
permainan tersebut. Seandainya Tim Nasional Sepak Bola Indonesia juga
memiliki pemikiran seperti itu, pasti akan tercipta permainan sepak bola
yang solid dan indah karena menikmati sepak bola dengan sepenuh hati,
jiwa, dan raga.
Karena sebagian besar rombongan perjalanan ini
sudah lama ter-Tarbiyah, dan sebagian besarnya adalah Aktifis Dakwah
Kampus, setiap selesai melaksanakan Shalat Fardhu kami berlomba-lomba
untuk Tilawah Alquran, target minimal satu juz, karena ruh Quran juga
merupakan sumber energi kami, kepada siapa lagi meminta energi ruhiyah
kalau bukan kepada Allah SWT. Kalau persoalan makanan jasmani itu bisa
diusahakan dan diupayakan, bukankah makanan untuk Ruhiyah juga perlu
diperhatikan? Di malam hari, kami berkumpul membahas persiapan menuju
Pulau Pasoso di pagi hari. Pulau yang katanya berada di bagian luar
Tanjung Manimbaya. Pulau yang katanya merupakan tempat budi daya hewan
laut bernama penyu. Pulau yang kata orang-orang tak kalah indah dengan
obyek wisata yang lain, namun belum terekspos secara masif di media,
masih sebatas pembicaraan dari mulut ke mulut dan obrolan di sosial
media.
Perjalanan menuju Pulau Pasoso pun dimulai di pagi hari,
segala yang perlu dipersiapkan sudah dikemas di dalam ransel
semi-carrier-ku. Kawan-kawan yang lain pun sudah bersiap, tak lupa
kupakai syal Palestina andalanku. Syal yang merupakan produk dari Komite
Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP). Kudapatkan dari seorang Ibu
yang sangat kusegani dan kuhormati, pada saat itu beliau masih menjadi
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Palu dan juga
menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Palu. Syal Palestina ini
panjangnya tak sampai satu meter, kombinasi warna hitam dan putih
membuatnya tampak indah, ditambah lagi dengan Bendera Palestina dan
Bendera Indonesia yang menandakan eratnya persahabatan kedua negara ini.
Bagaimana tidak, salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan
Indonesia selain Mesir adalah Palestina. Wajar saja jika tragedi
kemanusiaan di Palestina juga seharusnya menjadi duka kita rakyat
Indonesia, duka dengan rasa kemanusiaan yang begitu tinggi, terkhusus
duka sebagai saudara sesama Muslim. Karena setiap Muslim adalah saudara,
kapan saudaranya disakiti maka ia pun merasakannya.
Perjalanan
menuju Pulau Pasoso pun dimulai, dengan menaiki kapal laut yang tidak
terlalu besar. Membawa perbekalan secukupnya, kapal pun melaju memapas
gelombang-gelombang kecil ombak dilautan. Sepanjang perjalanan, sembari
mengobrol, muncul sebuah kesadaran dalam benak pikiranku. Kesadaran
tentang betapa kecilnya kita di tengah-tengah lautan yang begitu besar
dan lautan tersebut kapan saja atas kehendak Allah siap menghantam dan
meluluhlantahkan daratan. Lautan yang merupakan ciptaan Allah yang
senantiasa bertasbih memuji Allah SWT, yang cara beribadah dan
bersujudnya lautan kepada Allah tak akan pernah kita tahu bagaimana
caranya dan seperti apa, tetapi keyakinan bahwa segala yang ada di
langit dan di bumi bertasbih memuji Allah senantiasa ada. Cukup lama
perjalanan ini, menyusuri pantai bagian barat Balaesang Tanjung. Sampai
berada di ujung tanjung, terlihat mercusuar yang begitu sederhana. Ya,
setelah dari Pulau Pasoso, besoknya kami akan segera kesana.
