Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
dakwatuna.com - Langit yang cukup cerah mengawali
hari itu. Bermula dari pesona langit shubuh, aku terperanjat bangkit
dari peraduan, segera menjawab panggilan-Nya. Aku sadari panggilan di
shubuh hari itu tak semua orang sanggup untuk segera menjawab dan
bergerak memenuhi panggilannya. Hanya orang-orang terpilih yang kemudian
mampu menjawab panggilan dan bergerak memenuhi panggilan tersebut.
Terkadang rasa malas lebih mendominasi sehingga bunyi alarm sekeras
apapun tak jua membuat segera bangkit, mungkin karena ulah setan yang
betah bersemayam di setiap lekuk tubuh. Berat rasanya menggerakkan tubuh
untuk segera bangkit, dan memang menjadi pejuang shubuh itu bukanlah
tugas yang mudah seperti membalikkan telapak tangan. Perlu upaya yang
terus menerus, perlu stimulus yang memiliki hentakan dahsyat untuk
menggugah, agar bisa menjadi pejuang shubuh sejati. Terkadang, kutengok
akun twitter pejuang shubuh untuk melihat kicauan-kicauan inspiratif
tentang keutamaan-keutamaan melaksanakan shalat shubuh secara berjamaah
di masjid dan tepat waktu. Kicauan-kicauan para pejuang shubuh seluruh
nusantara juga turut menambah semangat agar mampu melaksanakan kewajiban
ini dengan penuh kesadaran dan pemahaman. Karena terkadang orang yang
paham pun belum tentu bisa melaksanakan apa yang dipahaminya kalaulah
tidak didukung oleh lingkungan dan sarana. Sehingga, memang terasa
beratlah sebuah jargon yang berbunyi “Perjuangan adalah pelaksanaan
kata-kata”. Tetapi kewajiban ini adalah harga mati, mau tidak mau, suka
tidak suka harus dilaksanakan dengan sepenuh hati meskipun diawali
dengan pemaksaan. Berbahagialah para pejuang shubuh yang senantiasa
istiqamah, namanya disorakkan dan dicintai para penduduk langit dan
bumi.
Hari itu hampir sama seperti biasanya. Energi-energi positif
terus mengalir dalam raga yang meregang nyawa. Dalam pikirku, tiada
hari tanpa dakwah. Tiba-tiba muncul sebuah renungan konspiratif yang
mengguncang batinku. Sangat kontradiksi dengan nuraniku. Beruntung Allah
memberiku alarm yang bernama ‘Hati’. Muncul pikiran-pikiran untuk
menggadaikan akhirat, acuh tak acuh dengan keutamaan amal agar selamat
dunia akhirat. Ini sebuah pemikiran yang muncul karena seringnya
berinteraksi dengan lingkungan yang hedonis. Utamakanlah akhirat, tetapi
dunia juga harus tengok. Memanglah benar apabila kita mengutamakan
akhirat, tetapi ingatlah bahwa tempat untuk mengumpulkan bekal akhirat
ada di dunia. Sehingga sungguh indah doa ‘Umar bin Khaththab ra : “Ya
Allah, jadikan Dunia dalam genggamanku, bukan dalam hatiku.”
Bayang
semu itu terus menggayuti setiap imajinasiku. Asa akan memiliki dan
merangkul tidak memuluskan taubatku. Padahal, potensi yang diberikan
Allah seharusnya digunakan untuk memenuhi target yang jauh lebih besar
di ujung sana, ekspektasi yang lebih menjanjikan, tak kan habis di dunia
saja. Begitulah manusia, mempunyai potensi untuk berbuat kerusakan,
berbuat yang merugikan. Dalam kondisi ini, banyak orang-orang yang mudah
terbakar rindu, kerinduan yang sesungguhnya adalah kesemuan dan tak
berujung. Apakah kesemuan ini yang akan kalian kejar, padahal kita
sama-sama telah mengetahui dan memahami bahwa umur kita terbatas, amalan
kita sangat sedikit, dan dosa kita terlanjur banyak. Kesemuan ini terus
dikejar, seperti orang yang tak waras, tengah melakukan pengorbanan
untuk kesemuannya ini. Bukankah lebih indah pengorbanan itu lebih
bermanfaat dan dilakukan di jalan Allah?
Muraja’ah belum juga menenangkanku, dalam telaahku ada mindset
yang harus diubah. Niat harus kembali diluruskan, karena dakwah ini
terlalu mulia untuk tercoreng hal-hal yang kelihatannya sepele padahal
tidak seperti itu. Maka kuingat kembali kejadian di alam kubur dan alam
akhirat, semoga segera membelokkanku menuju jalur semula. Dan memang,
semakin dalam telaahku, semakin aku menyadari tentang keberanian yang
harus hadir dalam jiwa. Bukannya aku tak pernah takut, hanya saja takut
di dalam hati itu harus segera ditebas dengan keyakinan tanpa batas,
sehingga ketakutan berpindah ruang karena ditekan oleh keberanian.
Ibarat air di dalam gelas, butuh air yang bertekanan tinggi lebih dari
udara yang ada di dalam gelas agar air bisa mulus memenuhi gelas.
Begitulah cara kerja keberanian menekan ketakutan, begitu pula proses
bagaimana kebaikan mendorong keburukan. Kebaikan harus mempunyai energi
dan tekanan yang lebih besar agar keburukan tersingkirkan.
