Oleh : Mohamad Khaidir, S.E.
dakwatuna.com - Langit terasa gelap, begitupun warna
dan auranya, masih juga menggelayuti hati. Beda ketika ia telah
berkomitmen dengan keimanan dan ketakwaannya, hatinya akan terus
bercahaya di kondisi segelap apapun. Maghrib baru saja berlalu, aku gas
motorku dengan perlahan melintasi jalan yang tak kunjung habis, menuju
sebuah rumah di dekat bukit, rumah yang tak asing lagi bagi kami para
aktivis dakwah kampus Universitas Tadulako. Rumah berwarna putih dengan
pekarangan yang sangat luas, ada beberapa pohon mangga tumbuh di
pekarangan itu. Pintu masuk ke rumah sederhana itu terletak di bagian
selatan dengan pintu yang hanya bisa dimasuki motor dan pintu bagian
barat yang besar dan bisa di masuki mobil. Pagar yang menjadi batas
pekarangan pun hanya pagar kayu sederhana yang berwarna putih. Beberapa
kayu sudah tampak lapuk tetapi masih bisa melindungi pekarangan luas dan
rumah sederhana itu dari hewan-hewan ternak yang ingin masuk. Perlahan
kuparkir motor di depan pintu bagian barat, kudorong pelan-pelan pintu
pagar lalu masuk ke dalamnya. Motor yang kupakai hanyalah motor tua
namun memiliki banyak sejarah perjuangan sejak dari masa jenjang Sekolah
Menengah Pertama (SMP). Motor tua yang tahun ini genap berusia kurang
lebih sebelas tahun, dengan segala kisah suka maupun duka. Motor tua
produk Jepang yang sudah kuanggap bagai kuda perang. Dipakai sebagai
kendaraan menjalankan kegiatan-kegiatan organisatoris dan pergerakan
mahasiswa. Mengantar sang pemilik motor untuk mengisi mentoring, mengisi training,
menghadiri undangan, dan menghadiri forum-forum diskusi pemuda. Aku
berjalan melintasi pekarangan lalu mengucapkan salam sesampainya di
teras rumah itu.
Saat itu masih tahun 2012, amanah sebagai ketua
lembaga dakwah kampus masih berada di pundakku. Kulihat sosok Bapak yang
tak lagi muda dan sudah berumur, rambutnya sudah memutih, matanya agak
sayup namun masih mampu menatap tajam lawan bicaranya. Dari jauh telah
tampak aura kebijaksanaan. Bapak DR. Ir. Hamid Nur, MS namanya. Beliau
berprofesi sebagai guru besar dan anggota dewan senat di Fakultas
Pertanian Universitas Tadulako. Beliau juga menjabat sebagai Ketua
Panitia Hari Besar Islam (PHBI) Universitas Tadulako dan juga salah satu
pembina kami di Lembaga Dakwah Kampus. Beliau duduk di beranda rumahnya
sambil tersenyum ramah kepadaku, mengajakku untuk duduk di sampingnya.
Detik yang beralun-alun tak membuatku gelisah karena aliran
petuah-petuah ini begitu alami. Petuah-petuah khas aktivis pra-reformasi
yang sudah merasakan asam garam dan pahit kecut dinamika kemahasiswaan
di zaman orde baru. Saat di mana kebebasan berekspresi benar-benar
dikekang dengan dalih kesejahteraan bisa terwujud karena ekonomi yang
berdikari. Terlalu tinggi ekspektasi pemerintah di zaman orde baru,
tidak realistis, justru yang terjadi adalah kesenjangan sosial yang
semakin berjarak di tambah lagi kebebasan bisa saja dibungkam dengan
teror ideologi dan teror timah panas.
Petuah-petuah yang
disampaikan oleh orang tua yang sangat kami hormati ini berisi tentang
visi dan misi besar, ada sejuta bahkan tak terhitung jumlah manfaat dari
gagasan ini. Tentang dua hal yang tak bisa dipisahkan seumur hidup,
tentang dua suar cahaya di kampus bumi kaktus yang akan terus
berdampingan mengantar masyarakat intelektual ini menuju puncak
peradaban.
Beberapa saat jantungku langsung berdegup kencang,
darah mengalir semakin cepat, sempat merinding kudengar ide-ide ini.
