Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
dakwatuna.com - Kekuatannya begitu bening, menembus
jagad sukma dan nurani hampa. Kekuatannya menggerakkan dengan lugas,
tanpa pikir panjang pun siapapun akan memberikan daya yang terbaik.
Rasa-rasanya, gunung pun bisa dilintasi tanpa mengharapkan fasilitas dan
sarana. Lagak-lagaknya, bisa menyeruak ombak dan badai nan ganas,
dengan tekad yang menghujam hati. Bisa-bisa, seisi kota menjadi
berapi-api karena terbakar semangat yang mengharu-biru melebihi semangat
zaman. Bisa-bisa, arus yang konsisten pun akan terjelajahi setiap riak
gelombangnya melebihi rasa putus asa dan upaya untuk menantang arus.
Rasa
ini terus bergerak, tapi tak tahu apa yang hendak dicapainya. Apakah
ingin mendapatkan gelang indah Kisra Persia, sutra menawan dari Tanah
Arab, ataukah kemegahan Colosseum Bangsa Romawi. Mungkin saja itu belum
cukup, bisa jadi rasa ini terus bergerak berputar mencari pusat orbit
kejayaan. Tamasya di Taman Gantung Babilonia, perkebunan subur nan indah
penduduk Aikah, kemegahan dan keunikan arsitektur Aleksandria di Mesir,
tanah makmur dan adil yang dipimpin Raja Najasyi di Habasyiyah, Tiang
dan Mihrab Suci Masjid Al-Aqsha di Palestina, ataukah rasa ini akan
terus bergerak mencari getar hati yang sesungguhnya.
Sebuah
kondisi yang mencengangkan, rasa yang terus bergerak entah mengikuti
kehendak yang memiliki rasa ataukah tidak mematuhi kehendak yang
memiliki rasa tersebut. Seakan-akan tidak berujung, terus bergerak
mencari kepastian, seperti kehilangan pijakan dan tak terkendali dengan
akal sehat. Terus mencari apa yang sesungguhnya memang pantas dicari
atau memang tak pantas untuk menjadi tujuan utama. Rasa yang membuat
seluruh tubuh menjadi gelisah dan seperti kehilangan arah. Seakan-akan
mengambang di udara dengan ketinggian yang membuat nyaman padahal tengah
kehilangan pijakan. Seakan-akan leluasa bergerak kesana kemari tak
tentu padahal tengah mengalami reduksi nilai, entah nilai siapa lagi
yang harus dijadikan acuan, karena hampir semuanya mengaku sebagai
pemilik kebenaran. Padahal di antara begitu banyak kebenaran nisbi hanya
ada satu kebenaran yang absolut.
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah,
dalam Raudhatul Muhibbin wan Nuzhatul Musytaqin, terdapat beberapa
kemungkinan dari terjadinya pergerakan, antara lain:
1. Pergerakan karena didorong oleh kehendaknya artinya gerakan tersebut memang dikehendaki oleh dirinya sendiri.
1. Pergerakan karena didorong oleh kehendaknya artinya gerakan tersebut memang dikehendaki oleh dirinya sendiri.
2. Pergerakan yang lahir bukan berdasarkan kehendak, yang berarti ada dua kemungkinan:
a. Apabila pergerakan itu menuju ke pusatnya, maka itu merupakan gerakan alamiyah.
b. Apabila pergerakan itu bergerak tidak ke pusatnya, maka itu merupakan gerakan yang terpaksa.
a. Apabila pergerakan itu menuju ke pusatnya, maka itu merupakan gerakan alamiyah.
b. Apabila pergerakan itu bergerak tidak ke pusatnya, maka itu merupakan gerakan yang terpaksa.
Dengan
pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah ini, Semakin jelaslah bahwa rasa yang
misterius dan sulit di definisikan ini bisa jadi karena kehendak yang
dikehendaki pemilik rasa dan juga bukan berdasarkan kehendak pemilik
rasa, bergerak ke pusat orbit disebut gerakan alamiah, bergerak tidak ke
pusat disebut gerakan yang terpaksa. Banyak orang-orang yang kemudian
senang menyebut rasa misterius ini dengan sebutan Cinta. Sulit di
definisikan, tapi Cinta dengan kekuatan beningnya, bersumber dari Yang
Maha Cinta, telah menjadi saksi sejarah perjalanan Dakwah Rasulullah
SAW, Para Sahabat, dan Generasi orang-orang Shalih setelahnya. Untuk
menggambarkan seperti apa itu rasa cinta, ada sebuah kisah yang semoga
menginspirasi kami kutip dari Buku Jalan Cinta Para Pejuang karya
Salim.A Fillah yang menceritakan tentang percakapan ‘Umar bin Khaththab
ra dan Rasulullah SAW:
“Ya Rasulallah”, kata ‘Umar perlahan, “Aku mencintaimu seperti kucintai diriku sendiri.” Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tersenyum. “Tidak wahai ‘Umar. Engkau harus mencintaiku melebihi cintamu pada diri dan keluargamu.”
