Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
Kamis, 11 September 2014
Jangan Remehkan Masjid Kampus
By Unknown06.36Dakwah Kampus, Islam For World, Mohamad Khaidir, Tarbiyah Tsaqofiyah, Taujih Thulaby, Tausyiah, Thulaby Akuntansi 2009No comments
Palu, Menjelang Dzuhur, 7 September 2014
Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
dakwatuna.com - Langit terasa gelap, begitupun warna
dan auranya, masih juga menggelayuti hati. Beda ketika ia telah
berkomitmen dengan keimanan dan ketakwaannya, hatinya akan terus
bercahaya di kondisi segelap apapun. Maghrib baru saja berlalu, aku gas
motorku dengan perlahan melintasi jalan yang tak kunjung habis, menuju
sebuah rumah di dekat bukit, rumah yang tak asing lagi bagi kami para
aktivis dakwah kampus Universitas Tadulako. Rumah berwarna putih dengan
pekarangan yang sangat luas, ada beberapa pohon mangga tumbuh di
pekarangan itu. Pintu masuk ke rumah sederhana itu terletak di bagian
selatan dengan pintu yang hanya bisa dimasuki motor dan pintu bagian
barat yang besar dan bisa di masuki mobil. Pagar yang menjadi batas
pekarangan pun hanya pagar kayu sederhana yang berwarna putih. Beberapa
kayu sudah tampak lapuk tetapi masih bisa melindungi pekarangan luas dan
rumah sederhana itu dari hewan-hewan ternak yang ingin masuk. Perlahan
kuparkir motor di depan pintu bagian barat, kudorong pelan-pelan pintu
pagar lalu masuk ke dalamnya. Motor yang kupakai hanyalah motor tua
namun memiliki banyak sejarah perjuangan sejak dari masa jenjang Sekolah
Menengah Pertama (SMP). Motor tua yang tahun ini genap berusia kurang
lebih sebelas tahun, dengan segala kisah suka maupun duka. Motor tua
produk Jepang yang sudah kuanggap bagai kuda perang. Dipakai sebagai
kendaraan menjalankan kegiatan-kegiatan organisatoris dan pergerakan
mahasiswa. Mengantar sang pemilik motor untuk mengisi mentoring, mengisi training,
menghadiri undangan, dan menghadiri forum-forum diskusi pemuda. Aku
berjalan melintasi pekarangan lalu mengucapkan salam sesampainya di
teras rumah itu.
Saat itu masih tahun 2012, amanah sebagai ketua
lembaga dakwah kampus masih berada di pundakku. Kulihat sosok Bapak yang
tak lagi muda dan sudah berumur, rambutnya sudah memutih, matanya agak
sayup namun masih mampu menatap tajam lawan bicaranya. Dari jauh telah
tampak aura kebijaksanaan. Bapak DR. Ir. Hamid Nur, MS namanya. Beliau
berprofesi sebagai guru besar dan anggota dewan senat di Fakultas
Pertanian Universitas Tadulako. Beliau juga menjabat sebagai Ketua
Panitia Hari Besar Islam (PHBI) Universitas Tadulako dan juga salah satu
pembina kami di Lembaga Dakwah Kampus. Beliau duduk di beranda rumahnya
sambil tersenyum ramah kepadaku, mengajakku untuk duduk di sampingnya.
Detik yang beralun-alun tak membuatku gelisah karena aliran
petuah-petuah ini begitu alami. Petuah-petuah khas aktivis pra-reformasi
yang sudah merasakan asam garam dan pahit kecut dinamika kemahasiswaan
di zaman orde baru. Saat di mana kebebasan berekspresi benar-benar
dikekang dengan dalih kesejahteraan bisa terwujud karena ekonomi yang
berdikari. Terlalu tinggi ekspektasi pemerintah di zaman orde baru,
tidak realistis, justru yang terjadi adalah kesenjangan sosial yang
semakin berjarak di tambah lagi kebebasan bisa saja dibungkam dengan
teror ideologi dan teror timah panas.
Petuah-petuah yang
disampaikan oleh orang tua yang sangat kami hormati ini berisi tentang
visi dan misi besar, ada sejuta bahkan tak terhitung jumlah manfaat dari
gagasan ini. Tentang dua hal yang tak bisa dipisahkan seumur hidup,
tentang dua suar cahaya di kampus bumi kaktus yang akan terus
berdampingan mengantar masyarakat intelektual ini menuju puncak
peradaban.
Beberapa saat jantungku langsung berdegup kencang,
darah mengalir semakin cepat, sempat merinding kudengar ide-ide ini.
Begitu banyak ide yang langsung terbersit buru-buru kukumpulkan dan
kuramu dalam satu konsep komprehensif di dalam kepalaku. Saat darahku
semakin banyak terpusat di kepala karena berpikir, menganalisa, dan coba
mengingat setiap untaian kata dari pembina lembaga kami ini. Ide-ide
klasik dan mulai terlupakan oleh sebagian besar aktivis dakwah ini
membuat emosiku mengalir bagai air namun terkontrol, mataku sempat
terbelalak, badanku panas dingin namun bukan gejala demam, adrenalinku
terpacu, tubuhku pun sepertinya gemetaran menahan aliran ide-ide yang
ingin segera diaktualisasikan dalam program kerja dan kerja nyata.
Sesekali kutengok BlackBerry-ku untuk mengecek recent updates dari BlackBerry Messenger. Saat itu aktivis yang punya smartphone masih sangat sedikit, entah harganya terlampau mahal atau masih kurangnya kesadaran dakwah via informasi dan media yang multi ple effect-nya
luar biasa. Nasihat-nasihat dari pembina lembaga kami ini sangat luar
biasa, mengingat beliau juga dulunya adalah seorang aktivis dakwah
kampus juga. Beberapa short message service (SMS) masuk namun
aku tak menghiraukannya. Derasnya aliran gagasan ini membuat kularut di
dalamnya, untuk menganalisa, mengambil hikmah, dan tidak sabar untuk
segera bergerak di lapangan.
Lanjut kisah, karena begitu derasnya
aliran ide emas ini, hatiku dan jiwaku ingin menitikkan air mata, tak
tahu apakah aku berhak gembira, berhak kecewa, atau biasa-biasa saja
mendengarnya. Ternyata aku memang tetap harus menunjukkan ekspresi untuk
menunjukkan antusiasme. Aku tak dapat menyangkalnya, ide inilah yang
kemudian milestone perubahan ketika Rasulullah SAW membangun
contoh peradaban ideal di Kota Madinah Al-Munawarah. Gagasan inilah yang
menjadi kunci kemenangan para panglima-panglima besar Islam ternama di
zamannya sebut saja Khalid bin Walid, Shalahuddin Al-Ayyubi, Sultan
Muhammad Al-Fatih, dan Thariq Bin Ziyad. Para tokoh-tokoh yang tak
pernah memisahkan urusan agama dan negara, urusan Islam dan
pemerintahan, serta menyadari bahwa Dakwah dan Masjid adalah dua sisi
mata uang yang tak bisa dipisahkan juga.