Pulau
Pasoso mulai terlihat dari kapal kecil yang kami naiki, kecepatannya
pun mulai distabilkan karena gelombang semakin besar. Kapal kecil sempat
oleng beberapa saat, tetapi sang juru kemudi yang sudah punya segudang
pengalaman melaut segera sigap mengatasinya, yang paling penting
penumpang jangan sampai panik. Ombak yang menggulung dan tinggi mulai
mereda, digantikan dengan semilir angin laut lepas dan gelombang yang
tidak terlalu tinggi. Terkejut beberapa dari kami menyaksikkan
kemunculan hewan laut yang akrab dengan manusia, ya, lumba-lumba
mengiringi kapal kecil kami menuju Pulau Pasoso. Melompat dengan gaya
khas mereka, bersama sekelompok teman-temannya. Bagiku, ini pertama
kalinya melihat lumba-lumba di laut lepas, sungguh pemandangan yang
benar-benar natural. Selama ini aku hanya menyaksikkan lumba-lumba di
kolam pertunjukkan saja, di Taman Ria Kota Palu dan Ocean Dream Ancol
Jakarta, hanya saja mereka adalah lumba-lumba yang telah terlatih dengan
berbagai atraksi. Kali ini, lumba-lumba di laut lepas begitu indah
disaksikkan dan menyejukkan hati. Betapa tidak, lumba-lumba yang selama
ini disaksikkan dalam keadaan tertekan, kalau tidak melakukan hal-hal
yang atraktif diancam tidak akan diberikan makanan bahkan akan mendapat
punishment dari petugas kebun binatang. Ya, inilah realitas yang terjadi
dibeberapa kebun binatang ternama dan wahana pertunjukkan hewan di
Indonesia.
Semakin dekat di Pulau Pasoso, pemandangannya semakin
eksotik saja. Seperti tak percaya akhirnya ini dapat disaksikan langsung
oleh mata kepala sendiri, warna laut dan pasir yang betul-betul alami,
mirip-mirip pemandangan pantai di Wallpaper Windows Seven. Semakin
mendekat ke dermaga, terlihat satu dua ekor penyu sedang berenang dengan
tenangnya, dan sekali lagi ini pengalaman pertama kali aku menyaksikkan
hewan langka ini. Seperti biasa, kalau melihat objek baru pasti akan
segera mengambil gambar, sesaat setelah kapal kecil kami berlabuh mulai
beberapa teman-teman mencari tempat strategis untuk berfoto ria di Pulau
yang masih begitu alami ini, Pulau Pasoso. Cukup banyak aktivitas yang
kami lakukan di pulau ini, sampai mendapat surprise tak terduga dari
komunitas mancing mania yang juga sedang berada di pulau itu, kami
mendapat beberapa ekor ikan yang cukup besar hasil dari Silaturrahim.
Selesai melepas lelah dan beraktifitas di Pulau Pasoso kami kembali ke
Desa Malei menjelang sore. Dalam perjalanan, perenungan atas ciptaan
Allah bernama laut ini terus kulakukan, bahwa ternyata betapa kecilnya
kita di tengah-tengah samudera yang begitu luas ini. Menjelang berlabuh
di Desa Malei, ternyata kemudi kapal kecil ini patah di tengah
perjalanan tadi, hanya saja juru kemudi tak memberitahukan kami agar tak
ada penumpang kapal yang panik. Sungguh sebuah kejadian dan pengalaman
berharga yang seharusnya membuat kami semakin banyak bersyukur, bukannya
mengeluh dan meratap.
Keesokan harinya, kami melanjutkan
perjalanan menuju Tanjung Manimbaya, yang sempat kami saksikan ketika
dalam perjalanan menuju Pulau Pasoso sehari sebelumnya. Ternyata jalan
menuju kesana lumayan jauh dan belum begitu baik, butuh ketangkasan dan
kelincahan yang mumpuni dalam berkendara. Akhirnya kami tiba di
Mercusuar Tanjung Manimbaya. Sebelumnya kami diingatkan oleh penduduk
setempat yang berdomisili di Kompleks Mercusuar tersebut agar hati-hati
dalam berkata dan tidak mengeluarkan kata-kata kotor. Menurutku ini
terlalu berlebihan, tapi demi menghargai etika dan kebudayaan setempat
kami memilih untuk mematuhinya. Dalam pikirku, mengapa tidak sekalian
saja setiap hari dan setiap waktu bagi kita umat manusia untuk
senantiasa menjaga perkataan dan tidak mengeluarkan kata-kata kotor?
Bukankah itu lebih baik? Bukankah ciri perilaku manusia dapat dilihat
dari kata-kata yang dikeluarkannya? Bukankah bertutur kata yang baik
juga mencerminkan akhlak yang baik? Setiap waktu, setiap saat, bukan
hanya di kompleks Mercusuar Tanjung Manimbaya saja hendaknya menjaga
perkataan dan bertutur kata yang baik.
Aku mengambil langkah dan
memberanikan diri untuk menjadi yang pertama sampai di puncak Mercusuar
Manimbaya. Meskipun pada awalnya sedikit nervous dan gemetaran karena
semakin ke atas, semakin tinggi, semakin kencang saja angin berhembus.
