Oleh : Mohamad Khaidir
dakwatuna.com – Langit masih saja biru, tak perlu mengeluh dengan cerahnya hari dan teriknya mentari, maka sebaiknya mensyukuri hari yang yang masih berjalan, bersyukur atas kemampuan menjalani hari. Saat langit mendung pun seharusnya tak perlu mengobral peluh, peluh tentang mendungnya hari, dengan sombong dan sok tahu menganggap bahwa setiap mendung akan membawa hujan, hujan pun tak masalah bukan? Sebab sang hujan adalah rahmat dari Yang Maha Rahman. Ya, dengan syukur maka engkau akan menjadi mulia, mulia dalam menjalani setiap jejak dan retas perjalanan hidup, bagaimanapun kondisinya, serumit apapun fenomenanya.
Membaca setiap fenomena sangatlah penting, menyadari bahwa setiap peristiwa mempunyai maksud dan hikmah juga tak kalah penting. Apatah lagi setiap momentum yang berdatangan bagai arus air yang selalu mengalir dan melewati batu kehidupan. Dari setiap fenomena, peristiwa, dan momentum butuh perenungan yang mendalam. Sebagaimana definisi peristiwa, fenomena, dan momentum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), peristiwa adalah kejadian atau yang benar-benar terjadi, fenomena adalah hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah, sedangkan momentum adalah saat yang tepat. Ya, dengan perenungan yang mendalam, tetapi bukan dengan renungan sembarang renungan. Dari setiap perenungan ini pun harus berdasarkan ilmu, bahkan alangkah baiknya bila bisa sharing dengan orang-orang yang berpengalaman. Apatah lagi berbicara mengenai jalan dakwah, jalan yang penuh dengan kemuliaan dan memiliki pandangan yang sangat jelas. Jangan sampai ego membuat jalan pikiran menafsirkan sendiri tentang jalan dakwah, sebab jalan ini adalah jalan yang telah ditempuh para Nabi dan para Rasul.
Jalan dakwah yang sesungguhnya adalah jalan yang akan menyatukan kaum Muslimin. Jalan dakwah, bukan jalan yang akan membuat kaum muslimin terpecah belah, membuat kaum muslimin tercerai-berai. Namun banyak orang yang belum mengetahui tentang keberadaan jalan ini, bahkan sebagian kecil dari para aktivis merasa sudah berada di jalan dakwah. Padahal nyatanya tidak. Sebagian kecil aktivis ini mengambil posisi yang kata mereka berada di pihak yang independen. Independen yang mereka maksud juga tak bisa mereka definisikan secara tuntas. Apakah independen dalam hal politik? Sungguh dangkal mereka yang membatasi dakwah dengan kata independen dan menganggap tabu bila dakwah sudah masuk ke ranah politik. Bukankah Islam itu agama yang universal? Bukankah Islam juga mengatur perpolitikkan, tata Negara, dan pemerintahan? Mereka yang sebagian kecil ini dengan sikapnya yang juga tak jelas sedang mengebiri nilai-nilai Islam yang universal dan mengatur segala aspek hidup.
Jalan dakwah bukanlah seperti itu, karena jalan ini sudah jelas apa yang menjadi tujuan dan orientasinya. Ada pula sebagian kecil aktivis yang merasa sudah berada di jalan dakwah ketika sudah berkiprah di sebuah lembaga dakwah. Merasa bahwa tujuan dari lembaga dakwah itulah tujuan dakwah seutuhnya. Sehingga mereka yang sebagian kecil ini memberikan loyalitas bukan pada tempat yang seharusnya. Belum memahami yang mana tsawabit dan mutaghayyirat. Ketika status sudah menjadi alumni lembaga dakwah, merasa bingung dan cemas karena tak ada aktivitas dakwah lagi yang bisa dikerjakan. Ketika sudah menjadi alumni, bisanya hanya nongkrong melulu di kegiatan-kegiatan lembaga dakwah yang pernah ia berkiprah di dalamnya. Untuk sesekali saja dengan maksud mengarahkan itu tak jadi soal. Yang jadi persoalan adalah ketika segmen dakwah berubah dan tahapan dakwah sudah beralih ke fase berikutnya, sebagian kecil aktivis ini hanya berada di situ-situ saja. Bahkan keberadaan mereka terkesan membuat segan para aktivis-aktivis baru yang baru bergabung dalam barisan lembaga dakwah. Sudah bertahun-tahun ikut tarbiyah tetapi pemahaman dakwah hanya berkisar di seputaran lembaga dakwah saja. Sudah bertahun-tahun halaqah belum juga tersadar untuk segera berhijab secara syar’i. Sudah bertahun-tahun menjalani aktivitas di lembaga dakwah, mengisi kelompok mentoring, menjadi dewan pertimbangan organisasi, menjadi badan pertimbangan organisasi, menjadi majelis syura’ organisasi, tetapi belum juga menyadari grand design dakwah ini yang sejatinya sedang dalam proses menuju tatanan peradaban. Sudah bertahun-tahun menjalani tarbiyah tetapi masih sulit diberdayakan untuk kerja-kerja dakwah yang sudah sampai di medan amal, di lingkungan masyarakat, di lingkup umat, di tataran politik, ekonomi, dan sosial. Masih saja memahami dakwah tidak secara komprehensif, bahwa dakwah ini masih sangat panjang perjalanannya, masih amat sangat besar gelora dan semangat perbaikan umat, dimulai dari individu, keluarga, masyarakat, lalu negara. Dan untuk mengantar sampai pada tujuan dakwah yang begitu jelas ini, sejelas mentari bersinar dan sejelas langit di siang hari, hanya melalui satu jalan, yaitu jalan dakwah.
