Baik ekspedisi ke negeri jauh atau eksporasi mandiri adalah konsep bagaimana memperluas space of learning untuk mempelajari berbagai ilmu kehidupan.
Yaitu ilmu kehidupan yang tidak dikotomis antara ilmu dunia dan
akhirat, tapi semua pengetahuan yang menjadi syarat pengelolaan bumi ini
dengan ruh Qur’an. Dan Muhammad al-Fatih adalah model ideal tentang
integralisasi pengetahuan tersebut dalam diri seorang pemuda muslim.
Juga model ideal tentang bagaimana sebuah generasi baru disiapkan untuk
misi besar selama delapan abad dengan konsep pengetahuan yang
multidisipliner.
Namun ruang luas itu adalah bahan mentah. Adanya tidak menjamin ilmu
terakses. Kesempatan mengakses pendidikan terbaik, di negara terbaik, di
institusi terbaik bukan juga ukuran perkembangan pemikiran. Karena inti
pengembangan pemikiran bukan pada ruangnya, bukan juga pada kelimpahan
referensinya, tapi dalam aktivitas yang menjadi sifat pertama umat ini
dalam Qur’an, yaitu membaca.
Dizamannya, Imam Syafi’i dan Hanbali hanyalah dua contoh anak muda
yang berlama-lama menunggu dihalaman kantor lokal pemerintahan, setiap
hari, memungut lembaran-lembaran administrasi bekas yang halaman
belakangnya bisa digunakan untuk menampung catatan pelajaran. Terkadang
mengukir tulang belulang untuk berjuang mengkaji ulang pengetahuan.
Itulah sumber pembelajaran mandiri mereka. Membaca dalam keterbatasan.
Menabung pengetahuan dalam waktu yang panjang. Maka keduanya menjadi
madzhab termapan hingga saat ini dari 4 madzhab yang paling terkenal.
Semesta ini diatur melalui hukum dan kaidah yang konstan dan
universal, sebagaimana hukum cahaya ataupun gravitasi. Membaca adalah
kaidah yang pertama kali Allah ajarkan. Kaidah itu bukanlah rumus ajaib
umat Islam, tapi ia adalah kaidah yang juga konstan dan universal. Ia
adalah syarat kebangkitan umat manapun, untuk agama apapun. Kaidah ini
pernah mengantarkan generasi muslim zaman Abbasiyyah memimpin peradaban,
sebagaimana mengantarkan generasi berpengetahuan Eropa menaklukan
dunia, dan seperti juga mengantarkan generasi pembaca Amerika memimpin
pengetahuan.
Di zaman keemasan Islam ataupun masa kedigjayaan Eropa, faktor
kelimpahan referensi signifikan berperan. Sehingga institusi pendidikan
yang menimbun referensi menghegemoni domain pengetahuan. Sedang di zaman
ini, kendala referensi dan sarana relatif tidak ada. Sumber
pembelajaran melimpah di perpustakaan, di toko buku, dan di internet. Di
tengah kelimpahan ini, tingkat buta huruf di seluruh negeri muslim
mencapai 40%. Yaitu negeri-negeri yang Nabinya membebaskan tawanan
perang dengan tebusan mengajari baca-tulis anak-anak muslim.
Ini saja sudah menjadi masalah bersama negeri-negeri muslim, karena
keterputusan umat dari sumber bacaan adalah awal kemunduran pemikiran
yang terekspresikan dalam budaya.
Namun krisis yang lebih akut adalah buta huruf generasi muda muslim
akan ilmu-ilmu dasar kehidupan. Boleh jadi mampu membaca, menguasai
kaidah matematika sejak kecil, mungkin menyelesaikan sarjana hingga
doktoral, atau bahkan mengajar di universitas, namun aktivitas membaca
berakhir seperti berakhirnya status kemahasiswaan. Sehingga mereka
berlindung atas kegagapan menjawab persoalan zaman dibalik kenyamanan
spesialisasi.
Kadang gagap politik sehingga tidak mampu memberi pilihan dan sikap
secara rasional, atau gagap jurnalistik sehingga tidak mempunyai standar
menimbang antara fakta dan opini, atau bisa jadi bingung untuk sekedar
menjalani hidup harian yang paling sederhana soal kesehatan, gizi, anak,
ibadah, psikologi suami-istri.
Membaca memang bukan tujuan, karena ia adalah alat menjadi berpengetahuan. Seperti juga diskusi, kuliah resmi di kelas, self learning
melalui dokumenter-dokumenter yang banyak tersedia di Internet, ataupun
studi lapangan. Semuanya adalah seperangkat alat dan proses
berpengetahuan. Tapi tetap, membaca adalah inti aktivitas menjadi
berpengetahuan yang belum bisa tergantikan.
Membaca tidak sama dengan memiliki buku atau duduk di perpustakaan
atau bergelar akademik, walaupun ketiganya adalah lompatan besar bagi
negeri yang indeks membacanya 0,001 kata UNESCO. Yaitu dari 1000 hanya
seorang yang membaca. Tapi membaca adalah proses peningkatan kapasitas
diri tanpa akhir. Karena kematangan spesialiasi dan keluasan wawasan
tidak didapatkan melalui berbagai cara cepat dan training instan.
Kemampuan ilmiah adalah akumulasi bacaan panjang yang sistematis.
Pendidikan akademis adalah akselerator dan tools yang efisien, namun
yang menjadi prioritas utama generasi muda tradisi ilmiah membaca.
Tantangan eskternal tradisi membaca ini selalu ada, bisa jadi
pemerintah lemah memotivasi, atau salah strategi atau budaya menonton
orang tua dan keluarga yang mendominasi rumah, hingga faktor kompetitor
buku yang menghabiskan waktu. Tapi semua itu bukan kendala utama
terlebih bukan kerangka berfikir generasi muda muslim yang melihat
sebab masalah dari luar.
Karena membaca adalah identitas diri. Setiap akumulasi buku yang
dibaca akan tampak dalam pola pikir yang mempengaruhi sikap dan gaya
hidup. Maka bagi mereka, membaca bukan sekedar hobi di waktu luang, yang
akan mudah ditinggalkan saat waktu padat, tapi ia bagian dari siklus
hidup seperti makan dan tidur. Sehingga sebanyak apapun tanggung jawab
keluarga, proyek kerja, padatnya rapat, atau menumpuknya tugas dakwah,
waktu untuk membaca selalu ada. Ia ada bukan dari sisa kegiatan, bukan
juga sekedar dialokasikan, tapi selalu disusupkan, di ruang belajar,
kereta, saat menunggu bus, di perjalanan, bahkan saat bekerja, seperti
Ninomiya Sontoku, Sang Filsuf, Moralis, ekonom, ahli pertanian yang
patungnya menjadi simbol kebanggaan tradisi membaca Jepang.
Majalah Intima Edisi Juni 2013
Muhammad Elvandi, Lc.
0 komentar:
Posting Komentar