Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
dakwatuna.com - Di sana aku pernah berdiri, mendaki
anak-anak tangga yang seluruhnya terbuat dari besi. Sebelum mendaki
anak-anak tangga menuju lantai tertinggi mercusuar tersebut,
rupa-rupanya banyak yang mau dan sudah mencoba tetapi belum sampai ke
lantai tertingginya. Sepertinya, memang harus mengumpulkan banyak
keberanian, karena kalau cuma berani saja tidak akan mampu untuk sampai
di puncak mercusuar. Sepertinya, bukan hanya persoalan nyali saja,
tetapi juga harus paham caranya. Bagaimana mungkin bisa mendaki anak
tangga yang panjangnya kurang dari semeter dan lebar tidak lebih dari
telapak kaki dengan tidak menggunakan teknik dan tidak tahu caranya?
Matahari tampak sangat cerah, tak ada satupun awan yang menghalangi
pancaran sinarnya. Terasa sangat panas, namun semangat berpetualang
meniadakan rasa panas menyengat tersebut. Bisa jadi panas menyengat
tersebut tak terasa karena hembusan angin sejuk di Tanjung Manimbaya
Sulawesi Tengah. Hembusan angin tanjung yang merupakan kombinasi angin
darat dan angin laut, terlihat dari dua gelombang besar yang bertemu di
bagian utara Tanjung Manimbaya.
Perjalanan ini dimulai dari Kota
Palu, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah. Sebelum menuju ke Tanjung
Manimbaya di Pantai Barat, begitu kami menyebutnya, tujuan pertama
adalah Pulau Pasoso yang jaraknya sekitar tiga jam perjalanan kapal laut
dari Desa Malei, sebelah utara sisi luar Tanjung Manimbaya. Sesampainya
di desa Malei Kabupaten Donggala kami istirahat sejenak mempersiapkan
diri sebelum menaiki kapal laut keesokan harinya di pagi hari. Tetapi
istirahatnya tak berlangsung lama, karena sore harinya kami bermain bola
bersama penduduk lokal. Pertandingan sepak bola yang berlangsung cukup
sengit, hampir semua kalangan umur bertanding di halaman belakang rumah
tempat kami menginap, halamannya cukup luas dan masih merupakan halaman
sekolah dasar di desa Malei. Karena yang bermain sepak bola hampir dari
semua kalangan umur, dari anak kecil, menjelang dewasa, dewasa, orang
tua, terkadang gelak tawa muncul di tengah-tengah permainan. Bagi kami,
tak peduli kalah ataupun menang, yang terpenting semua orang menikmati
permainan tersebut. Seandainya Tim Nasional Sepak Bola Indonesia juga
memiliki pemikiran seperti itu, pasti akan tercipta permainan sepak bola
yang solid dan indah karena menikmati sepak bola dengan sepenuh hati,
jiwa, dan raga.
Karena sebagian besar rombongan perjalanan ini
sudah lama ter-Tarbiyah, dan sebagian besarnya adalah Aktifis Dakwah
Kampus, setiap selesai melaksanakan Shalat Fardhu kami berlomba-lomba
untuk Tilawah Alquran, target minimal satu juz, karena ruh Quran juga
merupakan sumber energi kami, kepada siapa lagi meminta energi ruhiyah
kalau bukan kepada Allah SWT. Kalau persoalan makanan jasmani itu bisa
diusahakan dan diupayakan, bukankah makanan untuk Ruhiyah juga perlu
diperhatikan? Di malam hari, kami berkumpul membahas persiapan menuju
Pulau Pasoso di pagi hari. Pulau yang katanya berada di bagian luar
Tanjung Manimbaya. Pulau yang katanya merupakan tempat budi daya hewan
laut bernama penyu. Pulau yang kata orang-orang tak kalah indah dengan
obyek wisata yang lain, namun belum terekspos secara masif di media,
masih sebatas pembicaraan dari mulut ke mulut dan obrolan di sosial
media.
Perjalanan menuju Pulau Pasoso pun dimulai di pagi hari,
segala yang perlu dipersiapkan sudah dikemas di dalam ransel
semi-carrier-ku. Kawan-kawan yang lain pun sudah bersiap, tak lupa
kupakai syal Palestina andalanku. Syal yang merupakan produk dari Komite
Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP). Kudapatkan dari seorang Ibu
yang sangat kusegani dan kuhormati, pada saat itu beliau masih menjadi
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Palu dan juga
menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Palu. Syal Palestina ini
panjangnya tak sampai satu meter, kombinasi warna hitam dan putih
membuatnya tampak indah, ditambah lagi dengan Bendera Palestina dan
Bendera Indonesia yang menandakan eratnya persahabatan kedua negara ini.