Maka, pantaskah bagi kita semua untuk mengambil jalan lain selain jalan dakwah? Bukankah dalam setiap Al-Fatihah yang kita lantunkan kita senantiasa memohon untuk dituntun ke jalan Allah? Jalan yang orang-orang Allah berikan nikmat? Bukan jalan mereka yang Allah murkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat? Tidak sadarkah engkau bahwa sampai saat ini jalan yang dimaksud adalah jalan dakwah?
Maka pantaskah Engkau yang ingin bersama-sama bergerak dan melangkah di jalan dakwah untuk mengambil ideologi selain Islam? Apakah kerumitan ilmu sains menjadikan engkau orang yang realistis dan cenderung tidak menyandarkan dirimu pada Allah, melainkan pada pembuktian-pembuktian ilmu pengetahuan? Tidakkah engkau sadar bahwa engkau cenderung sedang menuhankan akal dan logika? Maka tunggulah murka Allah menghampirimu di akhirat kelak, bahkan sedikit dari murka-Nya akan engkau rasakan di dunia.
Maka pantaskah engkau yang tersadar dan ingin segera bergabung di jalan dakwah untuk terperangkap pada slogan-slogan dan jargon-jargon yang bersifat temporer? Atau kata-kata indah yang mewujud dalam visi-misi yang bersifat parsial, hanya untuk institusi, hanya untuk lembaga, hanya untuk daerah, hanya untuk bangsa, hanya untuk Negara? Sungguh dangkal pemahamanmu yang menganggap dakwah hanya bicara soal tazkiyatun nafs, sungguh congkak wajah dan dagumu yang menganggap dakwah tidak akan membahas peradaban masyarakat, peradaban umat, peradaban dunia seluruhnya. Dakwah ini sangat luas, seluas-luasnya alam semesta, sebagaimana karakteristik Islam yang rahmatan lil’alamiin, bahkan bila bumi ada tujuh buah, dakwah pun akan menyinari ketujuh bumi tersebut, sebab Allah akan terus menyempurnakan cahaya-Nya meskipun musuh-musuh Allah tidak menyukainya.
Maka pantaskah engkau yang sebentar lagi akan bergabung dan menisbatkan diri di jalan dakwah untuk untuk malas bergerak dan susah diberdayakan? Pantaskah bagi dirimu untuk memilah-milih amanah dakwah? Atau mungkin merasa pekerjaanmu lebih penting dari dakwah. Apakah perkerjaanmu yang akan mampu menjadi jawaban ketika kelak ada pertanyaan tentang kontribusi bagi islam, dakwah dan umat ini? Jawabannya Tidak! Sekali-kali tidak!! Dan nampaknya engkau harus segera mengubah orientasimu, sebab para Sahabat radhiyallahu’anhuma juga berdakwah, pada saat yang sama mereka juga bekerja. Bahkan hasil dari keringat dan pekerjaan mereka sebagian besar diberikan untuk perjuangan dakwah ini. Sudahkah engkau ketahui bahwa sumur yang dibeli oleh Sayyidina ‘Utsman Bin Affan radhiyallahu’anhu dari orang Yahudi, diperuntukkan untuk Kaum Muslimin, sampai saat ini asset tersebut masih dikelola oleh Pemerintah Saudi Arabia untuk kesejahteraan Umat? Maka semua harta dan keringat hasil pekerjaanmu hanyalah debu di atas debu bila hanya habis untuk keperluan-keperluan pribadimu. Namun harta dan jiwamu akan menjadi mulia ketika keduanya diinfaqkan di jalan dakwah. Transaksi mana lagi yang lebih menguntungkan? Betapa tidak Allah membeli harta dan jiwa orang-orang beriman.
Maka pantaskah engkau yang sudah berada di jalan dakwah namun belum begitu memahami esensi dakwah jamaah, memilih untuk tidak taat dan patuh pada murabbi dan naqib? Lalu engkau merasa sedang berada bersama di jalan dakwah? Merasa sedang berjamaah? Padahal kegiatan sehari-harimu tak kau sharing kan kepada teman-teman halaqahmu, persoalan, masalah, dan kegembiraan tak diketahui oleh sahabat-sahabat seperjuanganmu dalam dakwah. Yang lebih parah lagi engkau memilih pasangan hidup tidak sesuai koridor jamaah dakwah, tidak berkoordinasi dengan murabbi atau naqib.
Inilah Jalan Dakwah, ini baru permulaannya, ini masih kulitnya, untuk memahami intinya maka dituntut keseriusanmu, totalitasmu, serta loyalitasmu, untuk bergerak bersama jamaah dakwah, untuk bersama-sama tidak terjebak dalam isu-isu temporer, kedaerahan, isu-isu parsial yang dapat dipastikan tidak akan mampu menyelesaikan persoalan peradaban. Maka dituntut pengabdianmu untuk bergerak bersama jamaah, sesuai koridor jamaah, sebab jalan dakwah adalah dengan berjamaah. Inilah jalan dakwah, jalan yang begitu mulia, yang dilalui para Nabi dan Rasul yang Mulia, tugas yang begitu mulia. Tangisi dan tertawakan dirimu yang masih menganggap dakwah ini sederhana. Inilah Jalan Dakwah, maka pantaskah engkau? (dakwatuna/hdn)
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/05/25/69141/inilah-jalan-dakwah-pantaskah-engkau/#ixzz3b86NJSvG
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
0 komentar:
Posting Komentar