Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
dakwatuna.com – Tampaknya realitas kekinian umat
membuat sebagian besar orang menjadi pesimis. Tetapi tidak pada sebagian
kecil orang-orang yang menisbatkan dirinya di jalan dakwah. Mereka
justru memandang dengan penuh optimis sekalipun kondisi umat sungguh
memilukan hati. Mungkin karena sudah jelas tentang keberadaan dua jalan
yang senantiasa membersamai hidup umat manusia. Jalan kebaikan dan jalan
selain kebaikan, yaitu jalan keburukan. Tampaknya kedua jalan ini akan
membuat semua orang hanya akan memilih dua warna, putih atau hitam.
Sepertinya hanya akan ada dua golongan, yang bekerja atau yang
membebani. Tetapi pada dasarnya bukanlah kedua hal yang saling bertolak
belakang. Karena realitas keumatan memberikan kita semua gambaran bahwa
tak ada yang benar-benar putih, dan tak ada yang benar-benar hitam. Tak
mutlak membebani terus menerus, suatu saat akan ada saatnya untuk
bekerja. Yang bekerja juga tak boleh merasa tinggi hati karena terkadang
keberadaan para pekerja juga membebani.
Sekarang jalan kebaikan
dan keburukan itu mewujud nyata sebagai manfaat dan akibat. Manfaatnya
adalah keberkahan pada harta dan jiwa kita, bagaimana tidak, yang
dipilih adalah jalan kebaikan, jalan yang penuh dengan keberkahan.
Sedangkat akibat dari memilih jalan keburukan sangat banyak, selain
tidak mendapatkan keberkahan juga harus rela dilaknat oleh Allah SWT.
Jalan yang telah Allah ridhai banyak yang tidak memilihnya, mungkin saja
karena para penyeru jalan ini jumlahnya masih amat sangat sedikit.
Meskipun jumlah para penyeru jalan kebaikan masih sangat sedikit, mereka
senantiasa dilimpahi keberkahan dan Allah menentramkan hati mereka.
Beda sekali kondisinya dengan mereka yang memilih jalan keburukan.
Keberadaan mereka di dunia ini tak mereka pahami, darimana asal mereka,
serta ke mana mereka akan menuju nantinya sampai sekarang mereka tak
pahami. Bahkan banyak orang yang tak menyadari kedua jalan ini telah
masuk ke ranah ekonomi mereka. Ya, ini tentang ekonomi konvensional yang
telah banyak digunakan dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, dan
ekonomi syariah yang baru sebagian orang menyadari tentang mulianya
sistem ini.
Menurut DR.Euis Amalia, M.Ag., ada sebuah problem
besar yang sangat mendasar dalam ilmu ekonomi konvensional yang
mendominasi kajian bidang ilmu ekonomi kontemporer, yaitu ketidakmampuan
ilmu tersebut memecahkan persoalan kebutuhan ekonomi manusia.
Teori-teori ekonomi yang telah ada, misalnya terbukti tidak mampu
mewujudkan ekonomi global yang berkeadilan dan berkeadaban. Yang terjadi
justru dikotomi antara kepentingan individu, masyarakat, dan negara,
dan hubungan antarnegara. Selain itu teori ekonomi yang ada saat ini
tidak mampu menyelesaikan masalah kemiskinan dan ketimpangan pendapatan.
Juga tidak mampu menyelaraskan hubungan antar regional di suatu negara,
antara negara-negara didunia, terutama antara negara-negara maju dan
negara-negara berkembang dan negara-negara terbelakang. Menurut Murasa
Sarkaniputra, bahkan lebih parah lagi, yaitu terabaikannya pelestarian
sumber daya alam (non-renewable resources).
Sri-Edi
Swasono menyatakan bahwa asumsi yang selama ini dijadikan acuan dalam
pengembangan ekonomi konvensional adalah paradigma lama yang bersumber
dari mitos Kapitalisme Smithian, yaitu (1) kebutuhan manusia yang tidak
terbatas; (2) sumber-sumber ekonomi yang relatif terbatas berupa
memaksimalisasi kepuasan pribadi (utility maximization of self interest); (3) kompetisi sempurna (perfect competition); dan (4) informasi sempurna (perfect information). Pandangan ini kontradiktif dengan realitas yang menunjukkan informasi tidak sempurna (imperfect information), kompetisi tidak sempurna (imperfect competition)
dan tidak pernah terwujud. Asumsi dasar yang terlalu sederhana adalah
bahwa manusia rasional adalah manusia yang dengan dasar inisiatifnya
sendiri mengejar utilitas ekonomi optimal, yaitu mencari keuntungan
maksimal (maximum gain) dengan pengorbanan yang minimal (minimum sacrifice), ia bersaing di pasar bebas (free market) dan menjadi pelaku yang bebas dengan berpedoman pada laissez-faire laissez-passer yang meneguhkan doktrin individual freedom of action.
Manusia menjadi semakin rasional dan melupakan nilai-nilai etika yang
seharusnya juga menjadi pedoman dalam melakukan aktifitas ekonomi.
Penulis sendiri pun yang sempat mendapatkan pengajaran ilmu ekonomi mainstream,
menyadari bahwa selama ini pengajaran ilmu ekonomi tersebut bertitik
tolak dari paradigma ilmu ekonomi klasikal parsial dan tidak terlepas
dari asumsi-asumsi dasar yang disebut sebagai mitos-mitos Kapitalisme
Smithian.