Sejenak, aku kembali mengingat-ingat dan menyegarkan kembali memori daya pikir. Flashback
sejenak pengalaman yang kudapat ketika mengunjungi beberapa Lembaga
Dakwah Kampus yang turut diperhitungkan eksistensinya di tingkat
nasional. Mampu menjadi penggerak unit dakwah lain yang tergabung dalam
Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK). Lembaga Dakwah Kampus
yang mampu menjadi pusat inspirasi dan motivasi gerakan mahasiswa di
daerah manapun. Sebut saja Lembaga Dakwah Kampus Jamaah Nurul Huda
Universitas Sebelas Maret Solo, Lembaga Dakwah Kampus Keluarga Mahasiswa
Islam Institut Teknologi Bandung, dan Lembaga Dakwah Kampus Salam
Universitas Indonesia. Lembaga Dakwah Kampus yang selalu mengurusi
Dakwah sambil mengurusi Masjid, tidak pernah menabrakkan antara urusan
pembenahan internal strukturnya dan pelayanan terhadap jamaah masjid
kampus, selalu mengutamakan urusan dakwah kampus dan masjid kampus tanpa
memihak.
Dengan sepenuh kejujuran dan kacamata yang bebas dari
segala prasangka, hal ini belum di perhatikan di Lembaga Dakwah Kampus
di Kampus Bumi Kaktus ini. Padahal inilah Jalan menuju Tadulako Madani
yang sering dikoar-koarkan tanpa memahami substansi sebenarnya. Dakwah
Kampus dan Masjid Kampus tidak boleh sama sekali terpisah!! Bila ingin
Kampus madani tak hanya sekedar mimpi, camkan hal ini!! Inilah jalan
menuju kampus madani, menuju tadulako madani. Benahi dan beraksi dengan
segera setelah membaca tulisan ini. Dengan perlahan, memperhitungkan dan
mematangkan proses, step by step, slow but sure,
dengan keyakinan dan azzam yang terpancang sambil menatap ke depan
dengan penuh optimisme. Dari hati yang terdalam, serial menuju tadulako
madani ini akan terus berlanjut, sambil terus mencoba menjadi teladan
akan ucapan, karena perjuangan adalah pelaksanaan dari kata-kata yang
terucap maupun tertulis. Sambil terus menantikan dan mencari ghirah
sesungguhnya dari para pejuang dakwah kampus.
Apalah Artinya Setangkai Mawar Putih Tanpa Iman Sejati
Palu, Menjelang Dzuhur, 5 September 2014
Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
dakwatuna.com – “Apalah artinya setangkai mawar
putih tanpa iman sejati”. Sebuah komentar yang langsung merangsang nalar
imajinasi penulis untuk mengambil hikmah dan segera menyampaikan
nilai-nilai kebaikan dalam bentuk tulisan. Padahal awalnya ini hanyalah
senda gurau dengan salah seorang sahabat penulis yang berasal dari
Batam. Mawar putih adalah bunga yang sangat indah dipandang mata,
menyejukkan tatapan, memberi kesan romantis apapun yang bersanding
dengan mawar putih tersebut. Menimbulkan prasangka pada khalayak ramai
bahwa yang memiliki mawar putih tersebut perasaannya tengah
berbunga-bunga. Padahal itu hanyalah mawar putih dengan berbagai
prasangka dan kesan, dengan keindahan rupa dan tampilannya. Jarang
orang-orang ingin mencari tahu apa saja komponen penyusun mawar putih
tersebut, apakah komponen-komponen penyusun keindahan mawar putih
tersebut juga indah rupa dan tampilannya? Apakah komponen-komponen
penyusun keindahan mawar putih tersebut juga memiliki prasangka dan
kesan sama seperti mawar putih?
Sepertinya sebagian besar
orang-orang hanya ingin menikmati keindahan mawar putih tersebut.
Padahal di tangkai mawar putih itu juga tersimpan duri yang bisa membuat
jari terluka dan berdarah, duri yang bisa menjadi berbahaya bila di
pegang tangkainya, duri yang dengan ketajamannya bisa membuat pemegang
mawar putih akan berhati-hati dalam memegangnya. Itulah kecenderungan
manusia yang akan melihat tampilan luar saja, karena itulah fitrah
manusia yang sesungguhnya sebagaimana firman Allah SWT. :
“Dijadikan
terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang
diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta beda yang
bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah
tempat kembali yang baik (QS. Ali-‘Imran : 14).”
Tetapi di akhir
ayat ini Allah SWT menyampaikan bahwa di sisi Allah-lah tempat kembali
yang baik, untuk mengingatkan kita bahwa segala keindahan di dunia ini
termasuk keindahan mawar putih adalah kesenangan dan keindahan yang
bersifat sementara saja. Keindahan dan kesenangan yang sesungguhnya
adalah di sisi Allah SWT., hanya saja selama di dunia Allah belum
memperlihatkan kepada hamba-Nya untuk menguji dan menyeleksi siapa di
antara hamba-hamba-Nya yang benar-benar pantas mendapatkan kesenangan
dan keindahan tersebut.
Bila berbicara mengenai keindahan, kita
bisa tengok sejenak keindahan kacang kastor. Kacang kastor adalah sebuah
kacang yang tak kalah indah dari setangkai mawar putih. Kacang yang
kecil dan berbentuk bulat lonjong, warna coklat dengan motif
bintik-bintik coklat muda. Tetapi tahukah kita di balik keindahan kacang
kastor tersebut ternyata kacang kastor tersebut mengandung racun yang
dapat menyebabkan kematian. Di balik keindahannya, ternyata kacang
kastor tersebut pernah menyebabkan kasus keracunan sampai kematian di
dua puluh lima negara bagian di Amerika Serikat.
Bunga belladona dan akar hemlock pun
sangat indah dipandang mata. Bunga belladona dengan warna hitam
keunguan pada buahnya, seperti anggur. Tetapi bunga belladona ini tak
memiliki rasa seperti buah anggur, sebaliknya bunga belladona mengandung
racun yang dapat mematikan manusia dalam waktu yang singkat. Begitupun
keindahan akar hemlock dengan bunga-bunga putih kecil yang tumbuh di pucuknya, ternyata akar hemlock ini
juga dapat menyebabkan kematian yang seketika apabila manusia
mengkonsumsinya. Gejala yang dialami apabila mengkonsumsi akar hemlock ini adalah kejang-kejang, mual dan muntah, bahkan yang dapat bertahan hidup dari dahsyatnya racun akar hemlock ini
biasanya akan mengalami amnesia atau hilang ingatan. Apalah arti semua
keindahan tersebut kalau ternyata ujung-ujungnya adalah menyengsarakan.