Seakan-akan besi mercusuar yang kokoh tersebut bergema dan bersuara
karena terpaan angin, deru suara besi yang diterpa angin seakan-akan
mercusuar akan roboh. Padahal itu hanya sekadar sangkaan saja. Ini
pengalaman yang amat berharga bagiku, perenungan-perenungan yang
mendalam bahwa betapa tak ada apa-apanya kita di alam yang luas ini,
betapa kecilnya diri kita ini. Namun sebagian besar dari kita begitu
berdiri di gedung pencakar langit, berdiri di daratan perkotaan, berdiri
di belantara beton perkotaan, merasa sombong dengan segala apa yang
kita miliki padahal semuanya itu hanya bersifat sementara. Bukankah
segala yang kekal itu ada di negeri Akhirat? Mengapa masih begitu
tergila-gila mengejar kefanaan dunia? Dunialah yang menjadi tempat
mengumpulkan bekal untuk menuju akhirat, inilah yang harus senantiasa
terpatri dalam jiwa, pikiran, perasaan, dan hati kita.
Sesekali
jelajahilah alam sekitar agar engkau juga mengetahui kompleksitas
penciptaan alam beserta sistem ekologinya yang senantiasa dijaga oleh
Sang Pencipta. Sesekali teroboslah jenggala-jenggala pepohonan dan
rerumputan agar angkau juga menyadari bahwa betapa luar biasanya detail
penciptaan setiap makhluk yang tidak akan sanggup dihitung dan diukur
dengan akal kita sehebat bagaimanapun ilmu kita. Sesekali arungilah
samudera yang luas agar engkau tersadar betapa kecilnya dirimu, tak
pantas untuk merasa sombong dan angkuh dengan segala kemewahan yang
sifatnya sementara.
Di Mercusuar Manimbaya aku mencoba berdiri
setinggi-tingginya di puncaknya, berdiri dengan kapasitas ketinggian
seorang hamba yang tak akan sanggup melebihi ketinggian Sang Pencipta.
Di Mercusuar Manimbaya aku berdiri menatap denyut nadi alam dari
pemandangan sebuah tanjung dan takjub dengan segala apa yang ada di
sekitarnya. Di Mercusuar Manimbaya aku menyadari, lalu mencoba menentang
zaman yang semakin cenderung pada nilai-nilai sekulerisme dan
materialisme, menentang zaman dengan idealisme dan keimanan yang kokoh,
dengan penuh keoptimisan mencoba bergerak dengan tetap mengikuti
rambu-rambu Rabbani, seperti dinamisnya gerak Sang Penjelajah Arus,
seperti besarnya kapasitas pemakai baju zirah yang terbiasa memikul
amanah, seperti tingginya keyakinan para penuntas mimpi.
Rabu, 05 November 2014
Dua Jalan : Sebuah Kritik Ekonomi Konvensional
By Unknown05.20Ekonomi Islam, Islam For World, Mohamad Khaidir, Tarbiyah Tsaqofiyah, TausyiahNo comments
Palu, Diruang Tengah, 30 Oktober 2014
Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
dakwatuna.com – Tampaknya realitas kekinian umat
membuat sebagian besar orang menjadi pesimis. Tetapi tidak pada sebagian
kecil orang-orang yang menisbatkan dirinya di jalan dakwah. Mereka
justru memandang dengan penuh optimis sekalipun kondisi umat sungguh
memilukan hati. Mungkin karena sudah jelas tentang keberadaan dua jalan
yang senantiasa membersamai hidup umat manusia. Jalan kebaikan dan jalan
selain kebaikan, yaitu jalan keburukan. Tampaknya kedua jalan ini akan
membuat semua orang hanya akan memilih dua warna, putih atau hitam.
Sepertinya hanya akan ada dua golongan, yang bekerja atau yang
membebani. Tetapi pada dasarnya bukanlah kedua hal yang saling bertolak
belakang. Karena realitas keumatan memberikan kita semua gambaran bahwa
tak ada yang benar-benar putih, dan tak ada yang benar-benar hitam. Tak
mutlak membebani terus menerus, suatu saat akan ada saatnya untuk
bekerja. Yang bekerja juga tak boleh merasa tinggi hati karena terkadang
keberadaan para pekerja juga membebani.
Sekarang jalan kebaikan
dan keburukan itu mewujud nyata sebagai manfaat dan akibat. Manfaatnya
adalah keberkahan pada harta dan jiwa kita, bagaimana tidak, yang
dipilih adalah jalan kebaikan, jalan yang penuh dengan keberkahan.
Sedangkat akibat dari memilih jalan keburukan sangat banyak, selain
tidak mendapatkan keberkahan juga harus rela dilaknat oleh Allah SWT.
