Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
dakwatuna.com - Mengeluhlah dan terus mengeluh,
kalau ternyata mengeluh itu bisa memperbaiki keadaan. Merataplah dan
terus meratap, kalau dengan meratap bisa mengembalikan keadaan. Keluhan
dan ratapan menjadi konsumsi setiap hari yang seharusnya dihiasi dengan
rasa syukur. Mengeluhlah dengan siapa saja, tentang kondisi yang tak
seharusnya engkau terima, tentang bagaimana dunia tak adil terhadapmu,
tetapi apakah dengan mengeluh semua masalahmu akan segera terselesaikan?
Atau satu saja masalahmu tuntas sampai ke akar-akarnya dengan
keluhanmu? Bahkan dengan keluhan yang paling memilukan? Tampaknya engkau
dan keluhanmu menjadi tak berarti apa-apa di semesta jagad raya ini.
Karena Matahari saja sebagai pusat galaksi bima sakti hanya sebesar debu
dalam skala Bintang Antares yang jaraknya kurang lebih seribu tahun
cahaya dari bumi. Mengeluh itu boleh saja, mengeluhlah hanya kepada
Allah. Tetapi, alangkah indahnya bila engkau ber-positive thinking daripada mengeluh.Alangkah produktifnya bila engkau berprasangka baik kepada Allah dari pada mengeluh. Masih ingin mengeluh?
Mungkin,
di beberapa kesempatan engkau ingin meratap. Meratapi seseorang yang
tanpa alasan yang jelas engkau merasa berhak memilikinya. Tanpa alasan
yang jelas engkau langgar budi pekerti dan tata aturan bermasyarakat
karena ingin terus berduaan dengan seseorang itu tanpa ikatan yang
seharusnya engkau mulai dengan meminta restu kedua orang tuanya dan
berikrar di hadapan Sang Pencipta. Tampaknya engkau hanya ingin meratapi
seseorang yang engkau cintai, yang bukan hakmu dan merupakan Hak Allah.
Bukankah lebih indah bila engkau mencintainya karena Allah,
menjemputnya dengan cara yang diridhai Allah, dan untuk menggapai Ridha
Allah? Atau mungkin engkau ingin mengeluh atas setiap kekalahanmu di
kompetisi-kompetisi yang kau ikuti? Padahal, mungkin saja
kemenangan-kemenangan yang engkau peroleh lebih berharga daripada keluh
kesah serta ratapanmu. Kemenangan dan keberhasilanmu lebih bermakna dari
sekadar mengeluh dan meratapi nasib tanpa mau untuk berusaha.
Sebuah
kisah menginspirasi di zaman Rasulullah SAW yang memberi gambaran
kepada kita bahwa betapa tidak pentingnya meratapi suatu hal yang tidak
menjadi keinginan dan bukan kemauan kita. Beberapa saat setelah
mengalami kekalahan yang sangat memilukan pada perang Uhud, Rasulullah
SAW segera mengumpulkan kembali kaum muslimin untuk merapatkan barisan
dan melakukan konsolidasi. Mungkin setelah kekalahan perang di bukit
Uhud tersebut, adalah waktunya bagi kaum muslimin untuk meratap
sesedih-sedihnya karena syahidnya puluhan sahabat dan cederanya
Rasulullah SAW. Saatnya untuk menyiapkan panggung ratapan dan meratap,
bersedih, mengumandangkan kesedihan kepada seluruh penjuru di atas
panggung ratapan tersebut. Kekalahan yang memilukan jiwa, hati, dan
fisik kaum muslimin ini pun seharusnya menyediakan waktu yang cukup lama
agar mereka bisa meratapi kesedihan ini sedalam-dalamnya. Namun apa
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW? Beliau sangat mengetahui bahwa tak
ada manfaat sedikitpun apabila hanya diisi dengan meratapi nasib
kekalahan mereka. Dengan meratap, tak akan mengembalikan yang sudah
meninggal dunia menjadi hidup kembali, tak akan menutup luka yang
menganga akibat sabetan pedang dan terjangan alat tajam, tak akan segera
menyembuhkan luka yang mendalam hasil lesatan anak panah dari busurnya,
dengan meratap tak akan merubah apapun, dengan meratap tak akan
memperbaiki keadaan sedikitpun. Justru dengan meratap yang
berkepanjangan tak akan merubah keadaan.