Apalah
artinya setangkai mawar putih tanpa iman sejati. Kata-kata tersebut
sepertinya dapat mewakili analogi tentang keindahan yang di puja-puji
oleh manusia tetapi sesungguhnya tidak berarti apa-apa. Apalah gunanya
paras yang elok, postur tubuh yang ideal, tetapi tidak dibarengi dengan
iman yang kokoh serta perilaku yang baik. Padahal begitu mulia kedudukan
dan kemuliaan seseorang bukan dengan tampilan luarnya tetapi dengan
keimanan dan ketakwaannya.
Sebuah kisah inspiratif tentang jangan
meremehkan penampilan luar, coba saya kutip dari negeri sakura, Jepang.
Di suatu daerah di Jepang ada sebuah toko kuliner yang menjual kuliner
khusus kalangan menengah ke atas atau orang-orang yang berduit. Suatu
ketika, tidak seperti biasanya, toko kuliner yang sering didatangi oleh
kalangan menengah ke atas itu, kedatangan seorang pembeli yang
penampilannya biasa saja, tampak sekali dari tampilannya kalau orang ini
tergolong kurang mampu. Karena melihat itu, karyawan toko kuliner
tersebut berniat untuk melayani pembeli yang satu ini tidak dengan
pelayanan terbaik. Melihat kejadian itu, sang pemilik toko kuliner
langsung turun tangan untuk melayani pembeli yang berasal dari kalangan
kurang mampu tersebut. Ia siapkan packing terbaik untuk
produknya, kemudian sang pemilik toko kuliner memberikan langsung produk
makanannya kepada pembeli tersebut. Dengan pelayanan terbaik, sang
pemilik toko kuliner tersebut memberikan pelayanan terbaiknya, lalu
diakhiri dengan salam penghormatan khas Jepang, yaitu membungkukkan
badan. Hanya saja kali ini berbeda, sang pemilik toko melakukan salam
hormat kepada pembeli yang kurang mampu tadi membungkukkan badan dengan
derajat yang berbeda seakan-akan pembeli tadi adalah orang yang paling
istimewa. Karyawan toko kuliner keheranan kemudian bertanya kepada
pemilik toko kuliner tadi tentang mengapa ia sangat mengistimewakan
konsumen yang sepertinya kurang mampu tadi. Dengan jawaban yang lugas,
sang pemilik toko kuliner menjawab bahwa yang datang tadi adalah
konsumen yang sangat istimewa. Kalaulah pelanggan mereka dari kalangan
menengah ke atas membeli produk dengan pengorbanan yang sedikit, maka
konsumen yang kurang mampu tadi tentunya melakukan pengorbanan yang
begitu besar agar dapat membeli produk yang biasanya hanya di konsumsi
kalangan menengah ke atas. Maka konsumen yang kurang mampu itu adalah
konsumen yang sangat istimewa yang harus dilayani dengan sangat baik dan
diberi penghormatan. Sungguh kisah yang sangat inspiratif tentang
jangan meremehkan penampilan luar seseorang.
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Raudhatul Muhibbin wan Nuzhatul Musytaqin
keindahan itu ada dua macam, yaitu keindahan lahir dan keindahan batin.
Keindahan batin adalah kekasih yang dicintai karena dzatnya seperti
ilmu, akal, kemurahan hati, keberanian dan sebagainya. Keindahan batin
inilah yang menjadi fokus pandangan Allah SWT dalam mencintai hambanya.
Sebagaimana di sebutkan dalam hadits shahih bahwa Rasulullah SAW.
Bersabda :
“Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat pada rupa dan
harta kalian, tetapi Allah SWT. memandang hati dan amal kalian.” (H.R.
Muslim dan Ibnu Majah).
Keindahan batin ini, lanjut Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah, akan menghiasi penampilan lahir, meskipun lahirnya tidaklah
cantik. Orang yang indah batinnya sama dengan mengenakan pakaian
keindahan, kemuliaan sekaligus kewibawaan, dan itu tergantung pada
seberapa kuat sifat-sifat itu tertanam di dalam ruhnya. Orang mukmin
memperoleh kemuliaan dan kewibawaannya berbanding lurus dengan tingkat
keimanannya. Orang yang melihatnya akan merasa segan, dan orang yang
berinteraksi dengannya, maka ia akan mencintainya.
Keindahan batin
yang ada pada manusia hendaknya menjadi fokus perhatian dalam
pembenahan diri kita (diri penulis juga), bukan hanya memperhatikan
keindahan lahir saja. Karena yang paling mulia di sisi Allah SWT adalah
persoalan ketakwaannya. Keimanan sejati lah yang harus kita kejar,
seberapa percaya kita betapa tidak berartinya keindahan lahir semata.
Betapa mulianya seseorang di hadapan Allah SWT dengan hati dan amalnya
yang merupakan keindahan batin.
Apalah artinya setangkai mawar
putih tanpa iman sejati. Teruntuk para pecinta sejati, muliakanlah
dirimu di hadapan Allah dengan keindahan batin. Teruntuk para pejuang
dakwah, angkatlah derajatmu dengan membenahi hati dan amalmu. Semoga
kelak Allah SWT mengumpulkan kita semua di akhirat dalam keadaan wajah
yang berseri-seri karena keimanan kita. Semoga kelak Allah SWT
memberikan hidayah kepada insan yang belum menyadari keutamaan keindahan
batin dari pada keindahan lahir. Semoga kelak Allah SWT berkenan dengan
rahmat-Nya memberikan kepada kita nikmat yang bisa membuat nikmat di
surga tak ada artinya lagi, nikmat keindahan sejati, memandang Sang
Pencipta langit, bumi, alam semesta, serta keindahan itu sendiri,
memandang wajah Allah SWT tanpa terhalang suatu tabir apapun. Insya
Allah.
Selasa, 09 September 2014
Masih Soal Menuju Kampus Madani
By Unknown09.04Dakwah Kampus, Islam For World, Mohamad Khaidir, Tarbiyah Tsaqofiyah, Taujih Thulaby, Tausyiah, Thulaby Akuntansi 2009No comments
Palu, Ba'da Ashar, Di Ruang Tamu, 4 September 2014
Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
Terkadang ada beberapa alasan yang harus dimaklumi, tetapi pada dasarnya dakwah adalah pergerakan yang ketika kita terlambat sedikit saja maka akan mengurangi kontribusi kita terhadap dakwah. Dari hati yang terdalam ingin berkata, “Duhai para pejuang dakwah, betapa ruginya engkau melewatkan dengan percuma kesempatan menuju surga. Duhai para pewaris Nabi, betapa ruginya engkau tak sepenuh hati mengemban amanah ini. Duhai para agen perubahan, betapa beruntungnya orang-orang yang maksimal dalam beramal.”
Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
dakwatuna.com - Secarik kertas sederhana kutemukan di tumpukan berkas clearing akademik.
Kertas itu hanya berukuran kecil, ujung-ujungnya pun sudah robek
sedikit demi sedikit karena lipatan-lipatan kecil. Kuingat kembali di
beberapa tahun yang lalu, kertas ini pernah menjadi sangat berguna.
Karena kami lupa membuat absen rapat yang rapi. Mungkin karena sebentar
lagi kami akan menghadapi musyawarah besar Mahasiswa Pencinta Mushallah
(MPM) Al-Iqra’, sibuk mempersiapkan laporan pertanggungjawaban pengurus
periode itu. Saat itu, penulis masih menjabat sebagai Ketua Umum MPM
Al-Iqra’ Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako Sulawesi Tengah. Kertas
itu nampaknya kusut, namun beberapa tulisan di kertas itu masih dapat
terbaca. Kertas itu berisikan absen rapat pengurus MPM Al-Iqra’ sebelum
periode kami berakhir. Tampak nama-nama pengurus yang sempat hadir di
rapat terakhir kami berjumlah sembilan orang.
Jangan lihat dari
betapa sederhananya kertas yang kami deskripsikan di awal paragraf
tulisan ini. Sebab, banyak hal-hal yang semoga bisa menginspirasi kita
semua dari kertas sederhana ini. Hari itu Kamis 15 Desember 2011,
beberapa saat setelah Shalat Ashar di Mushallah Al-Iqra’ Fakultas
Ekonomi Universitas Tadulako, kami Pengurus MPM Al-Iqra’ Periode
2010-2011 mengadakan Rapat yang sebenarnya mengundang seluruh Pengurus.
Harapan besar sebagian besar pengurus MPM Al-Iqra’ dapat hadir di rapat
tersebut. Dan ternyata yang hadir pada saat itu hanya sembilan orang.
Ada kekecewaan yang sempat terbersit dalam relung hati karena ini adalah
rapat koordinasi yang amat penting, namun realitanya adalah kami harus
kemudian lebih banyak bersabar akan setiap alasan. Sebagai manusia yang
punya hati sudah sewajarnya merasakan kekecewaan yang begitu mendalam.
Namun, jangan sampai kekecewaan ini berlarut-larut apalagi sampai
menghadang laju gerak menuju cita-cita mulia kami, menuju kampus yang
madani.
Muncul di benak penulis bahwa orang yang berdakwah pasti
punya alasan dan tujuan mengapa ia harus berdakwah, begitupun yang tidak
berdakwah pasti punya alasan juga mengapa sampai saat ini masih memilih
untuk tidak bergabung dalam barisan dakwah ini.
Terkadang ada beberapa alasan yang harus dimaklumi, tetapi pada dasarnya dakwah adalah pergerakan yang ketika kita terlambat sedikit saja maka akan mengurangi kontribusi kita terhadap dakwah. Dari hati yang terdalam ingin berkata, “Duhai para pejuang dakwah, betapa ruginya engkau melewatkan dengan percuma kesempatan menuju surga. Duhai para pewaris Nabi, betapa ruginya engkau tak sepenuh hati mengemban amanah ini. Duhai para agen perubahan, betapa beruntungnya orang-orang yang maksimal dalam beramal.”
Saat
itu kami mempunyai begitu banyak masalah, tetapi sekali lagi kami
berprasangka baik kepada Allah SWT. Sebagaimana Hadits Qudsi yang sering
kita dengar dan baca bahwa Allah sesuai dengan persangkaan hamba-Nya.
Seharusnya masalah bukan untuk dihindari, tetapi dihadapi dan
diselesaikan dengan segera meskipun pasti akan menyisakan sedikit luka
bathin. anggap saja kalau ada organisasi yang tidak mempunyai masalah
maka sesungguhnya organisasi tersebut sedang bermasalah. Sering pula
tentunya kita mendengarkan tentang bagaimana rumus untuk menghadapi
masalah. Rumusnya adalah Hadapi, Hayati, dan Nikmati (HHN). Rumus HHN
ini kali pertama penulis dapatkan ketika mengikuti training of mentor saat masih menjadi mahasiswa baru.
Melanjutkan
cerita, pada saat itu, dengan sisa-sisa semangat yang ada kami terus
bergerak menjalankan program kerja dan terus saling mengingatkan dalam
kebaikan. Bahwa di MPM bukan sekedar Program kerja biasa yang akan
meluluhlantahkan sum-sum tulang belakangmu, bahwa program kerja di MPM
tidak harus di evaluasi dengan idealisme yang begitu tinggi sampai
melupakan kemanusiaan. Bukankah agama Islam adalah agama yang paling
menghargai nilai-nilai kemanusiaan? Bukankah Dakwah ini mengajarkan kita
tentang menjadi teladan sebelum menyampaikan? Bukankah Dakwah ini
membimbing kita tentang menyentuh hati sebelum menyampaikan?
Masih
melanjutkan kisah tentang menuju kampus madani, pada saat itu tak
serius seperti rapat biasanya, kami mencoba berdinamisasi agar suasana
rapat menjadi enjoy. Agar beban dakwah yang memang sangat berat
ini kami bagi ke pundak-pundak seluruh pengurus MPM, minimal agar ia
terasa ringan. Dan agar amanah tersebut terasa menjadi semakin ringan,
kami menikmati setiap amanah yang dibebankan kepada kami. Bahkan tak
jarang di periode kepengurusan ini kader-kader maupun penguruslah yang
kemudian meminta amanah. Mungkin ada kesadaran implisit yang memahami
bahwa kami bukan sekedar The Agent Of Change lebih dari itu, kami adalah The Agent Of Allah.
Terkadang
kami begitu bingung ketika idealisme kami bertentangan dengan realitas
yang ada. Di satu sisi kami ingin mematuhi setiap kesepakatan rapat,
serta isi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Tetapi pada akhirnya
pun kami semakin menyadari bahwa ada kondisi dimana Dakwah sejatinya
memang berlandaskan Syariat Islam di atas segala-galanya. Bahwa Al-Quran
dan As-Sunnah adalah pedoman hidup dan tindakan.
Ini hanya
sekadar goresan kecil dari tinta nurani penulis yang semoga semakin
menginspirasi dan memotivasi kita semua sebagai orang yang sangat
dibangga-banggakan oleh Allah dan juga orang yang namanya disebut-sebut
oleh para malaikat karena banyak berkumpul dalam rangka mengingat Allah.
Berkumpul dalam rangka menuntut ilmu, berhimpun dalam rangka
melanjutkan tugas para Nabi dan Rasul yang mana tidak semua orang
menyadari bahwa tugas ini adalah kewajiban setiap insan manusia. Maka
tugas kami adalah menyadarkan mereka tentang kemuliaan tugas ini.