“Ya Rasulallah”, kata ‘Umar, “Mulai saat ini engkau lebih kucintai daripada apapun di dunia ini.”
“Nah, begitulah wahai ‘Umar.”
“Ya Rasulallah”, kata ‘Umar perlahan, “Aku mencintaimu seperti kucintai diriku sendiri.” Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tersenyum. “Tidak wahai ‘Umar. Engkau harus mencintaiku melebihi cintamu pada diri dan keluargamu.”
“Ya Rasulallah”, kata ‘Umar, “Mulai saat ini engkau lebih kucintai daripada apapun di dunia ini.”
“Nah, begitulah wahai ‘Umar.”
Muncul
pertanyaan di benak kita tentang ketegasan ‘Umar bin Khaththab ra yang
juga berlaku pada cinta. Bagaimana bisa orang seperti ‘Umar menata
kembali cintanya agar bergerak dari cinta kepada diri sendiri berpindah
dengan konstan pada kecintaan kepada Sang Nabi. Hanya dalam waktu yang
singkat ‘Umar Sang Oposisi Kebathilan merubah arah gerak cinta yang
merupakan persoalan hati langsung untuk mencinta Rasulullah SAW. Karena
bagi beliau, cinta itu bergerak didasari oleh kerja-kerja dan amal
nyata. Beliau memahami cinta sebagai kata kerja, tak perlu
berrumit-rumit dengan persoalan hati, dengan menata ulang kerja-kerja
dan amal dalam mencintai, maka hati akan menjadi makmum bagi kerja-kerja
cinta yang dilakukan oleh amal shalihnya.
Inilah cinta, gerakan
revolusioner yang apabila terus berkumpul dalam satu titik, akan
melahirkan hentakan. Hentakan yang dahsyat dan begitu luar biasa
menggetarkan jagad raya. Apalagi bila cinta tersebut didedikasikan hanya
kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka cinta-cinta yang lain akan mengikuti
dan menjadi makmum bagi cinta absolut yang sesungguhnya, cinta kepada
Allah dan Rasul-Nya. Hentakan cinta ini melebihi keindahan gelang indah
Kisra Persia, melebihi daya tarik sutra menawan dari Tanah Arab, dan
lebih megah nan mulia dari kemegahan Colosseum kebanggaan Bangsa Romawi.
Alkisah
di Negeri Cina, pada zaman Tiga Kerajaan mendominasi peradaban Cina,
hiduplah seorang raja yang begitu visioner memandang kemajuan dinasti
yang dipimpinnya yaitu Dinasti Shu. Raja yang memimpin Dinasti Shu ini
bernama Liu Bei, raja muda yang adil memimpin para panglima terbaik di
zamannya. Sebut saja Zhuge Liang, Guan Yu, Zhang Fei, Zhao Yun, Ma Chao,
dan beberapa tentara loyal yang berkapasitas dan siap berjuang di bawah
keadilan Liu Bei. Liu Bei begitu mencintai setiap panglima dan
tentaranya yang loyal terhadapnya, rasa cinta ini dimanifestasikan
dengan menganggap para panglima dan tentaranya sebagai saudaranya. Dan
suatu ketika, ketika terjadi bentrok antara Dinasti Shu dan Dinasti Wu,
salah satu panglima terbaik dari Dinasti Shu harus menjadi korban, Guan
Yu terbunuh. Liu Bei yang terlanjur mencintai para panglima dan
tentaranya seperti saudaranya sendiri harus merasakan duka yang begitu
mendalam. Rasa cinta yang begitu mendalam yang dimiliki Liu Bei berujung
pada pembalasan dendam atas kematian Guan Yu kepada Dinasti Wu. Balas
dendam ini menimbulkan konflik yang berkepanjangan, rasa cinta yang
tadinya tulus dan begitu murni berakhir pada konflik berkepanjangan
karena memposisikan cinta hanya sebagai rasa. Sehingga cinta yang
dimiliki Liu Bei harus terkontaminasi dengan noda darah yang kotor dari
ujung tombak dan mata pedang, karena tak ada yang membatasi dan mengatur
cinta itu. Sehingga cinta nampak indah sabagai anugerah dari Yang Maha
Cinta.