Jalan yang telah Allah ridhai banyak yang tidak memilihnya, mungkin saja
karena para penyeru jalan ini jumlahnya masih amat sangat sedikit.
Meskipun jumlah para penyeru jalan kebaikan masih sangat sedikit, mereka
senantiasa dilimpahi keberkahan dan Allah menentramkan hati mereka.
Beda sekali kondisinya dengan mereka yang memilih jalan keburukan.
Keberadaan mereka di dunia ini tak mereka pahami, darimana asal mereka,
serta ke mana mereka akan menuju nantinya sampai sekarang mereka tak
pahami. Bahkan banyak orang yang tak menyadari kedua jalan ini telah
masuk ke ranah ekonomi mereka. Ya, ini tentang ekonomi konvensional yang
telah banyak digunakan dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, dan
ekonomi syariah yang baru sebagian orang menyadari tentang mulianya
sistem ini.
Menurut DR.Euis Amalia, M.Ag., ada sebuah problem
besar yang sangat mendasar dalam ilmu ekonomi konvensional yang
mendominasi kajian bidang ilmu ekonomi kontemporer, yaitu ketidakmampuan
ilmu tersebut memecahkan persoalan kebutuhan ekonomi manusia.
Teori-teori ekonomi yang telah ada, misalnya terbukti tidak mampu
mewujudkan ekonomi global yang berkeadilan dan berkeadaban. Yang terjadi
justru dikotomi antara kepentingan individu, masyarakat, dan negara,
dan hubungan antarnegara. Selain itu teori ekonomi yang ada saat ini
tidak mampu menyelesaikan masalah kemiskinan dan ketimpangan pendapatan.
Juga tidak mampu menyelaraskan hubungan antar regional di suatu negara,
antara negara-negara didunia, terutama antara negara-negara maju dan
negara-negara berkembang dan negara-negara terbelakang. Menurut Murasa
Sarkaniputra, bahkan lebih parah lagi, yaitu terabaikannya pelestarian
sumber daya alam (non-renewable resources).
Sri-Edi
Swasono menyatakan bahwa asumsi yang selama ini dijadikan acuan dalam
pengembangan ekonomi konvensional adalah paradigma lama yang bersumber
dari mitos Kapitalisme Smithian, yaitu (1) kebutuhan manusia yang tidak
terbatas; (2) sumber-sumber ekonomi yang relatif terbatas berupa
memaksimalisasi kepuasan pribadi (utility maximization of self interest); (3) kompetisi sempurna (perfect competition); dan (4) informasi sempurna (perfect information). Pandangan ini kontradiktif dengan realitas yang menunjukkan informasi tidak sempurna (imperfect information), kompetisi tidak sempurna (imperfect competition)
dan tidak pernah terwujud. Asumsi dasar yang terlalu sederhana adalah
bahwa manusia rasional adalah manusia yang dengan dasar inisiatifnya
sendiri mengejar utilitas ekonomi optimal, yaitu mencari keuntungan
maksimal (maximum gain) dengan pengorbanan yang minimal (minimum sacrifice), ia bersaing di pasar bebas (free market) dan menjadi pelaku yang bebas dengan berpedoman pada laissez-faire laissez-passer yang meneguhkan doktrin individual freedom of action.
Manusia menjadi semakin rasional dan melupakan nilai-nilai etika yang
seharusnya juga menjadi pedoman dalam melakukan aktifitas ekonomi.
Penulis sendiri pun yang sempat mendapatkan pengajaran ilmu ekonomi mainstream,
menyadari bahwa selama ini pengajaran ilmu ekonomi tersebut bertitik
tolak dari paradigma ilmu ekonomi klasikal parsial dan tidak terlepas
dari asumsi-asumsi dasar yang disebut sebagai mitos-mitos Kapitalisme
Smithian.
Menurut M.B.Hendri Anto, pemikiran lama yang berakar pada neoklasikal Smithian tidak berpedoman pada sistem nilai (value based)
atau sekuler. Sekularisme berusaha untuk memisahkan ilmu pengetahuan
dari agama dan bahkan mengabaikan dimensi normatif atau moral sehingga
berdampak kepada hilangnya kesakralan kolektif (yang diperankan oleh
agama) yang dapat digunakan untuk menjamin penerimaan keputusan ekonomi
sosial. Sedangkan paham materialisme cenderung mendorong orang untuk
memiliki pemahaman yang parsial tentang kehidupan dengan menganggap
materi baginya adalah segalanya.