Adalah
Abdullah Ibnu Mas’ud ra, seorang tokoh pemuda di zaman Rasulullah SAW
yang begitu semangat menerima Islam sebagai agamanya dan sebagai
ideologi yang mengatur tindak tanduknya. Pemuda yang energik, berani,
dan berapi-api, serta memiliki kesabaran yang melebihi kerinduan burung
pungguk akan bulan. Taat dan patuh pada Rasulullah SAW, satu hal yang
kukagumi dari pemuda bernama Abdullah Ibnu Mas’ud ra ini. Ketika Allah
SWT belum menurunkan perintah dakwah secara terang-terangan di kota
Makkah, ia langsung menjawabnya dengan ketaatan. Akan tetapi, jiwa muda
Abdullah Ibnu Mas’ud ra begitu bergelora hingga ia begitu berani
membacakan Surah Ar-Rahman dengan suara lantang di depan para petinggi
kaum Quraisy di depan Ka’bah. Ia sudah menyadari konsekuensi yang akan
diterimanya dari para petinggi Quraisy yang memang tidak senang dengan
ajaran yang dibawa Muhammad SAW. Dan ia pun harus babak belur karena
kejadian itu, mengingat saat itu belum pernah ada yang berani membacakan
ayat-ayat Al-Quran di depan umum, apalagi pada saat itu Ka’bah
merupakan pusat keramaian di kota Makkah. Setelah kejadian itu, Abdullah
Ibnu Mas’ud dengan keberaniannya yang sudah terasah bagai mata pedang
meminta lagi untuk mengumandangkan ayat-ayat Al-Quran di depan Ka’bah,
di hadapan para petinggi Quraisy, hanya saja permintaannya ini tidak
diperbolehkan oleh para sahabat karena khawatir akan keselamatannya.
Sungguh berani engkau wahai Abdullah Ibnu Mas’ud ra.
Adalah Ali
bin Abi Thalib ra yang mulia dengan keberaniannya. Keberanian untuk
menggantikan posisi Rasulullah SAW di tempat tidur ketika Rasulullah SAW
akan hijrah ke Yastrib yang kelak akan berganti nama Madinah
Al-Munawarah. Para petinggi Quraisy bersepakat untuk memberikan hadiah
yang besar bagi yang berhasil menghadang Rasulullah SAW dalam proses
hijrah dan menemukan beliau. Ali bin Abi Thalib pemuda yang begitu mulia
karena kedekatan hubungan keluarga dengan Rasulullah SAW juga menjadi
mulia karena iman dan keberaniannya. Pemuda mana yang sanggup seperti
itu selain engkau wahai Ali bin Abi Thalib. Sungguh mulia engkau karena
keberanianmu menggantikan Rasulullah SAW di tempat tidurnya.
Bahkan
beberapa tahun setelah Islam berjaya, kita takkan pernah kehabisan
kisah-kisah heroik para pemuda pemberani. Kita ingat bersama peristiwa
yang menjadi kunci penaklukkan Persia di Qaddisiyah. Adalah Qa’qa ibn
At-Tamimi yang begitu berani dengan keberaniannya. Di saat Sa’ad bin Abi
Waqash mempercayakan Qa’qa ibn At-Tamimi untuk memimpin garis terdepan
pertempuran di Qaddisiyah, ia menyanggupi dan menjawab perintah itu
dengan keberaniannya. Seperti biasanya sebelum peperangan dimulai,
masing-masing tentara terbaik dari kedua pasukan bertarung terlebih
terlebih dahulu. Dengan keberaniannya, Qa’qa ibn At-Tamimi tak gentar
menantang salah satu panglima perang terbaik Persia, Bahman Jazawiyah.
Qa’qa ibn At-Tamimi pun memenangkan pertarungan yang menjadi kunci
penaklukkan Persia ini, sungguh berani engkau wahai Qa’qa ibn At-Tamimi.
Mendengar
dan merenungi kisah para pemuda tersebut, kucoba tenangkan diri, mohon
pertolongan kepada-Nya untuk menerobos jenggala kesemuan ini. Mereka
adalah para pemuda yang dengan keberaniannya mampu menyibak jenggala
kesemuan. Mereka adalah para pemuda yang patut diteladani setiap jengkal
keberaniannya. Sangat kontradiktif dengan para pemuda di zaman sekarang
yang cenderung melankolis dan tak mempunyai semangat untuk berjuang.
Sehingga wajar saja mereka akan tersesat dalam jenggala kesemuan. Tugas
kita sebagai pemuda yang akan menyibak jenggala kesemuan ini adalah
mengajak mereka untuk bersama-sama menyibak jenggala kesemuan,
meninggalkan segala keraguan sebagaimana sabda Baginda Nabi SAW :
“Tinggalkanlah apa yang meragukan…”.
Wahai para pemuda, sibaklah
jenggala kesemuan yang ada di hadapanmu! Yakinlah bahwa di depan sana
ada mereka yang siap membersamaimu! Ada janji yang harus engkau tepati
kepada bangsamu, kepada Rabbmu.
Wahai para pemuda, sibaklah
jenggala kesemuan yang akan senantiasa menggelayutimu! Yakinlah bahwa
Allah SWT akan menepati Janji-Nya. Di sana ada Kemenangan, Kesucian,
Kemakmuran, Keabadian, Kesejahteraan, tempat yang sangat paripurna untuk
kami para pejuang keidealan, pejuang keadilan.
Wahai para pemuda,
sibaklah jenggala kesemuan yang akan terus menghantuimu! Mulai dari
sekarang, engkau harus mengambil langkah konkret, menjadi sumber cahaya
di tengah kelamnya jenggala kesemuan, menjadi pemimpin perubahan,
menjadi penunjuk arah menyibak jenggala kesemuan.
0 komentar:
Posting Komentar