dakwatuna.com – Inilah narasi negeri permai, narasi sederhana yang ingin kutulis saat langit shubuh merona. Narasi yang bercerita tentang negeriku, negeri indah nan permai, negeri dengan nyiur melambai yang begitu banyak di sekitaran pantai, seperti lagu ciptaan Ismail Marzuki yang berjudul rayuan pulau kelapa :
Tanah Airku Indonesia, Negeri elok amat ku cinta..
Tanah tumpah darahku yang mulia, yang ku puja s’panjang masa..
Tanah Airku aman dan makmur, Pulau Kelapa nan amat subur, Pulau Melati pujaan bangsa sejak dulu kala…
Tak heran bila nyiur melambainya sangat banyak, mengingat negeri ini terdiri dari belasan ribu kepulauan. Nyiur melambai dengan nilai filosofisnya yang patut menjadi teladan, bagaimana tidak, seluruh bagian tubuh dari tumbuhan nyiur melambai ini bermanfaat bagi manusia. Mulai dari akarnya, batangnya, daunnya, sampai buahnya, semua memberi manfaat bagi manusia. Sungguh beruntung bila mampu mengambil hikmah dari nyiur melambai yang di dalam Alquran kita dapatkan informasi bahwa seluruh makhluk, tumbuh-tumbuhan dan hewan, senantiasa bertasbih kepada Allah SWT. Sembari bertasbih kepada Allah SWT. Mereka juga memberi manfaat kepada makhluk lainnya, sungguh seharusnya hikmah inilah yang bisa menginspirasi kita semua.
Inilah narasi negeri indah, narasi tak elok yang ingin kutulis saat disesaki oleh macetnya kendaraan, jalan raya yang lapang pun terasa sempit disesaki oleh banyaknya jumlah kendaraan, bukan persoalan banyaknya kendaraan atau kurang lebarnya jalan saja kawan, tetapi penting juga menyadari bahwa pengaturan lalu lintas perlu tingkatkan, pengelolaan lalu lintas harus semakin baik seiring perkembangan zaman. Sehingga, dengan membaca narasi negeri yang kutulis ini, kita tak akan dengan mudah menyalahkan proyek pembuatan jalan, tak mudah menyalahkan polisi lalu lintas, mungkin ada kalanya kita perlu introspeksi diri sendiri yang masih kurang sabar dalam berkendara atau terburu-buru ketika berada di jalan raya.
Inilah narasi negeri nusantara, narasi tentang negeri yang terdiri dari belasan ribu pulau, juga di hampiri oleh begitu banyak persoalan bangsa yang tak kunjung usai. Entah nilai rupiah yang melemah, atau dollar yang menguat, sepertinya ini adalah peristiwa yang harus dilewati negeri nusantara ini agar kelak menjadi Negara maju dan berkembang. Atau mungkin, anggap saja ini konsekuensi logis dari Negara pemenang perang dunia, sehingga mata uang negaranya terus dominan dan menguat. Atau mungkin, narasi negeri yang ku tuliskan ini tak lebih tentang pengakuan masih lemahnya bangsa ini dari produktivitas pangan, pertanian, perkebunan, serta sektor lainnya. Sehingga, untuk memenuhi kebutuhan pokok saja masih harus impor dari Negara lain. Mungkin juga, narasi negeri nusantara ini bercerita tentang merubah pola pemikiran, pemikiran yang terus menyalahkan berbagai pihak tanpa bercermin pada diri sendiri. mungkin saatnya untuk menyadari bahwa siapapun pemimpinnya, tak akan mudah untuk merubah kondisi terpuruk ini, sebab Nabiyullah Yusuf’alaihissalam dan Khalifah’Umar Bin Khaththab radhiyallahu’anhu pun pernah mengalami masa-masa terburuk di negerinya, yaitu masa paceklik. Mungkin saatnya untuk mengurangi ocehan dan kritikan lalu memperbanyak kerja dan kontribusi, sambil bertanya pada diri sendiri, sudah sejauh manakah diri ini berkontribusi untuk memajukan bangsa ini?
Narasi negeri permai ini tak hanya bercerita tentang betapa permainya negeri ini, tetapi juga bercerita tentang hari-hari selanjutnya yang akan dilalui oleh rakyatnya, tentu menjalani hari dengan rasa optimis meskipun masih banyak persoalan yang harus diselesaikan. Optimis sambil terus belajar, bagaimana para pemimpin sukses di masa lampau melewati hari-hari terburuk yang menimpa negerinya. Rasa-rasanya perlu untuk membaca tinta emas sejarah kepemimpinan Amiirul Mukminin ‘Umar Bin Khaththab radhiyallahu’anhu yang memfokuskan memenuhi kebutuhan pangan di saat musim paceklik. Tinta emas sejarah juga bercerita tentang bagaimana Nabiyullah Yusuf’alaihissalam yang menyarankan pejabat di negerinya untuk efisien dalam mengelola konsumsi, sebab negeri mereka akan menghadapi musim paceklik selama tujuh tahun lamanya.
