“Tuhanku, perlihatkan padaku bagaimana Engkau menghidupkan yang telah mati” Ibrahim memohon. Lalu Allah menjawab “belum berimankah kamu?”.
Ini bukan persoalan sepele. Ia tidak meminta tambahan informasi dari
manusia, tapi dari Tuhannya manusia. Keraguannya bukan karena tidak
beriman, bahkan ia tahu Allah Maha Mampu, maka ia tidak bertanya tentang
‘mampu-tidak mampu’, tapi hanya tentang ‘bagaimana’ agar informasi itu
memberinya keyakinan. “Tentu [aku beriman ], tapi agar hatiku tenang” jawab Ibrahim.
Diskusi singkat dalam al-Baqarah itu bukan sekedar urusan hati
Ibrahim sendiri. Tapi Allah ingin memberi tahu manusia sebuah kaidah,
tentang obsesi seorang perubah masyarakat yang membutuhkan perangkat
ilmu pengetahuan dalam standar keyakinan, bukan dugaan, apalagi ilusi
tanpa referensi.
Diatas budaya ini generasi sahabat tumbuh. Mereka tidak pernah ragu
mempertanyakan, apapun. Tapi mereka beretika sehingga prolog
pertanyaannya selalu “apakah ini wahyu atau pendapat pribadi?”.
Jika bukan, barulah mereka berargumen, mempertanyakan, juga menyanggah.
Begitulah pergolakan ide berkecamuk di generasi sahabat dalam
musyawarah-rapat mereka, di depan Rasul ataupun sepeninggalnya.
Timbangan kebenaran mereka adalah bukti dan dalil. Bukti itu bisa dari
wahyu ataupun rasio akal. Sehingga hasil akhir selalu perasan ide-ide
terbaik.
Umat tumbuh menuju masa penaklukan dan peletakan basis ilmu di zaman
Umawiyyah, pembangunan menara pengetahuan zaman Abbasiyyah, dan
pengokohan kepemimpinan dunia zaman ‘Ustmâniyyah. Hingga di puncaknya,
hati umat dipenuhi kepuasan dan kebanggaan peradaban. Saat itu
berhentilah kreativitas. Seperti kata al-Ghazâli “jika kau berkata ‘aku telah tahu’ maka berhentilah ilmumu’”.
Relatif tidak muncul lagi ulama-ulama besar setelahnya, budaya kritis
umat hilang, dan taklid menggantikan. Para pemuda puas dengan karya
pendahulunya, lenyap daya analisisnya, menguap selera ingin tahunya,
malas menguji dalilnya, maka rusaklah timbangan kebenarannya. Dan disini
penyakit akut pikiran umat hingga saat ini.
Ia tidak hanya muncul di lapisan rakyat jelata, bahkan di kalangan aktivis islam dan kaum terpelajar. Pertama, keyakinan total tanpa verifikasi bukti.
Maka sering saat satu ide menyeruak kemudian menjadi trend, itu cukup
menjadi timbangan kebenaran, tanpa perenungan, apalagi pengujian.
Suatu waktu media bisa beriklan ‘‘Islam tidak pernah mempersatukan Indonesia dan tidak akan bisa’’; dosen bisa mendikte “semua agama sama”, atau pemimpin gerakan Islam bisa menyuruh ‘‘turun kejalan untuk menghancurkan warung nasi di siang Ramadhan’’. Maka ujilah ide itu. Maka raguilah, lalu telitilah. Tantanglah ‘‘Qul hal ‘indakum min ‘Ilmin fatukhrijû lanâ’’ [katakanlah : apakah kalian mempunyai ilmu, maka paparkan pada kami], seperti yang diajarkan dalam al-an’âm:148.
Kedua, anggapan bahwa pemimpin mengetahui segala sesuatu.
Ini tidak membangun, tapi memotong derasnya arus kreativitas. Bahkan
jika ia sebijak Luqman atau sekuat Dzulkarnain, tetaplah ia tidak keluar
dari sifat kemanusiaannya yang mengandung kekurangan. Maka, ide dan
produk kebijakannya pun, pasti akan selalu mengandung kesalahan, atau
ketidak-efisienan, atau ketidak-tepatan momen, orang, tempat.