Maka Rasulullah SAW yang
amat sangat memahami kondisi ini, segera merapatkan kembali barisan kaum
muslimin yang sempat renggang untuk melakukan konsolidasi. Konsolidasi
dilakukan untuk mengejar pasukan kafir Quraisy yang merasa menang besar
setelah membantai puluhan sahabat Rasulullah SAW. Pasukan kafir Qurasisy
pun kaget bukan kepalang melihat kaum muslimin yang dalam beberapa saat
yang lalu di pertempuran Uhud nyaris kalah, sekarang berbalik mengejar
mereka. Melihat ini dari kejauhan, pasukan kafir Quraisy yang merasa
telah menjadi pemenang dalam pertempuran di perang Uhud pun menganggap
bahwa yang mengejar mereka adalah bala tentara bantuan kaum Muslimin,
sehingga merekapun lari tunggang langgang menuju Mekkah. Kejadian ini
lebih dikenal dengan nama Dzaatussalaasiil.
Sepertinya
bagi kita, tak ada waktu untuk meratap. Meratap atas setiap kekalahan,
kesedihan, kebimbangan, kegalauan, segera mengkondisikan kembali hati,
jiwa, dan pikiran adalah acara yang tepat agar keadaan yang sempat
mengecewakan kita bisa sedikit berubah. Segera melanjutkan untuk bekerja
adalah pilihan yang tepat dari pada meratap dan sedih berkepanjangan
yang cenderung kontra-produktif. Segera kembali menyusun semangat dan
rencana kerja adalah hal yang lebih produktif dari pada meratap ataupun
mengeluh. Atau mungkin meratap atau mengeluh adalah sebentuk dari
penyesalanmu? Penyesalan yang posisinya selalu datang belakangan,
penyesalan tiada akhir yang akan menghancurkan hidupmu? Penyesalan yang
tak engkau barengi dengan upaya untuk bertaubat? Sungguh penyesalan yang
tiada artinya, sungguh penyesalan yang tak bermanfaat. Bagaikan
penyesalan tiada akhir Ronin Sang Samurai Pengembara.
Kisah
setengah legenda serta setengah nyata ini dikisahkan oleh William Dale
Jennings tentang Ronin Samurai Pengembara yang hidup di zaman kekerasan
Jepang pada Abad Ke-12. Menceritakan kehidupan seorang lelaki
pemberontak yang selanjutnya menjadi pahlawan rakyat. Sosok tidak kenal
belas kasihan ini, Ronin Sang Samurai Pengembara, menebas jalan hidupnya
dari selokan menuju istana dan kehormatan. Di balik tindak keberanian
yang haus darah, dia pembawa pertanda aneh dari suatu takdir. Tentang
kebenaran dan hal yang bijak dalam kehidupan. Namun dosa yang dimiliki
Ronin Sang Samurai Pengembara sangat sulit untuk diampuni, sangat sukar
untuk dimaafkan, dosa Ronin terlampau menggunung dan menyempitkan
pembuluh darah. Dosa-dosa Ronin Sang Samurai Pengembara benar-benar
telah menguras hati, mulai dari biksu tua yang terbelah dua, tiga bocah
remaja berdiri dan terpana di tengah arus, yang paling buruk dari
semuanya, tentang pemilik kedai yang kehilangan dua jarinya lalu tangan
dan hidupnya. Ronin Sang Samurai Pengembara dengan penyesalannya tak
akan berarti lagi, meskipun dia menangis, berdoa, dan bersumpah
menjalankan penebusan dosa jenis apapun atas seluruh kematian yang
diperbuatnya, biarkan dia menundukkan kepala dan membisikkan Ya pada
setiap perintah yang harus dilakukannya. Meskipun Ronin Sang Samurai
Pengembara sedang mengabdikan sisa hidupnya bagi masyarakat yang ingin
melalui tebing terjal nan curam yang bernama celah neraka.