Narasi negeri indah ini tak hanya bercerita tentang keindahan alam negeri saja, tetapi juga bercerita tentang alangkah indahnya bila masyarakat negeri ini sangat peduli terhadap kepentingan yang bersifat umum dan mengesampingkan ego pribadi. Narasi negeri indah yang ku tulis ini juga ingin bercerita tentang betapa keindahan negeri ini akan semakin indah bila perilaku masyarakatnya juga indah, indah perilaku dalam berinteraksi antar sesama manusia, indah sikap dalam memperlakukan alam, sebab Allah Maha Indah dan menyukai Keindahan.
Narasi negeri nusantara yang juga bercerita tentang betapa heterogennya kondisi bangsa ini, terdiri dari ratusan suku dan dialek, belasan ribu pulau, beragamnya kebudayaan dan kearifan lokal, tetapi mampu menyatukan pandangannya menatap cita-cita kemerdekaan yang belum selesai lalu dengan lantang berteriak menyerukan satu kata, “Indonesia!!”. Meskipun sampai saat ini Indonesia masih terus mencari identitas dan memperbaiki sistem yang ada agar sesuai dengan kondisi ke-Indonesiaan yang aktual. Narasi ini juga kutuliskan untuk mengajak orang-orang sedikit menengok dan mempelajari Islam sebagai solusi peradaban, sebab Imam Syahid Hasan Al-Banna, seorang Tokoh kebangkitan Ummat pernah menjelaskan dalam risalahnya bahwa Islam dan Nasionalisme tidak perlu untuk dipertentangkan. Oleh sebab cinta tanah air adalah fitrah manusia, fitrah yang tak dapat dipungkiri, sebagaimana rasa cinta Rasulullah SAW kepada Tanah airnya, Kota Makkah. “Ketika Rasulullah SAW akan berangkat ke Madinah, beliau memandang ke arah Baitullah, lalu bersabda ‘Sesungguhnya aku tahu bahwa Allah SWT tidak membangun sebuah rumah (tempat beribadah kepada Allah) di Bumi, yang lebih dicintai-Nya darimu (Baitullah). Sekiranya aku pergi, maka kepergianku bukan karena enggan (tidak suka) kepadamu, melainkan karena (orang-orang kafir) mengusirku’ ” (Dikutip dari ‘Atiq bin Ghaits al-Biladi). Betapa rasa rindu Rasulullah SAW kepada Makkah ini sangat jelas ketika Beliau SAW berkata, “Betapa indahnya lembah Makkah, di sanalah bumi dan sahabatku. Di sanalah tertancap pancangku. Dan di sanalah aku berjalan sendiri tanpa seorangpun menunjuki.” (Dikutip dari ‘Atiq bin Ghaits al-Biladi).
Perlu bagi kita sebagai seorang Muslim untuk mencintai negerinya, mencintai tanah airnya. Mencintai tanah air dan melindungi negeri adalah salah satu tanda baiknya Islam seseorang. Tak berlebihan rasanya mengekspresikan rasa cinta tanah air dengan menyanyikan atau mendengar lagu Tanah Air ciptaan Ibu Sud :
Tanah airku tidak kulupakan, Kan terkenang selama hidupku..
Biarpun saya pergi jauh, Tidak kan hilang dari kalbu..
Tanahku yang kucintai..
Engkau kuhargai..
Mari berpikiran jernih dan berprasangka baik terhadap Agama yang mulia ini, yang mengatur seluruk aspek dan sistem hidup manusia. Sebab Islam dan Nasionalisme bukan suatu hal yang harus di pertentangkan, dan bukan menjadi suatu hal yang harus dipisahkan seperti pemahaman orang-orang sekuler dan liberal yang memisahkan antara agama dan Negara. Dalam Islam, Agama dan Negara justru bagai dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan, sebagaimana yang pernah disampaikan Imam Syahid Hasan Al-Banna dalam Prinsip Pertama ‘Ushulul’Isyrin :
“Islam adalah sistem yang menyeluruh, mencakup seluruh aspek kehidupan. Karena itu, islam adalah negara dan tanah air atau pemerintahan dan umat, moral dan kekuatan atau kasih sayang dan keadilan, wawasan dan undang undang atau ilmu pengetahuan dan peradilan, materi dan kekayaan alam atau penghasilan dan kekayaan, serta jihad dan dakwah atau pasukan dan pemikiran. Sebagaimana juga islam adalah akidah yang murni dan ibadah yang benar, tidak kurang tidak lebih.”
Narasi negeriku tak akan habis bila ingin ku tulis, sebab inilah ekspresi cintaku pada tanah airku. Narasi negeriku tak akan jera untuk kutulisan, sebab negeriku adalah tempat ku mengabdi. Narasi negeriku tak akan berhenti sampai di sini saja, sebab ia akan terus kutulis hingga nyata kontribusi dan kerja-kerja untuk negeriku. Narasi negeriku akan terus berlanjut, hingga negeriku ini menjadi Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafuur.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/10/28/76315/narasi-negeriku/#ixzz3pq3DCMxC
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
0 komentar:
Posting Komentar