Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
dakwatuna.com - Seorang nakhoda sebuah kapal
berdecak kagum, sebuah panorama yang unik tengah disaksikannya, bulan
tetap terang benderang menjelang pagi hari. Bulan tampak begitu
bercahaya meskipun rona fajar menyebarkan warna merah, mengkonfigurasi
warna biru pada langit pagi. Karena mendapat asupan cahaya dari
matahari, bulan pun tetap memancarkan pesonanya walaupun matahari
sebentar lagi akan terbit. Nakhoda kapal ini begitu kagum, karena
bentuknya sederhana, indah, dan menawan, bulan pun tetap menawarkan
nilai manfaat dari dirinya kepada mata-mata sayup yang menatapnya dengan
kekaguman. Sungguh nikmat Allah yang tiada tara, dijadikan keindahan
alam yang memanjakan pandangan para insan yang menunggangi dua
tunggangan ‘Umar dalam menjalani hidupnya, yaitu sabar dan syukur.
Untuk
menatap keindahan bulan ini, orang-orang harus memicingkan matanya,
menahan kedip mata yang akan menghilangkan seketika aura indah nan
bercahaya dari bulan. Dan setiap yang memandang pun pada akhirnya akan
memahami bahwa tidak semua manusia diberi kekuatan untuk menyaksikan
keindahan alam ciptaan Allah, karena sebagian kecil manusia harus
kemudian bersabar dengan nikmat pandangan yang tak diberikan kepada
semua manusia. Sang nakhoda kemudian menyadari bahwa tidak semua manusia
diberi kesempatan pada saat yang tepat untuk mengambil hikmah atas
setiap fenomena alam, bahkan kebanyakan manusia lupa akan nikmat ini dan
memandang keindahan alam dengan cara yang biasa saja tanpa berucap
syukur.
Karena keindahan dalam pandangan adalah nikmat Allah yang begitu luar biasa sebagaimana disampaikan dalam Firman-Nya :
“Dijadikan
terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang
diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang
bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah
tempat kembali yang baik.” (QS.Ali-‘Imran : 14)
Maka, sudah sepantasnya bagi setiap insan untuk memandang keindahan alam dengan perenungan yang mendalam. Mengambil setiap ibrah
dari gerakan alamiah alam yang tak akan mampu dianalisis dan dijangkau
dengan kesombongan ilmu dan akal manusia. Sudah sepantasnya setiap insan
memiliki pemahaman yang baik atas ajaran Nabi dan Rasul serta menjadi
pewaris ajaran tersebut, dengan meyakini kebenaran dan kandungan kitab
suci Al-Quran. Sehingga dengan segala kerendahan jiwa dan hati sanggup
untuk memandang keindahan alam bertautkan gelora dan semangat
kepemimpinan. Sebut saja ini tatapan visioner sang nakhoda kapal, cara
menatap realitas alam dengan kepemimpinan, karena sejatinya tugas
manusia adalah menjadi pemimpin di muka bumi. Meskipun pada awalnya
perihal kepemimpinan manusia ini ditentang oleh makhluk Allah yang
paling taat seantero jagad raya sebagaimana Firman-Nya:
“Dan
(ingatlah) ketika Tuhan-mu Berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak
Menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak
Menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan
kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia Berfirman,
“Sungguh, Aku Mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS.Al-Baqarah : 30).
Kepemimpinan
adalah sebuah keniscayaan, inilah yang dilihat sang nakhoda tadi dengan
tatapan tajam nan visioner, tatapan kepemimpinan. Sang nakhoda bahkan
sadar ini bukan sekadar cerita fiksi One Piece yang bercerita
tentang seorang kapten kapal bernama Monkey.D Luffy yang memimpin krunya
dengan begitu polos dan lugu tanpa tujuan yang konkret. Sang nakhoda
pernah mendengarkan sebuah lagu berjudul Perahu Retak yang dinyanyikan
oleh Franky Sahilatua :
Perahu negeriku, perahu bangsaku
Jangan retak dindingmu
Semangat rakyatku, derap kaki tekadmu
Jangan terantuk batu
Jangan retak dindingmu
Semangat rakyatku, derap kaki tekadmu
Jangan terantuk batu
Tanah pertiwi anugerah Ilahi
Jangan ambil sendiri
Tanah pertiwi anugerah Ilahi
Jangan makan sendiri
(Perahu Retak, Franky Sahilatua).
Jangan ambil sendiri
Tanah pertiwi anugerah Ilahi
Jangan makan sendiri
(Perahu Retak, Franky Sahilatua).