Segala
hal yang memilukan tak akan terselesaikan bila engkau menyediakan waktu
yang banyak untuk meratap dan mengeluh. Masih mau meratap dan mengeluh?
Bukankah lebih baik engkau mensyukuri terlebih dahulu apa-apa yang telah
lengkap dalam keindahan fisik dan tubuhmu? Bukankah lebih baik engkau
mensyukuri setiap keadaan sehat yang tak akan sanggup dibalas dengan
ibadahmu? Itupun kalau ibadahmu rutin, masih belum sanggup untuk
membalas setiap detail nikmat. Renungkanlah setiap proses yang menurut
kita sangat biasa tetapi mengandung nilai ketauhidan yang mendalam.
Sebagai contoh proses melihat, mulai dari cahaya masuk ke dalam retina,
lalu dari retina cahaya berproses pada setiap saraf untuk segera
diantarkan ke otak sehingga proses melihat begitu sempurna kita dapati
dalam kehidupan kita. Hanya dalam waktu yang singkat, kurang dari satu
detik kita dapat menyaksikkan keindahan warna-warni kehidupan dengan
proses melihat, hanya dalam waktu yang amat sangat singkat segala
ciptaan Allah menjadi objek yang begitu indah di depan mata kita. Proses
yang berlangsung sangat cepat ini berlangsung tanpa cacat sedikitpun,
proses ini berlangsung begitu sempurna di setiap hari ketika kita
membuka mata, kesempurnaan proses melihat ini dijaga oleh Allah SWT.
Betapa meruginya orang-orang yang masih menggunakan matanya untuk
melihat hal-hal yang dibenci oleh Sang Pencipta, betapa lalainya
orang-orang yang tak menyadari bahwa dalam proses melihatpun ada
nilai-nilai ketauhidan yang senantiasa bisa dipelajari dan menginspirasi
agar semakin sadar bahwa Allah SWT masih berkenan menjaga ciptaan-Nya
yang masih sering lupa untuk mengingat-Nya dalam keseharian. Bayangkan,
dalam proses melihat saja Allah SWT terlibat dalam setiap detailnya,
bagaimana dengan proses yang lain seperti proses mendengar, merasakan,
mengecap rasa, menggerakkan badan, dan lain-lain? Sesungguhnya setiap
organ tubuh kita dijaga oleh Allah SWT dan senantiasa berkoordinasi
memudahkan aktivitas keseharian kita atas izin Allah SWT. Betapa
durhakanya engkau wahai Bani Adam yang masih memilih untuk mendustakan
nikmat Tuhanmu.
Masih mau mengeluh? Masih mau meratap? Meratap dan
mengeluhlah sewajarnya saja, jangan sampai berlebihan dan
berlarut-larut dalam kesedihan. Jangan sediakan waktu untuk menaiki
panggung ratapan dan berseru tentang kesedihan. Alangkah lebih baiknya
engkau mensyukuri nikmat yang telah engkau dapatkan. Betapa indahnya
setelah engkau bersyukur dan memahami semua hakikat itu, lalu engkau
mendakwahkannya kepada orang-orang di sekitarmu. Betapa penyesalan itu
selalu hadir belakangan, betapa meratap dan mengeluh adalah dua hal yang
kontra-produktif. Jangan pula setiap kesedihanmu engkau kembangkan di
akun-akun sosial media yang membuat setiap orang akan terjangkiti
kesedihan dan kepiluanmu. Lebih baik engkau berdakwah tentang betapa
pentingnya bersyukur, menjaga hati, mengingat Allah, menghindari lalai,
meminimalisir perbuatan maksiat. Bukan untuk menjadi orang yang sok
suci, tetapi dalam rangka saling mengingatkan dalam kebaikan dan
kesabaran. Sekarang, masih mau mengeluh?
0 komentar:
Posting Komentar