Beda
zaman, beda pula masalah yang di hadapi. Tetapi hal ini jangan sampai
menjadi argumen utama kita untuk menolak masukan dari para senior dan
para pendahulu.
Karena terkadang kita harus membuka kembali lembar
sejarah Rasulullah SAW dan para sahabat, generasi setelah sahabat,
orang-orang shalih serta sejarah dari para pendahulu. Agar kita dapat
mengambil hikmah dari setiap kisah. Agar kita dapat mengambil ibrah dari
sejarah tersebut, sehingga ke depan kita tidak akan terjatuh dalam
lubang kesalahan yang sama dan bertindak dengan lebih waspada.
JAS
MERAH Kata Bung Karno!! Jangan sekali-kali melupakan sejarah!!Karena
visi tidak dibangun dalam waktu yang singkat, karena dakwah adalah
pekerjaan membangun sebuah peradaban, karena dakwah kampus adalah
tentang pewarisan visi dan misi, perlahan tapi pasti menuju kejayaan dan
kemenangan, Ini masih tentang menuju kampus yang madani.
Senin, 08 September 2014
Tetaplah Berjamaah!
Palu, Ba'da Ashar, 2 September 2014
Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
Iring-iringan
kendaraan bermotor melintasi kota berduyun-duyun di hari Ahad sore. Di Kota
tempat penulis mengukir gagasan sederhana ini, Kota Palu Sulawesi Tengah. Memberi
kesan yang melihatnya bahwa mereka benar-benar kompak dalam hal kendaraan,
seragam, dan beberapa atribut lain. Nampaknya bukan hanya satu komunitas
kendaraan bermotor yang berkumpul di taman kota pada sore hari itu. Ada
komunitas dengan kendaraan yang sederhana saja, ada pula komunitas dengan
kendaraan bermotor yang agak mewah khusus kalangan menengah ke atas. Mereka
sudah bersiap-siap di tempat seperti biasa yang mereka sepakati bersama,
bersiap melakukan tour keliling kota
di iringi beberapa polisi lalu lintas. Selain untuk mensosialisasikan tentang
cara berkendara yang baik kepada masyarakat, juga membuktikan solidaritas
mereka sebagai sesama rider.
Komunitas
rider tersebut ingin memberikan
pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya berkendara secara tertib dan
taat pada peraturan-peraturan lalu lintas. Mereka menyadari bahwa kalau upaya
ini di lakukan secara individualis saja, maka pengaruhnya mungkin tak terlihat
bahkan tak terasa sama sekali. Maka mereka melakukannya secara bersama-sama,
secara berramai-ramai agar muncul euforia
tersendiri pada pesan-pesan yang ingin mereka sampaikan. Ada juga
sekelompok anak muda yang berhimpun dalam komunitas sepeda. Dengan penuh
percaya diri mereka ingin menyampaikan nilai-nilai tentang hidup sehat. Dengan
bersepeda maka akan mengurangi polusi dan sisi positif lainnya adalah
menyehatkan badan dan sekali lagi mereka tak akan mampu untuk menyebarkan
nilai-nilai positif ini apabila hanya di lakukan secara individu. Mereka
memilih untuk berhimpun dalam suatu komunitas agar apa yang ingin mereka
sampaikan dapat tersebar dengan luas.
Ada
lagi sekelompok anak muda yang berhimpun dalam kelompok pecinta alam.
Menyebarkan nilai-nilai positif tentang bagaimana kemudian manusia yang memang
pada dasarnya harus menghargai dan melestarikan lingkungan. Nilai yang ingin di sampaikan oleh kelompok
pecinta alam ini sangat kontras dengan pemahaman para penganut paham kapitalis
tentang bagaimana memandang alam dan lingkungan sekitar. Paham kapitalis memberi
keleluasaan manusia untuk mengelola dan memanfaatkan alam dengan
sebebas-bebasnya tanpa di sertai tanggung jawab moral dan sosial. Mungkin hal
ini juga yang mengakibatkan banyak perusahaan-perusahaan di sekitar kita
mengelola dan memanfaatkan alam dengan
sewenang-wenang. Sehingga yang terjadi adalah eksploitasi sumber daya alam yang
tidak terkendali dan tidak bertanggungjawab karena bertindak dengan tujuan
pemenuhan profit semata serta
mengabaikan nilai-nilai etika dan moral. Inilah paham ekonomi kapitalisme.
Kembali
ke komunitas pecinta alam tadi, mereka adalah sekelompok anak muda yang mempunyai
hobi menyusuri sungai, mendaki gunung, hiking,
joging, climbing, yang tidak lain dan
tidak bukan adalah dalam rangka mencintai alam dan melestarikan lingkungan.
Sedikit mirip dengan konsep Islam tentang bagaimana cara pandang manusia
terhadap alam dan lingkungan dan sekitarnya. Islam mengajarkan melalui
Al-Qur’an dan As-Sunnah, bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi. Khalifah
adalah pemimpin, mulai dari memimpin dirinya sendiri, keluarga, masyarakat,
sampai memimpin alam semesta. Alam pun adalah wewenang manusia untuk mengelola
dan memanfaatkannya, Allah SWT adalah pemilik alam semesta ini dan manusia di
beri hak untuk mengelola dan memanfaatkannya. Tentunya karena alam semesta ini
adalah kepunyaan Allah SWT. , maka harus di kelola berdasarkan aturan-aturan
dari Allah, yaitu Syariat Islam. Di kelola dengan kebebasan yang
bertanggungjawab. Betapa indah Islam mengatur tentang cara pandang manusia
terhadap alam. Adapun sekelompok anak muda pecinta alam tadi begitu sadar bahwa
untuk memberikan kesadaran kepada orang-orang di sekitarnya tentang bagaimana
mencintai alam dan melestarikan lingkungan tidak bisa di lakukan hanya secara
individualis. Butuh kerja sama, butuh kelompok, dan butuh wadah. Maka kelompok
komunitas kendaraan bermotor, komunitas bersepeda, dan komunitas pecinta alam
tadi, memilih untuk bekerja secara Berjama’ah.
Sejatinya,
manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Dasar negara kita
pun, yaitu Pancasila mengajarkan hal yang serupa. Sebagai makhluk individu,
manusia harus memperhatikan apa-apa saja yang terkait dengan kebutuhan
hidupnya. Imam Al-Ghazali menyimpulkan tentang lima kebutuhan dasar manusia,
yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Pada saat yang sama manusia juga
harus mampu menjadi makhluk sosial yang peduli akan sesama, peduli kepada
lingkungan sekitarnya. Dan konsekuensi logisnya adalah manusia membutuhkan
manusia lain dalam beberapa aktifitas sosial.