Tampaknya teori ekonomi yang
berakar dari neoklasikal Smithian ini sudah menjadi konsumsi
sehari-sehari para mahasiswa fakultas ekonomi di Indonesia. Bisa jadi
teori ekonomi konvensional yang menjadi platform pengajaran
ekonomi di negara inilah yang menyebabkan sekularisme dan materialisme
merajalela dialam pikiran dan pemahaman para mahasiswa ekonomi yang
kelak akan mengisi setiap sektor pemerintahan dan kemasyarakatan. Kelak,
akan seperti apa negara ini bila pemahaman ini mendominasi pemikiran
para ekonomnya? Kelak akan seperti apa kegiatan jual beli, kondisi
pasar, dan kondisi ekonomi masyarakat bila nilai-nilai sekulerisme dan
materialisme terus menjadi dasar teori-teori ekonomi? Sepertinya dampak
dari hal ini semakin tampak dengan melihat kondisi rakyat Indonesia saat
ini. Kemiskinan yang sampai sekarang belum teratasi dengan tuntas,
namun ditengah kesemrawutan problematika keumatan ini masih ada
sekelompok orang yang memprakarsai beberapa gerakan fenomenal,
menawarkan solusi dengan kepercayaan yang begitu mendalam terhadap
ekonomi syariah. Suatu teori dan sistem ekonomi yang begitu gemilang
dimasa kejayaan Islam.
Meskipun jumlah mereka tidak begitu banyak,
tetapi mereka percaya bahwa suatu saat ekonomi Islam akan mampu
menjawab berbagai permasalahan ekonomi. Kepercayaan mereka ini muncul
dari Iman yang begitu mendalam, Iman yang telah menghujam nurani mereka,
dan ingin Iman tersebut tampak nyata dalam perilaku mereka, khususnya
mewujud nyata sebagai perilaku ekonomi. Mereka mempercayai bahwa suatu
saat pemahaman konservatif dari teori ekonomi konvensional mampu berubah
sedikit demi sedikit, dan masyarakat, para pakar ekonomi, pelaku
ekonomi, birokrat, teknokrat, dan seluruh unsur dapat memandang dengan
penuh optimisme solusi yang mereka tawarkan, ekonomi yang bersumber dari
syariat Islam dan berpedoman kepada Alquran dan Assunnah.
Memang
terihat begitu ideal solusi yang mereka tawarkan ini, Ekonomi Rabbani
mereka menyebutnya. Sangat-sangat ideal tanpa memandang realitas. Tetapi
tahukah kita? Bahwa rasa optimis untuk menjadi pejuang Ekonomi Rabbani
ini sesungguhnya muncul setelah melihat realitas yang ada. Tampaknya
muluk-muluk, tetapi berangkat dari keyakinan inilah mereka yakin dengan
sebenar-benarnya keyakinan akan jalan yang mereka pilih ini. Mereka
beranggapan bahwa sudah semakin nyata terlihat jalan yang tampak di
hadapan mereka, tepatnya dua pilihan yang memang salah satunya harus
menjadi pilihan, Ekonomi konvensional atau Ekonomi Islam. Kedua jalan
yang jelas arah dan tujuannya, kedua jalan yang perlu pembelajaran yang
mendalam dalam penerapannya di masa kini. Tetapi bukankah kedua jalan
ini telah dibuktikan oleh sejarah? Sejarah menjadi saksi kegemilangan
umat dengan keadilan dan kemakmuran. Di masa lalu bukan hanya
orang-orang Islam saja yang merasakan betapa komprehensifnya sistem ini,
non-muslim pun merasakan keadilan dan naungan ekonomi Islam.
Mungkin
kita hanya perlu membuka kembali lembaran sejarah agar semakin yakin.
Bukankah pemahaman itu lahir dari membaca? Membaca dengan frekuensi yang
tidak sedikit? Membaca dengan perenungan yang mendalam? Semakin banyak
kita membaca tentunya akan terbentuk pemahaman yang komprehensif.
Penulis mengajak para pembaca (khususnya penulis pribadi) untuk tidak
pernah berhenti menjadi pembelajar.
Mungkin saja hati ini sampai
sekarang belum meyakini karena pemahaman yang belum mendalam. Mungkin
juga keyakinan ini butuh pembuktian, maka buktikan dengan belajar
kembali sejarah kegemilangan ekonomi Islam. Atau mungkin juga pemamahan
ini belum tajam karena kondisi Iman yang tengah goncang, maka kuatkanlah
Imanmu, perkokoh ketakwaanmu, dan yakini dengan sebenar-benarnya bahwa
sekarang hanya ada dua jalan dan kita berhak untuk memilih salah satunya
dengan kemantapan hati. Dua jalan itu adalah ekonomi konvensional dan
Ekonomi Islam.