Bagaimana tidak, salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan
Indonesia selain Mesir adalah Palestina. Wajar saja jika tragedi
kemanusiaan di Palestina juga seharusnya menjadi duka kita rakyat
Indonesia, duka dengan rasa kemanusiaan yang begitu tinggi, terkhusus
duka sebagai saudara sesama Muslim. Karena setiap Muslim adalah saudara,
kapan saudaranya disakiti maka ia pun merasakannya.
Perjalanan
menuju Pulau Pasoso pun dimulai, dengan menaiki kapal laut yang tidak
terlalu besar. Membawa perbekalan secukupnya, kapal pun melaju memapas
gelombang-gelombang kecil ombak dilautan. Sepanjang perjalanan, sembari
mengobrol, muncul sebuah kesadaran dalam benak pikiranku. Kesadaran
tentang betapa kecilnya kita di tengah-tengah lautan yang begitu besar
dan lautan tersebut kapan saja atas kehendak Allah siap menghantam dan
meluluhlantahkan daratan. Lautan yang merupakan ciptaan Allah yang
senantiasa bertasbih memuji Allah SWT, yang cara beribadah dan
bersujudnya lautan kepada Allah tak akan pernah kita tahu bagaimana
caranya dan seperti apa, tetapi keyakinan bahwa segala yang ada di
langit dan di bumi bertasbih memuji Allah senantiasa ada. Cukup lama
perjalanan ini, menyusuri pantai bagian barat Balaesang Tanjung. Sampai
berada di ujung tanjung, terlihat mercusuar yang begitu sederhana. Ya,
setelah dari Pulau Pasoso, besoknya kami akan segera kesana.
Pulau
Pasoso mulai terlihat dari kapal kecil yang kami naiki, kecepatannya
pun mulai distabilkan karena gelombang semakin besar. Kapal kecil sempat
oleng beberapa saat, tetapi sang juru kemudi yang sudah punya segudang
pengalaman melaut segera sigap mengatasinya, yang paling penting
penumpang jangan sampai panik. Ombak yang menggulung dan tinggi mulai
mereda, digantikan dengan semilir angin laut lepas dan gelombang yang
tidak terlalu tinggi. Terkejut beberapa dari kami menyaksikkan
kemunculan hewan laut yang akrab dengan manusia, ya, lumba-lumba
mengiringi kapal kecil kami menuju Pulau Pasoso. Melompat dengan gaya
khas mereka, bersama sekelompok teman-temannya. Bagiku, ini pertama
kalinya melihat lumba-lumba di laut lepas, sungguh pemandangan yang
benar-benar natural. Selama ini aku hanya menyaksikkan lumba-lumba di
kolam pertunjukkan saja, di Taman Ria Kota Palu dan Ocean Dream Ancol
Jakarta, hanya saja mereka adalah lumba-lumba yang telah terlatih dengan
berbagai atraksi. Kali ini, lumba-lumba di laut lepas begitu indah
disaksikkan dan menyejukkan hati. Betapa tidak, lumba-lumba yang selama
ini disaksikkan dalam keadaan tertekan, kalau tidak melakukan hal-hal
yang atraktif diancam tidak akan diberikan makanan bahkan akan mendapat
punishment dari petugas kebun binatang. Ya, inilah realitas yang terjadi
dibeberapa kebun binatang ternama dan wahana pertunjukkan hewan di
Indonesia.
Semakin dekat di Pulau Pasoso, pemandangannya semakin
eksotik saja. Seperti tak percaya akhirnya ini dapat disaksikan langsung
oleh mata kepala sendiri, warna laut dan pasir yang betul-betul alami,
mirip-mirip pemandangan pantai di Wallpaper Windows Seven. Semakin
mendekat ke dermaga, terlihat satu dua ekor penyu sedang berenang dengan
tenangnya, dan sekali lagi ini pengalaman pertama kali aku menyaksikkan
hewan langka ini. Seperti biasa, kalau melihat objek baru pasti akan
segera mengambil gambar, sesaat setelah kapal kecil kami berlabuh mulai
beberapa teman-teman mencari tempat strategis untuk berfoto ria di Pulau
yang masih begitu alami ini, Pulau Pasoso. Cukup banyak aktivitas yang
kami lakukan di pulau ini, sampai mendapat surprise tak terduga dari
komunitas mancing mania yang juga sedang berada di pulau itu, kami
mendapat beberapa ekor ikan yang cukup besar hasil dari Silaturrahim.
Selesai melepas lelah dan beraktifitas di Pulau Pasoso kami kembali ke
Desa Malei menjelang sore. Dalam perjalanan, perenungan atas ciptaan
Allah bernama laut ini terus kulakukan, bahwa ternyata betapa kecilnya
kita di tengah-tengah samudera yang begitu luas ini. Menjelang berlabuh
di Desa Malei, ternyata kemudi kapal kecil ini patah di tengah
perjalanan tadi, hanya saja juru kemudi tak memberitahukan kami agar tak
ada penumpang kapal yang panik. Sungguh sebuah kejadian dan pengalaman
berharga yang seharusnya membuat kami semakin banyak bersyukur, bukannya
mengeluh dan meratap.