Menurut M.B.Hendri Anto, pemikiran lama yang berakar pada neoklasikal Smithian tidak berpedoman pada sistem nilai (value based)
atau sekuler. Sekularisme berusaha untuk memisahkan ilmu pengetahuan
dari agama dan bahkan mengabaikan dimensi normatif atau moral sehingga
berdampak kepada hilangnya kesakralan kolektif (yang diperankan oleh
agama) yang dapat digunakan untuk menjamin penerimaan keputusan ekonomi
sosial. Sedangkan paham materialisme cenderung mendorong orang untuk
memiliki pemahaman yang parsial tentang kehidupan dengan menganggap
materi baginya adalah segalanya.
Tampaknya teori ekonomi yang
berakar dari neoklasikal Smithian ini sudah menjadi konsumsi
sehari-sehari para mahasiswa fakultas ekonomi di Indonesia. Bisa jadi
teori ekonomi konvensional yang menjadi platform pengajaran
ekonomi di negara inilah yang menyebabkan sekularisme dan materialisme
merajalela dialam pikiran dan pemahaman para mahasiswa ekonomi yang
kelak akan mengisi setiap sektor pemerintahan dan kemasyarakatan. Kelak,
akan seperti apa negara ini bila pemahaman ini mendominasi pemikiran
para ekonomnya? Kelak akan seperti apa kegiatan jual beli, kondisi
pasar, dan kondisi ekonomi masyarakat bila nilai-nilai sekulerisme dan
materialisme terus menjadi dasar teori-teori ekonomi? Sepertinya dampak
dari hal ini semakin tampak dengan melihat kondisi rakyat Indonesia saat
ini. Kemiskinan yang sampai sekarang belum teratasi dengan tuntas,
namun ditengah kesemrawutan problematika keumatan ini masih ada
sekelompok orang yang memprakarsai beberapa gerakan fenomenal,
menawarkan solusi dengan kepercayaan yang begitu mendalam terhadap
ekonomi syariah. Suatu teori dan sistem ekonomi yang begitu gemilang
dimasa kejayaan Islam.
Meskipun jumlah mereka tidak begitu banyak,
tetapi mereka percaya bahwa suatu saat ekonomi Islam akan mampu
menjawab berbagai permasalahan ekonomi. Kepercayaan mereka ini muncul
dari Iman yang begitu mendalam, Iman yang telah menghujam nurani mereka,
dan ingin Iman tersebut tampak nyata dalam perilaku mereka, khususnya
mewujud nyata sebagai perilaku ekonomi. Mereka mempercayai bahwa suatu
saat pemahaman konservatif dari teori ekonomi konvensional mampu berubah
sedikit demi sedikit, dan masyarakat, para pakar ekonomi, pelaku
ekonomi, birokrat, teknokrat, dan seluruh unsur dapat memandang dengan
penuh optimisme solusi yang mereka tawarkan, ekonomi yang bersumber dari
syariat Islam dan berpedoman kepada Alquran dan Assunnah.
Memang
terihat begitu ideal solusi yang mereka tawarkan ini, Ekonomi Rabbani
mereka menyebutnya. Sangat-sangat ideal tanpa memandang realitas. Tetapi
tahukah kita? Bahwa rasa optimis untuk menjadi pejuang Ekonomi Rabbani
ini sesungguhnya muncul setelah melihat realitas yang ada. Tampaknya
muluk-muluk, tetapi berangkat dari keyakinan inilah mereka yakin dengan
sebenar-benarnya keyakinan akan jalan yang mereka pilih ini. Mereka
beranggapan bahwa sudah semakin nyata terlihat jalan yang tampak di
hadapan mereka, tepatnya dua pilihan yang memang salah satunya harus
menjadi pilihan, Ekonomi konvensional atau Ekonomi Islam. Kedua jalan
yang jelas arah dan tujuannya, kedua jalan yang perlu pembelajaran yang
mendalam dalam penerapannya di masa kini. Tetapi bukankah kedua jalan
ini telah dibuktikan oleh sejarah? Sejarah menjadi saksi kegemilangan
umat dengan keadilan dan kemakmuran. Di masa lalu bukan hanya
orang-orang Islam saja yang merasakan betapa komprehensifnya sistem ini,
non-muslim pun merasakan keadilan dan naungan ekonomi Islam.
Mungkin
kita hanya perlu membuka kembali lembaran sejarah agar semakin yakin.
Bukankah pemahaman itu lahir dari membaca? Membaca dengan frekuensi yang
tidak sedikit? Membaca dengan perenungan yang mendalam? Semakin banyak
kita membaca tentunya akan terbentuk pemahaman yang komprehensif.
Penulis mengajak para pembaca (khususnya penulis pribadi) untuk tidak
pernah berhenti menjadi pembelajar.
Mungkin saja hati ini sampai
sekarang belum meyakini karena pemahaman yang belum mendalam. Mungkin
juga keyakinan ini butuh pembuktian, maka buktikan dengan belajar
kembali sejarah kegemilangan ekonomi Islam. Atau mungkin juga pemamahan
ini belum tajam karena kondisi Iman yang tengah goncang, maka kuatkanlah
Imanmu, perkokoh ketakwaanmu, dan yakini dengan sebenar-benarnya bahwa
sekarang hanya ada dua jalan dan kita berhak untuk memilih salah satunya
dengan kemantapan hati. Dua jalan itu adalah ekonomi konvensional dan
Ekonomi Islam.
0 komentar:
Posting Komentar