Ia
tertegun mendengar lirik lagu yang sebagian besar memang menggambarkan
realitas negerinya. Bahwa keluh dan peluh negeri ini tidak sekedar untuk
dinyanyikan, namun segera dicarikan solusi yang berarti. Dan alangkah
indahnya bila menjadi bagian dari solusi berbagai permasalahan pelik di
negeri ini, dibandingkan sebagian besar orang yang hanya mengutuk
masalah dan tak bergerak menjadi bagian dari solusi tersebut. Negeri
yang kata orang-orang adalah tanah surga nan indah, namun sebagian besar
rakyatnya tak merasakan kemakmuran layaknya cita-cita kemerdekaan. Sang
nakhoda adalah orang yang ingin memegang teguh ajaran Islam, ia
menyadari bahwa dengan menjalankan perintah serta ajaran Allah dan
Rasul-Nya, negeri yang diibaratkan sebagai kapal retak ini bisa
terselamatkan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari
shahabat Nu’man bin Basyir Radhiallahu anhuma, Rasulullah saw bersabda :
“Perumpamaan orang yang teguh menjalankan ajaran Allah dan tidak
melanggar ajaran-ajaran-Nya dengan orang yang terjerumus dalam perbuatan
melanggar ajaran Allah, adalah bagaikan satu kaum yang melakukan undian
dalam kapal laut. Sebagian mendapat jatah di atas dan sebagian lagi
mendapat jatah di bawah. Penumpang yang berada di bawah, jika mereka
hendak mengambil air, mereka harus melewati penumpang yang berada di
atas. Lalu mereka berkata, “Seandainya kita lubangi saja kapal ini, maka
kita dapat mengambil air tanpa mengganggu penumpang di atas. Jika
perbuatan mereka itu mereka biarkan, maka semuanya akan binasa. Namun
jika mereka mencegahnya, maka semuanya akan selamat.” (Shahih Bukhari,
no. 2493).
Sang nakhoda menyadari bahwa persoalan pelik negeri ini
harus segera diselesaikan. Ia begitu bersemangat ingin melanjutkan
cita-cita kemerdekaan para pendahulunya di usianya yang menginjak 69
tahun, sebuah negeri yang adil, makmur, dan sejahtera. Maka bahtera
negeri ini membutuhkan seorang nakhoda yang yakin bahwa kapalnya tidak
akan karam dan tenggelam selama ia memulai perubahan dari dirinya
sendiri meskipun nantinya akan sulit. Sang nakhoda begitu termotivasi
dengan perkataan Ali bin Abi Thalib ra yang berbicara tentang
kepemimpinan :
“Barangsiapa meletakkan dirinya sebagai pemimpin, maka
hendaklah dia memulai dengan mengajari dirinya sebelum mengajari orang
lain. Dan hendaklah dia membersihkan langkah kehidupannya sebelum
membersihkan lisannya. Karena orang yang mengajari dan membersihkan
dirinya itu lebih berhak dimuliakan daripada orang yang mengajari
manusia dan membersihkan mereka.” (Ali bin Abi Thalib).
***
Tulisan
ini bukan sekadar bercerita tentang keindahan bulan di pagi hari!
Tetapi bagaimana cara kita untuk melihat fenomena alam dengan rasa
syukur yang mendalam. Dengan meresapi makna gerakan alamiah alam ini,
bahwa dengan rasa syukur yang biasa-biasa saja belum cukup untuk
membayar nikmat keindahan alam ini, namun sebagai wujud pengabdian
sebagai seorang hamba.
Tulisan ini bukan bercerita tentang perahu
yang tak pernah retak kawan! Ya, Perahu negeri ini sedang retak, dan
beberapa orang-orang terpilih sedang berusaha memperbaiki keretakan
tersebut. Karena ini hanyalah sekedar ide tentang melanjutkan cita-cita
kemerdekaan yang sampai saat ini belum dipahami dan dirasakan oleh
masyarakat meskipun Nusantara ini sudah berusia 69 tahun.
Tulisan
ini bukan bercerita tentang kapal yang akan karam! Ya, sepertinya kapal
negeri ini terlihat akan karam karena menghadapi badai, tetapi
insan-insan yang bertakwa sedang berusaha agar negeri yang indah ini
suatu saat akan mendapat keberkahan dari Allah SWT. Sebuah model Negeri
Madani yang akan memimpin perdaban dunia, dimulai dari perbaikan
individu, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafuur, Insya Allah.
0 komentar:
Posting Komentar