Keesokan harinya, kami melanjutkan
perjalanan menuju Tanjung Manimbaya, yang sempat kami saksikan ketika
dalam perjalanan menuju Pulau Pasoso sehari sebelumnya. Ternyata jalan
menuju kesana lumayan jauh dan belum begitu baik, butuh ketangkasan dan
kelincahan yang mumpuni dalam berkendara. Akhirnya kami tiba di
Mercusuar Tanjung Manimbaya. Sebelumnya kami diingatkan oleh penduduk
setempat yang berdomisili di Kompleks Mercusuar tersebut agar hati-hati
dalam berkata dan tidak mengeluarkan kata-kata kotor. Menurutku ini
terlalu berlebihan, tapi demi menghargai etika dan kebudayaan setempat
kami memilih untuk mematuhinya. Dalam pikirku, mengapa tidak sekalian
saja setiap hari dan setiap waktu bagi kita umat manusia untuk
senantiasa menjaga perkataan dan tidak mengeluarkan kata-kata kotor?
Bukankah itu lebih baik? Bukankah ciri perilaku manusia dapat dilihat
dari kata-kata yang dikeluarkannya? Bukankah bertutur kata yang baik
juga mencerminkan akhlak yang baik? Setiap waktu, setiap saat, bukan
hanya di kompleks Mercusuar Tanjung Manimbaya saja hendaknya menjaga
perkataan dan bertutur kata yang baik.
Aku mengambil langkah dan
memberanikan diri untuk menjadi yang pertama sampai di puncak Mercusuar
Manimbaya. Meskipun pada awalnya sedikit nervous dan gemetaran karena
semakin ke atas, semakin tinggi, semakin kencang saja angin berhembus.
Seakan-akan besi mercusuar yang kokoh tersebut bergema dan bersuara
karena terpaan angin, deru suara besi yang diterpa angin seakan-akan
mercusuar akan roboh. Padahal itu hanya sekadar sangkaan saja. Ini
pengalaman yang amat berharga bagiku, perenungan-perenungan yang
mendalam bahwa betapa tak ada apa-apanya kita di alam yang luas ini,
betapa kecilnya diri kita ini. Namun sebagian besar dari kita begitu
berdiri di gedung pencakar langit, berdiri di daratan perkotaan, berdiri
di belantara beton perkotaan, merasa sombong dengan segala apa yang
kita miliki padahal semuanya itu hanya bersifat sementara. Bukankah
segala yang kekal itu ada di negeri Akhirat? Mengapa masih begitu
tergila-gila mengejar kefanaan dunia? Dunialah yang menjadi tempat
mengumpulkan bekal untuk menuju akhirat, inilah yang harus senantiasa
terpatri dalam jiwa, pikiran, perasaan, dan hati kita.
Sesekali
jelajahilah alam sekitar agar engkau juga mengetahui kompleksitas
penciptaan alam beserta sistem ekologinya yang senantiasa dijaga oleh
Sang Pencipta. Sesekali teroboslah jenggala-jenggala pepohonan dan
rerumputan agar angkau juga menyadari bahwa betapa luar biasanya detail
penciptaan setiap makhluk yang tidak akan sanggup dihitung dan diukur
dengan akal kita sehebat bagaimanapun ilmu kita. Sesekali arungilah
samudera yang luas agar engkau tersadar betapa kecilnya dirimu, tak
pantas untuk merasa sombong dan angkuh dengan segala kemewahan yang
sifatnya sementara.
Di Mercusuar Manimbaya aku mencoba berdiri
setinggi-tingginya di puncaknya, berdiri dengan kapasitas ketinggian
seorang hamba yang tak akan sanggup melebihi ketinggian Sang Pencipta.
Di Mercusuar Manimbaya aku berdiri menatap denyut nadi alam dari
pemandangan sebuah tanjung dan takjub dengan segala apa yang ada di
sekitarnya. Di Mercusuar Manimbaya aku menyadari, lalu mencoba menentang
zaman yang semakin cenderung pada nilai-nilai sekulerisme dan
materialisme, menentang zaman dengan idealisme dan keimanan yang kokoh,
dengan penuh keoptimisan mencoba bergerak dengan tetap mengikuti
rambu-rambu Rabbani, seperti dinamisnya gerak Sang Penjelajah Arus,
seperti besarnya kapasitas pemakai baju zirah yang terbiasa memikul
amanah, seperti tingginya keyakinan para penuntas mimpi.
0 komentar:
Posting Komentar