Dalam
buku “Guru Adalah Ustadz Adalah Guru”, Saiful Falah menganalogikan tentang
betapa seorang manusia tidak akan bisa mengerjakan segala sesuatunya sendirian
kecuali butuh bantuan manusia yang lain. Saiful Falah ber-analogi seperti ada
dua buah gelas yang kosong, yang satunya di isi setengah terlebih dahulu. Kemudian,
gelas yang sudah terisi setengah tadi di isi lagi dengan air sampai penuh.
Bahkan air tersebut tertumpah ke meja dan ke lantai. Air yang tertumpah ke
meja, bila ada kertas di meja tersebut, pastilah air akan merusak kertas
tersebut. Air yang tertumpah sampai ke lantai akan menyebabkan lantai licin,
tinggal menunggu waktu saja orang-orang akan jatuh di sebabkan oleh lantai yang
licin tersebut.
Gelas
tadi di ibaratkan sebagai daya tampung manusia atas setiap masalah yang di
hadapinya. Setiap manusia pasti memiliki batas daya tampung atas setiap masalah
yang di hadapinya, apabila masalah tersebut terus tertampung dalam dirinya,
maka tunggu saja masalah tersebut akan menimbulkan masalah baru dan merugikan
orang lain sepanjang masalah tersebut tidak pernah di-sharing. Butuh gelas lain agar air yang tertampung dalam gelas kita
bisa terakomodasi. Manusia butuh tempat sharing
atau curahan hati agar setiap masalah yang di hadapi terasa sedikit lebih
ringan dan mampu di hadapi. Gelas yang menjadi tempat berbagi air tadi
hendaknya bukan gelas yang di penuhi air juga, karena masalah bisa menjadi
semakin runyam apabila partner sharing kita
juga seseorang yang memiliki segudang masalah. Dan pada intinya, manusia tidak
dapat hidup sendiri. Butuh sahabat, butuh orang lain, butuh kelompok, butuh
wadah, butuh komunitas, agar hidupnya dapat di jalani dengan sebaik-baiknya.
Sebagaimana hakikat manusia sesungguhnya, Sabda Rasulullah SAW.: “Sebaik-baik
manusia adalah bermanfaat bagi sesamanya..”.
Inilah
fitrah manusia yang harus di sadari oleh para pejuang dakwah. Inilah kaidah yang
harus di pahami oleh para pewaris tugas Nabi dan Rasul. Tentang pilihan untuk
berjama’ah dalam hidupnya. Begitu banyak keutamaan-keutamaan yang di peroleh
apabila perjuangan yang panjang dan melelahkan ini di kerjakan secara
bersama-sama, secara berjama’ah. Keistimewaan berdakwah di dalam Jama’ah begitu
banyak. Kita coba lihat bagaimana yang terjadi di Masjid Nabawi di masa
Rasulullah SAW. Pemandangan mana yang lebih indah kita saksikan ketika kaum
muslimin melaksanakan Shalat secara berjama’ah. Ada Suhail dari Romawi, Salman
dari Persia, Bilal dari Habasyiyah, mereka semua di ikat dalam persaudaraan
berdasarkan aqidah. Di ikat dengan indah oleh ukhuwah islamiyah, betapa
indahnya bergabung dan bekerja dalam jama’ah daripada secara sendiri-sendiri. ‘Umar
bin Khaththab ra pernah berkata : “Tidak ada Islam melainkan dengan jama’ah,
tidak ada jama’ah kecuali dengan imamah (kepemimpinan) dan tidak ada
kepemimpinan kecuali dengan ketaatan.”
Sebagai
pejuang dakwah, kita pun harus memahami tujuan sebenarnya dari berjama’ah ini.
Tentang mengapa dakwah ini harus membentuk sebuah kesatuan barisan, keselarasan
gerak, dan keseragaman tujuan. Dalam Buku Menuju Jama’atul Muslimin, Hussain
bin Muhammad bin Ali Jabir, M.A. menjelaskan tentang tujuan-tujuan umum bagi
jama’atul muslimin yaitu :
1. Supaya
manusia menyembah Rabb yang Mahasatu
2. Menjalankan
prinsip amar ma’ruf nahi mungkar
3. Menyampaikan
Dakwah Islam kepada semua manusia
4. Menghapuskan
fitnah dari seluruh dunia
5. Menaklukkan
Roma, ibu kota Italia
6. Memerangi
semua manusia sehingga mereka bersaksi dengan kesaksian yang benar.
Masih
dalam buku Menuju Jama’atul Muslimin, Nabiyullah Ibrahim as menyadari persoalan
ini kemudian memohon kepada Allah SWT agar di anugerahi seorang penerus yang
termasuk dalam golongan orang-orang shaleh yang akan menjadi suatu jama’ah
pengemban dan pembela Dakwah-Nya. Firman Allah SWT. :
“Ya
Rabbi, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk ke dalam himpunan
orang-orang yang Shaleh. (Q.S. Ash-Shaffat : 100).”
Rasulullah
SAW mengungkapkan pentingnya jama’ah ini bagi keberhasilan dakwah, dan
menyatakan bahwa jama’ah inilah yang akan menentukan eksis atau tidaknya dakwah
islam. Ini di ungkapkan beliau dalam munajatnya kepada Allah pada perang Badar
sebagaimana di riwayatkan dari ‘Umar bin Khaththab ra. Pada waktu perang Badar,
Nabi SAW menghadap kiblat , kemudian menjulurkan tangannya seraya berdoa kepada
Rabb-nya :
“Ya
Allah, jika kelompok dari orang-orang Islam ini hancur, maka Engkau tidak akan
di sembah di muka bumi.”
Wahai
para pejuang dakwah, taatilah Rabbmu dan teladanilah para Nabi dan Rasul dengan
mengambil langkah tegap untuk berjama’ah. Insya Allah engkau takkan berada
dalam kesesatan selama Jama’ah Dakwah senantiasa berpegang teguh pada Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Pahamilah ini lalu ambil langkah yang pasti, ajak orang-orang di
sekitarmu untuk turut serta mengambil langkah ini. Langkah yang akan
membimbingmu, membimbing kita semua berada dalam jalan kebenaran, jalan yang di
ridhai Allah SWT., jalan yang telah di ambil para Nabi dan Rasul, jalan yang
telah di ambil para pendahulu. Yakinlah dengan sebenar-benarnya keyakinan, keyakinan
yang menghujam nurani, laksana kokohnya akar menunjang batang, ranting, dan
daun. Tetaplah Berjama’ah!
Wahai
para pejuang dakwah, jangan sampai tingginya gelombang sekularisasi,
liberalisasi, dan ideologi-ideologi lain membuatmu pesimis membersamai ideologi
yang mulia ini, ideologi yang di wariskan oleh para Nabi dan Rasul, dan dengan
keoptimisan dan kemantapan hati kita menjadi pewaris tugas para Nabi dan Rasul.