Jika para sahabat mengkritisi Rasulullah saat berpendapat pribadi,
padahal sebagai manusiapun ia adalah orang terbijak. Lalu mengapa pemuda
muslim sungkan dan malu mempertanyakan arahan pemimpinnya, gurunya,
ketua majelis syuranya? Apakah khawatir jika diidentikan sebagai murid
pembangkang? Atau kader yang tidak taat? Jika ketakutan ini mengisi
hati-hati pemuda, ketahuilah maka tradisi ilmiah komunitas itu sudah
rusak. Dan rugilah umat ini, karena atap cakrawala generasi mudanya
hanya setinggi wawasan pemimpinnya yang didapatnya 20-30 tahun lalu,
sedang wajah dunia kian menua, krisis zaman kian mengemuka, dan
tantangan masa depan di punggung pemuda.
Ketiga, tendensi profil menutup ide.
Saat itulah terbalik timbangan. Profil itu bisa karena ia tokoh yang
sepemikiran, sekelompok, atau separtai atau karena bergelar. Profil
itulah yang membenarkan ide-idenya. Maka terkucillah umat dari hikmah
kehidupan. Jutaan pelajaran berserakan di alam ini. Sebagian keluar dari
mulut penentang Islam, dari pena filosof sekuler, bahkan dari karya
orang ateis. Alangkah cemerlangnya arahanmu wahai Nabiyallah ‘‘hikmah adalah sesuatu yang hilang dari kaum mu’min, dimanapun ia mendapatkannya maka ia paling berhak untuk mengadopsiya’’
Ketiganya adalah penjara pikiran, di kubangan yang gelap lalu
mencengkeram kepala dan tubuh umat. Benteng-bentengnya membendung dari
ide-ide konstruktif. Jika mereka golongan muda, maka persoalan lebih
akut. Karena dakwah dan seruan perbaikan tidak akan bisa bertemu dengan
putra terbaiknya dan hanya menunggu di halaman penjara hingga ia
terbebas.
Itulah sebabnya ribuan ceramah, seminar, dan institusi berdiri tapi
suaranya keluar dari microfon dan hanya memantul di dinding-dinding
ruangan, tidak memasuki telinga apalagi hati pemuda. Ini jawaban dari
semrawutnya proyek-proyek umat dan tidak tersinkronisasi satu sama lain.
Karena kendala ada di alam pikiran. Dan ia yang mengolah informasi
untuk kemudian menjadi ide, sikap lalu kebijakan-kebijakan besar.
Karena ide besar selalu membutuhkan pengetahuan yang benar. Maka
pikiran umat memerlukan timbangan yang benar juga. Timbangan itu adalah
kualitas bukti dan dalil. Dan itu selalu di awali dengan kehausan
mempertanyakan kebenaran hingga sampai ke derajat keyakinan, yang dalam
bahasa Rene Descartes, le doute méthodique [metode keraguan] dalam buku kesohornya le Discours de la méthode. Dan kata al-Jâhidz ilmuan ensiklopedik terbesar muslim ‘‘Keraguan adalah jalan menuju keyakinan’’.
Namun dalam cara ini mengandung risiko dan mengundang godaan. Saat
langkah keraguan itu bukan untuk menuju terminal keyakinan, tapi
membatalkan hakikat-hakikat ilmiah yang terbukti dan teruji. Saat
keraguan merambah domain yang tak berhak diragui, seperti wahyu Ilahi
dan sunnah nabi. Saat keraguan hanyalah topeng untuk sikap kritis, yang
wajah aslinya adalah ego dan hawa nafsu di depan kebenaran, atau rasa
malas atas kebijakan-kebijakan berat organisasi pasca syura atau
pengambilan keputusan.
Keraguan dalam timbangan kebenaran adalah kritis terhadap ide-ide
manusia. Jika ide itu salah maka keraguan itu mengantar pada evaluasi,
perbaikan, pertumbuhan. Dan jika ide itu memang benar berarti keraguan
itu akan berakhir dengan penguatan keyakinan. Karena, dari keyakinan
itulah lahir ketenangan. Ketenangan itu yang mencipta kemantapan
gerakan. Dan Allah sedari dulu sudah mengajari kaidah ini “Qul Hâtû burhânakum in kuntum Shâdiqîn” [berikanlah bukti-bukti kalian jika kalian orang yang benar].
Paris, 1 November 2012
Majalah Intima Edisi November 2012
Muhammad Elvandi, Lc
0 komentar:
Posting Komentar