Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
dakwatuna.com - Baju Zirah itu nampaknya telah
rusak, melewati sekian banyak pertarungan yang menegangkan, mengharukan
dan beberapa konfrontasi yang membuat pemakainya tampak gagah dan sangat
heroik. Tapi baju zirah ini masih memiliki kemampuan untuk bertarung
beberapa kali lagi, sebagai buah dari kekokohan tekad para pendahulu
yang dengan sabar dan ikhlas membuat baju zirah ini. Beberapa lecet
terlihat di bagian lengan, bagian dada, dan bagian belakang yang agak
rusak parah.
Lecet di bagian lengan baju zirah ini tergores saat
pemakainya harus berhadapan dengan beberapa musuh yang kurang paham
tentang segerak amal. Tentang apa itu segerak amal, Salim.A Fillah
menjelaskan pada iman di lapis-lapis keberkahan, amal-lah yang membuat
kita menjulang, menggapai cakrawala luas, dan mampu memberi naungan
dengan rimbun daun-daun. Amal-lah yang mengantarkan keyakinan kita
menggapai tempat di dekat ‘Arsyi-Nya yang mulia. Amal-lah yang
melonjakkan pinta dan doa kita ke haribaan-Nya.
Dalam beberapa
pertarungan ketika pemakai baju zirah ini harus mempertahankan
kekonsistenan amalnya, tidak sedikit halang dan rintang yang harus ia
hadapi. Pikirnya baju zirah yang penuh wibawa ini hanya untuk dipajang
saja menjadi hiasan indah di dalam istana. Padahal fungsi substansi dari
baju zirah ini adalah menjadi alat bantu dalam setiap pertarungan, baik
pertarungan yang melibatkan hati, ideologi, bahkan fisik.
Maka,
kata salah seorang petarung tangguh yang sudah beberapa kali mengganti
dan memperbarui baju zirahnya, bukan sabar saja yang dibutuhkan dalam
pertempuran, bukan ikhlas saja yang dibutuhkan dalam setiap pertarungan,
tetapi sabar dan ikhlas yang jumlahnya lebih dari satu, sabar dan
ikhlas yang jumlahnya melimpah di dalam hati, agar setiap pertarungan
dapat dilewati dengan perbekalan sabar dan ikhlas yang melimpah ruah.
Bagian tengah baju zirah ini juga tampak lecet, sepertinya telah mengalami beberapa pertarungan dengan gaya body rush.
Lecet di bagian tengah baju zirah ini lebih terkait dengan pertarungan
keimanan. Imam Nawawy menjelaskan tentang Iman secara etimologi (bahasa)
adalah percaya sepenuhnya, dalam istilah iman adalah mempercayai secara
khusus, yaitu percaya kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya,
Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari akhir dan takdir baik maupun
buruk. Follow up dari penjelasan tadi adalah tentang sejauh
mana keimanan itu harus dijaga di dalam hati, dan diimplementasikan
dalam tindakan nyata.
Musuh internal dari keimanan tersebut adalah
hawa nafsu dan syahwat yang menggebu-gebu mendominasi jalannya akal
sehat. Terkadang, pemakai baju zirah ini terpengaruh dalam lingkungan
orang-orang yang kemudian lebih memperturutkan nafsu dan syahwatnya
daripada nalar keimanan yang seharusnya mengontrol tindak tanduk pemakai
baju zirah tersebut. Musuh eksternalnya adalah sekelompok orang yang
bangga dengan Aqidah yang rusak dan menyebarkan fitnah tentang Aisyah
bin Abu Bakr ra, Abu Bakr Ash-Shidiq ra, ‘Umar bin Khaththab ra, dan
Utsman bin Affan ra. Sekelompok orang-orang yang menyebarkan fitnah
tersebut bahkan menyanjung Ali bin Abi Thalib ra secara berlebihan tanpa
ilmu yang mumpuni dan hanya berdasarkan fanatisme golongan. Namun
serangan musuh internal dan eksternal ini justru membuat pemakai baju
zirah semakin istiqomah di jalan kebenaran.