Jangan sampai realitas keummatan membuatmu pesimis dalam mengemban tugas yang
mulia ini. Karena engkau adalah orang-orang yang telah di pilih oleh Allah SWT
untuk bergabung dalam barisan Jama’atul Muslimin. Bersabarlah dan kuatkanlah
kesabaranmu! Teruslah berada dalam Jama’ah! Tetaplah Berjama’ah!
Selasa, 02 September 2014
Istana Putih dan Getar Hati Pemimpin
By Unknown06.31Islam For World, Mohamad Khaidir, Tarbiyah Tsaqofiyah, Taujih Thulaby, TausyiahNo comments
Palu, Di Ruang Tengah, Menjelang Sore, 28 Agustus 2014
Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
dakwatuna.com – Istana putih berdiri tegar di depan
sektor perkebunan kelapa sawit, atapnya menjulang tinggi ke langit
seakan-akan ingin memecah awan. Namun istana putih ini bukanlah istana
putih Persia dengan kemegahannya di masa lalu. Di posisi dataran yang
tinggi, di istana putih itu tersedia jalan yang lebar agar dapat
menjangkau dan memasukinya. Jalan menuju ke istana putih terbuat dari
pavin-pavin yang disusun secara rapi dan disesuaikan ketinggiannya. Agar
mobil-mobil mewah nan angkuh bisa lewat. Mobil-mobil mewah nan angkuh
yang dulu ketika masa kampanye pemiliknya sering turun ke lapangan,
bersosialisasi dengan masyarakat, sering melakukan kegiatan bakti sosial
di tengah-tengah masyarakat. Namun ketika mendapatkan kursi di
parlemen, mobil mewah nan angkuh itu sepertinya tak pernah lagi melewati
jalan yang berlubang. Mobil mewah nan angkuh itu mungkin tak sudi lagi
melewati jalan yang becek karena takut kemewahannya akan terkotori oleh
noda becek. Mobil mewah nan angkuh itu melaju dengan kecepatan yang tak
memungkinkan rakyat untuk menegur dan menyapa yang berada di dalam
mobil. Mobil mewah nan angkuh itu mungkin tak lagi membuka kaca
jendelanya karena terburu-buru menuju rapat dan urusan formal lainnya.
Terus menuju istana putih tanpa pernah menyempatkan waktu untuk singgah
sebentar sekadar duduk-duduk di warung kopi, sekadar nongkrong di
pinggir jalan sambil mendengarkan keluhan rakyat, sekadar singgah di
warung makan sederhana tempat para masyarakat bertukar pikiran. Terus
melaju meluncur menuju istana putih. Istana putih itu terletak di
Kabupatan Morowali Provinsi Sulawesi Tengah, sekitar 14-15 jam menempuh
perjalanan darat. Jaraknya kurang lebih 600 Km dari Ibu Kota Provinsi,
Palu Sulawesi Tengah. Dengan kondisi jalan yang sangat memprihatinkan
menuju ke Kabupaten Morowali karena masih tergolong kabupaten baru.
Kami
pun menyadari bahwa istana putih ini ada hampir di seluruh daerah di
Indonesia. Istana putih yang indah tersebut, memiliki banyak penjaga di
setiap sudut pekarangannya. Penjaganya berbadan tegap dan berpenampilan
serba hitam. Ada juga penjaga yang berpakaian seragam lengkap, warna
seragamnya hijau tua kekuning-kuningan, lengkap dengan baret, sabuk yang
rapi, sepatu laras bak militer siaga. Ada pula beberapa tukang kebun
yang menjaga keseharian pekarangan istana putih. Setiap hari menyirami
bunga-bunga indah dan tanaman-tanaman elok pelengkap keanggunan taman
istana putih. Istana putih yang sangat indah, tertata rapi setiap
komponennya, namun tak sebanding dengan kemuliaan SurgaNya Allah SWT
diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman dan istiqamah dalam
ketakwaannya.
Istana putih dengan segala keindahan duniawinya. Dan
yang pasti segala keindahan di dunia memiliki konsekuensi logis, karena
tak ada yang abadi di dunia ini. Konsekuensi logisnya adalah, tak
mungkin istana putih yang megah ini dengan segala kemegahannya hanya
disokong dengan dana yang sedikit. Tentunya membutuhkan biaya yang
banyak dan dana yang sangat besar untuk menjaga segala fasilitas istana
putih tersebut. Artinya di puncak kemegahan yang ada pada istana putih,
pasti ada penderitaan segelintir orang. Sang penghuni istana putih itu
pun sangat terkenal dengan kewibawaannya dan kepemimpinannya. Ia sering
menggunakan pakaian serba putih pada setiap acara-acara formal dan
acara-acara penting. Tampilannya layaknya Bung Karno dengan pakaian
serba putih tersebut, mudah-mudahan gagasan kebangsaan visioner milik
Bung Karno juga ada dalam pikiran sang penghuni istana putih tersebut,
bukan hanya sekadar tampilan luarnya saja. Sebut saja orang yang sangat
dihormati ini sering di panggil dengan panggilan Kepala Daerah. Memimpin
suatu daerah tertentu dengan berbagai fasilitas mewah dan sarana
prasarana yang menunjang gaya hidupnya. Salah satu fasilitas yang
diperolehnya adalah yang kami deskripsikan sejak awal tulisan ini,
fasilitas tersebut adalah rumah dinas yang penulis senang menyebutnya
dengan sebutan istana putih.
Zaman telah berubah, dan arus
globalisasi semakin deras, gelombang sekulerisme dan liberalisme semakin
meninggi bersiap menerpa apapun yang ada di depannya. Sepertinya sosok
pemimpin sederhana dan bersahaja semakin sulit ditemukan di masa kini.
Padahal dunia pernah menyaksikan kepemimpinan hebat seorang yang
sederhana dan bersahaja. Seorang anak yatim dan tak pandai membaca,
namun kepemimpinannya diakui oleh Romawi dan Persia. Kepemimpinan yang
sangat berpengaruh keteladanannya melebihi pengaruh pemimpin manapun di
dunia ini. Dialah Baginda Nabi Besar Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallam.
Tercatat dalam Buku karya Michael Hart berjudul “100 Tokoh Berpengaruh
di Dunia Sepanjang Masa” sebagai Tokoh yang paling berpengaruh dalam
sejarah peradaban dunia. Bahkan membina para sahabat dekatnya menjadi
para pemimpin hebat di zamannya. Khalifaturrasulillah, Abu Bakar
Ash-Shiddiq Radhiyallahu’anhu yang pembawannya begitu
melankolis dan lembut kepada siapa saja, ketika memimpin mampu untuk
kemudian menjadi tegas dan keras serta memerangi para Kaum Muslimin yang
enggan membayar zakat semenjak meninggalnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam. Atau seperti Amiirul Mu’minin, ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu’anhu,
sosok yang begitu keras dan tegas namun pada saat yang sama menjadi
orang yang begitu lembut dan penyayang serta amat sangat mencintai
rakyatnya. Amiirul Mu’minin ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu’anhu
mampu untuk kemudian menjadi pendengar yang baik atas setiap keluhan
kaum Muslimin dan adil terhadap non-muslim. Merekalah para pemimpin
terbaik di zamannya.