Berbeda dengan cinta Rasulullah SAW kepada para Sahabat dan
cinta para Sahabat kepada Rasulullah SAW. Sekalipun Rasulullah SAW
adalah pemimpin, sebagai teladan terbaik ia tidak memposisikan diri
sebagaimana pemimpin-pemimpin di negeri tetangga. Tidak seperti Raja di
Negeri Persia, tidak seperti Kaisar Agung di Byzantium Romawi,
Rasulullah SAW membina hubungan yang baik layaknya persaudaraan yang
kokoh dalam Iman. Hubungan mereka begitu indah dalam harmoni
persaudaraan atas dasar aqidah, yang mana cinta mereka tidak liar dalam
implementasinya, karena senantiasa dibatasi oleh pagar-pagar syariat
Islam. Suatu ketika, sebelum Khalid bin Walid memeluk Islam, dan masih
berstatus sebagai musuh Islam, Al-Walid bin Walid mengirimkan surat
dengan sepenuh cinta kepada beliau. Surat ini berisikan ajakan dari
Al-Walid bin Walid kepada Khalid bin Walid agar memeluk Islam. Al-Walid
bin Walid juga menuturkan tentang cinta Rasulullah SAW kepada Khalid bin
Walid dengan menanyakan kabar beliau. Sungguh indah akhlak dan cinta
Rasulullah SAW sekalipun saat itu Khalid bin Walid belum memeluk Islam.
Jika saja ingin kembali melihat track record
Khalid bin Walid pada Perang Uhud, di mana beliau berhasil memukul
mundur pasukan Islam sehingga Rasulullah SAW dan para sahabat mengalami
cedera, sungguh memilukan hati apabila mencinta orang yang pernah
menjadi musuh Allah. Di Peristiwa Uhud, Rasulullah SAW harus merasakan
cedera fisik akibat serangan kafir Quraisy, bahkan para Sahabat yang
mengelilingi untuk melindungi beliau harus kemudian merasakan sabetan
pedang yang beruntun dan terjangan anak panah yang mengincar Baginda
Nabi SAW. Di Perang Khandaq pun Khalid bin Walid menjadi salah satu
bagian dari Pasukan kafir Quraisy di bawah pimpinan Abu Sufyan yang
sempat membuat Pasukan Islam kelabakan karena serbuan kafir Quraisy dari
Utara dan pengkhianatan Yahudi Bani Quraizah dari arah Selatan. Sampai
kemudian datang pertolongan Allah yang memenangkan kaum Muslimin para
perang Khandaq tersebut.
Namun, begitulah cinta yang diajarkan oleh Yang Maha Cinta, tentang bagaimana Rasulullah SAW, Para Sahabat, dan seluruh Kaum Muslimin untuk menempatkan cinta kepada Allah sebagai prioritas utama dalam permata mahligai cinta dalam kehidupan. Meninggalkan segala bentuk dendam dan prasangka buruk menuju cinta yang benar-benar jernih dan tulus seindah persaudaraan yang diikat oleh Aqidah menembus sekat-sekat kesukuan, status sosial, pangkat dan jabatan, sehingga cinta tersebut dapat mengaburkan segala bentuk penyakit hati yang bersemayam dalam jiwa. Inilah cinta dari Yang Maha Cinta.
“Aslama Khalid!!.. Aslama Khalid!!.. Aslama Khalid!!”
Seantero Madinah gempar dengan Islamnya Khalid bin Walid yang nantinya
akan menjadi salah satu panglima Islam terbaik yang pernah ada,
menggetarkan Singgasana Kisra di Persia dan menggentarkan mahkota
Heraclius di Romawi. Dengan sepenuh cinta, Rasulullah SAW bersabda:
“Dari sekian banyak pedang, Khalid bin Walid adalah Pedang Allah yang
terhunus.”
Kepada Yang Maha Cinta, mari kita memohon ampun atas
setiap cinta-cinta yang semu. Kita memohon ampun atas setiap cinta yang
memalingkan kita dari cinta yang sesungguhnya, cinta yang absolut, cinta
kepada Yang Maha Cinta, Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kepada Yang Maha Cinta, kita menyadari bahwa tak ada satupun di dunia ini cinta yang dapat melampaui Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Cinta ini lebih indah dari tamasya di Taman Gantung Babilonia. Cinta ini lebih subur dari perkebunan subur nan indah penduduk Aikah. Cinta ini lebih megah dari kemegahan dan keunikan arsitektur Aleksandria di Mesir. Cinta ini lebih makmur dari tanah makmur dan adil yang dipimpin Raja Najasyi di Habasyiyah. Cinta ini lebih suci dari tiang dan mihrab suci Masjid Al-Aqsha di Palestina.
Kepada Yang Maha Cinta, kita akan mengikrarkan diri untuk mencintai Dakwah, sebagai salah satu sarana mencintai Allah dan Rasul-Nya. Kita mencintai Dakwah dan Umat ini sebagaimana Rasulullah SAW mencintai umatnya. Kita mengakrabkan diri dengan cinta kepada ketaatan, menjauhi segala larangan Allah, beramar ma’ruf dan mencegah kemungkaran sebagai deklarasi Sang Pencinta Sejati. Dengan segenap cinta Kepada Yang Maha Cinta.
0 komentar:
Posting Komentar