Selanjutnya, lecet
dibagian belakang baju zirah ini karena gempuran beberapa orang yang
mengaku dalam golongan yang sama dengan pemakai baju zirah ini namun
ternyata mereka adalah musuh dalam selimut yang menikam dari belakang.
Akmal Sjafril bercerita tentang musuh dalam selimut yang sempat hidup
pada zaman Nabiyullah Musa’alaihissalam. Fir’aun bukanlah satu-satunya
masalah berat yang dihadapi oleh Nabi Musa as. Dengan izin Allah,
Fir’aun habis dimangsa lautan. Akan tetapi, di tengah-tengah Bani
Israil, masih terdapat bahaya laten yang mengancam. Rupa-rupanya,
jangankan tangan yang bercahaya atau tongkat yang berubah menjadi ular,
bahkan lautan yang terbelah pun tidak cukup untuk meyakinkan kaum Bani
Israil.
Merekalah musuh dalam selimut yang sempat hidup di zaman
Nabi Musa as. Mereka meninggalkan Allah ketika ingatan tentang kekejaman
Fir’aun belum lagi hilang dan peluh belum lagi kering. Betapa cepat
mereka hilang ingatan akan dakwah Nabi Musa as dan Nabi Harun as yang
begitu terjal, padahal kedua Nabi Allah yang Mulia ini telah
menyempurnakan tugas untuk menyampaikan kata-kata yang benar di hadapan
Fir’aun.
Musuh dalam selimut yang hidup di zaman pemakai baju
zirah ini ternyata memiliki kecerdasan yang tak bisa dianggap enteng,
mereka memakai kacamata hitam untuk melihat ideologi dan setiap aksi
pemakai baju zirah tersebut. Sehingga apapun yang dilakukan oleh pemakai
baju zirah tersebut terlihat buruk dan penuh prasangka dalam pandangan
mereka. Padahal pemakai baju zirah ini melihat mereka dengan pandangan
yang sederhana, menghargai mereka dalam persaudaraan yang tulus, memakai
kacamata yang jernih dan bebas dari segala bentuk prasangka.
Baju
zirah ini pun bukan sesuatu yang abadi dan memiliki batas umur. Baju
zirah ini pun bisa luluh dan hancur, luntur dan pudar, berbeda jauh saat
pertama kali di nobatkan di bahu tegap pemakainya. Sesungguhnya tubuh
pemakai baju zirah ini masih mampu untuk bertarung, raganya masih tahan
dengan benturan-benturan selanjutnya, jiwanya optimis takkan kalah
karena banyak belajar dari pertempuran yang pernah ia alami, bahkan ia
berkomitmen atas izin Allah semangat ini takkan padam dengan mudah.
Namun
yang perlu dipahami oleh petarung tangguh ini, baju zirah yang ia
gunakan suatu saat juga akan diganti. Saat Baju Zirah terbaik menanti
petarung tangguh tersebut, meskipun tak semulia para Sahabat dan
Salafunasshaleh, ia memahami tentang kapasitasnya. Dengan gamang dan
galau, efek dari benturan dan pertarungan sebelumnya, dengan
terseok-seok karena luka–luka yang mungkin belum sempat terobati ia akan
tetap menantang kezoliman namun dengan cara yang lebih waspada.
Pertarungan
dan pertempuran selanjutnya akan membuatnya semakin lihai dalam
bertarung, cerdas dalam menyusun strategi, mengintai setiap tebasan
pedang, terjangan anak panah, dentuman keras. Ia memahami bahwa sebuah
pertarungan besar hanya bisa diikuti oleh-orang besar dengan baju zirah
yang bernama amanah ini. Tanpa Baju Zirah pun, ia siap untuk luluh
lantah, rela hancur lebur, hidup mulia atau mati syahid.
0 komentar:
Posting Komentar