Kembali lagi kepada cerita yang sedikit
mendekati realita tadi, tentang Kepala Daerah dengan kemegahan istana
putihnya. Realita yang terjadi hampir di seluruh daerah di Negeri indah
nan permai bernama Indonesia. Masyarakat masih tengah mencari sosok
pemimpin ideal yang mampu menyelesaikan segala persoalan negeri ini, dan
saat ini masyarakat cenderung akan memilih pemimpin yang sering turun
ke lapangan dan melihat langsung kondisi mereka. Terlepas dari apakah
itu pencitraan belaka atau memang benar-benar bekerja tulus dan ikhlas
untuk masyarakat. Kita tak tahu pasti kondisi sesungguhnya hati nurani
para pemimpin yang sering turun lapangan tersebut, karena hanya Allah
yang mengetahui kondisi sesungguhnya kondisi hati para pemimpin kita,
getar hati sang pemimpin Sampai detik ini, kita tengah disibukkan dengan
polemik kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang merupakan kebutuhan
primer masyarakat yang hampir dapat dipastikan kenaikan BBM tersebut
akan semakin mencekik masyarakat kalangan bawah. Semoga saja para
pemimpin bangsa ini segera mendapatkan solusi terbaik terkait polemik
ini.
Kita sangat merindukan para sosok pemimpin dengan getar hati
yang sesungguhnya. Mungkin saja sosok itu ada di Provinsi Jawa Barat
yang Gubernurnya memiliki segudang prestasi fenomenal dibuktikan dengan
penghargaan hampir di semua aspek pemerintahan dan tata kelola
pemerintah, beliau senyap akan pemberitaan media. Mungkin juga sosok itu
ada di daerah Depok, yang Walikota-nya dengan senang hati naik motor
menuju kantor dinas yang belum tentu kepala daerah yang lain mau untuk
melakukan hal itu.
Mungkinkah getar hati pemimpin tersebut ada di Kota
Bandung, mempunyai Walikota yang muda dan energik, begitu bersemangat
menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di Kota Bandung, dan sampai
sekarang berusaha sepenuh hati dan sekuat tenaga merealisasikan
janji-janji kampanye-nya. Atau mungkinkah getar hati itu ada di Kota
Surabaya, memiliki Ibu Walikota yang dengan sangat tegas menutup tempat
prostitusi terbesar se-Asia Tenggara, tegas menindak kemaksiatan
meskipun sering mendapat cemoohan tak santun dari beberapa oknum, semoga
Allah senantiasa merahmatimu Ibu Walikota! Atau mungkin saja kita juga
merindukan getar hati pemimpin yang merupakan seorang Da’i dan ‘Ulama,
pada saat yang sama juga menjadi ‘Umara. Pemimpin kharismatik di
daerahnya, yang terhormat Bapak Gubernur Maluku Utara. Hanya Allah lah
yang mengetahui getar hati pemimpin yang sesungguhnya, pemimpin yang
sederhana nan tegas, sosok pemimpin ideal impian yang sangat kita
rindukan. Mari kita mulai mencari getar hati pemimpin itu, dimulai
dengan merendahkan ego dan kesombongan, dimulai dari ber-muhasabah atas
diri kita sendiri, memperbaiki keluarga kita, mempererat persaudaraan
dengan sahabat-sahabat kita, menyebarkan kebaikan pada orang-orang di
sekitar kita, serta masyarakat kita. Agar suatu saat muncul sosok
pemimpin dengan getar hati yang sesungguhnya. Karena seyogyanya pemimpin
yang terbaik lahir dari lingkungan dan masyarakat yang terkondisikan
dengan kebaikan-kebaikan. Sehingga sungguh syahdu perkataan Ali Bin Abi
Thalib ra apabila mampu kita praktekkan, Beliau berkata :
“Barangsiapa
meletakkan dirinya sebagai pemimpin, maka hendaklah dia memulai dengan
mengajari dirinya sebelum mengajari orang lain. Dan hendaklah dia
membersihkan langkah kehidupannya sebelum membersihkan lisannya. Karena
orang yang mengajari dan membersihkan dirinya itu lebih berhak
dimuliakan daripada orang yang mengajari manusia dan membersihkan
mereka.” (Ali bin Abi Thalib).
Kita masih merindukan sosok
pemimpin yang ideal, yang mungkin saja mau meninggalkan segala kemewahan
dan kemegahan istana putih-nya, tinggal bersama-sama masyarakat. Sempat
Di zaman ke-khalifahan ‘Umar bin Khaththab ra utusan dari Romawi dan
tawanan perang dari Persia terheran-heran menyaksikan Sang Amiirul
Mu’minin tidur di Masjid Nabawi yang kondisi Masjid Nabawi di Madinah
pada saat itu memang masih sangat sederhana. Kita menantikan sosok
pemimpin yang tak segan berada di tengah-tengah masyarakat dan berbaur
dengan mereka. Turunkanlah kaca jendela anda sejenak, turunlah dari
mobil mewah nan angkuh sejenak untuk bersama-sama mendengar masukan dan
saran-saran kami. Tinggalkanlah istana putihmu walaupun hanya sejenak,
tinggallah sejenak di rumah-rumah kumuh kami agar paham akan kondisi
kami.
Kita bukanlah kaum Jabariyah, kelompok umat Islam zaman dulu
yang selalu pasrah. Kepasrahan kaum Jabariyah ini terhadap Yang
Mahakuasa sudah berada dalam stadium gawat darurat. Ideologi ini di
pelopori oleh Jahm bi Safwan dan Ja’d bin Dirham. Menyerahkan takdir
manusia semua-muanya kepada Allah merupakan inti dari ajaran Jabariyah.
Mereka meniadakan usaha manusia. Manusia hanya di anggap sebagai boneka
Tuhan. Maka ketika terjadi sesuatu, manusia tidak bisa dipersalahkan.
Kita
akan berusaha untuk tidak seperti kaum Jabariyah, kita tidak akan
meneladani kaum yang telah dilaknat Allah SWT karena pemikiran yang
sempit. Kita akan berusaha menjadi pemimpin bagi diri sendiri dan
keluarga, kita akan senantiasa berusaha menjadi rakyat yang baik dan
santun karena sedikit memahami bahwa kondisi pemimpin adalah
representasi dari kondisi rakyatnya. Dari Getar hati sang Pemimpin, Kita
berharap keberkahan dari Allah SWT untuk negeri ini, agar suatu saat
keberkahan Allah SWT melimpah untuk negeri ini oleh sebab keteladanan
pemimpinnya dan kesantunan serta ketaatan rakyatnya. Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafuur, Insya Allah.