Begitu banyak ide yang langsung terbersit buru-buru kukumpulkan dan
kuramu dalam satu konsep komprehensif di dalam kepalaku. Saat darahku
semakin banyak terpusat di kepala karena berpikir, menganalisa, dan coba
mengingat setiap untaian kata dari pembina lembaga kami ini. Ide-ide
klasik dan mulai terlupakan oleh sebagian besar aktivis dakwah ini
membuat emosiku mengalir bagai air namun terkontrol, mataku sempat
terbelalak, badanku panas dingin namun bukan gejala demam, adrenalinku
terpacu, tubuhku pun sepertinya gemetaran menahan aliran ide-ide yang
ingin segera diaktualisasikan dalam program kerja dan kerja nyata.
Sesekali kutengok BlackBerry-ku untuk mengecek recent updates dari BlackBerry Messenger. Saat itu aktivis yang punya smartphone masih sangat sedikit, entah harganya terlampau mahal atau masih kurangnya kesadaran dakwah via informasi dan media yang multi ple effect-nya
luar biasa. Nasihat-nasihat dari pembina lembaga kami ini sangat luar
biasa, mengingat beliau juga dulunya adalah seorang aktivis dakwah
kampus juga. Beberapa short message service (SMS) masuk namun
aku tak menghiraukannya. Derasnya aliran gagasan ini membuat kularut di
dalamnya, untuk menganalisa, mengambil hikmah, dan tidak sabar untuk
segera bergerak di lapangan.
Lanjut kisah, karena begitu derasnya
aliran ide emas ini, hatiku dan jiwaku ingin menitikkan air mata, tak
tahu apakah aku berhak gembira, berhak kecewa, atau biasa-biasa saja
mendengarnya. Ternyata aku memang tetap harus menunjukkan ekspresi untuk
menunjukkan antusiasme. Aku tak dapat menyangkalnya, ide inilah yang
kemudian milestone perubahan ketika Rasulullah SAW membangun
contoh peradaban ideal di Kota Madinah Al-Munawarah. Gagasan inilah yang
menjadi kunci kemenangan para panglima-panglima besar Islam ternama di
zamannya sebut saja Khalid bin Walid, Shalahuddin Al-Ayyubi, Sultan
Muhammad Al-Fatih, dan Thariq Bin Ziyad. Para tokoh-tokoh yang tak
pernah memisahkan urusan agama dan negara, urusan Islam dan
pemerintahan, serta menyadari bahwa Dakwah dan Masjid adalah dua sisi
mata uang yang tak bisa dipisahkan juga.
Sejenak, aku kembali mengingat-ingat dan menyegarkan kembali memori daya pikir. Flashback
sejenak pengalaman yang kudapat ketika mengunjungi beberapa Lembaga
Dakwah Kampus yang turut diperhitungkan eksistensinya di tingkat
nasional. Mampu menjadi penggerak unit dakwah lain yang tergabung dalam
Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK). Lembaga Dakwah Kampus
yang mampu menjadi pusat inspirasi dan motivasi gerakan mahasiswa di
daerah manapun. Sebut saja Lembaga Dakwah Kampus Jamaah Nurul Huda
Universitas Sebelas Maret Solo, Lembaga Dakwah Kampus Keluarga Mahasiswa
Islam Institut Teknologi Bandung, dan Lembaga Dakwah Kampus Salam
Universitas Indonesia. Lembaga Dakwah Kampus yang selalu mengurusi
Dakwah sambil mengurusi Masjid, tidak pernah menabrakkan antara urusan
pembenahan internal strukturnya dan pelayanan terhadap jamaah masjid
kampus, selalu mengutamakan urusan dakwah kampus dan masjid kampus tanpa
memihak.
Dengan sepenuh kejujuran dan kacamata yang bebas dari
segala prasangka, hal ini belum di perhatikan di Lembaga Dakwah Kampus
di Kampus Bumi Kaktus ini. Padahal inilah Jalan menuju Tadulako Madani
yang sering dikoar-koarkan tanpa memahami substansi sebenarnya. Dakwah
Kampus dan Masjid Kampus tidak boleh sama sekali terpisah!! Bila ingin
Kampus madani tak hanya sekedar mimpi, camkan hal ini!! Inilah jalan
menuju kampus madani, menuju tadulako madani. Benahi dan beraksi dengan
segera setelah membaca tulisan ini. Dengan perlahan, memperhitungkan dan
mematangkan proses, step by step, slow but sure,
dengan keyakinan dan azzam yang terpancang sambil menatap ke depan
dengan penuh optimisme. Dari hati yang terdalam, serial menuju tadulako
madani ini akan terus berlanjut, sambil terus mencoba menjadi teladan
akan ucapan, karena perjuangan adalah pelaksanaan dari kata-kata yang
terucap maupun tertulis. Sambil terus menantikan dan mencari ghirah
sesungguhnya dari para pejuang dakwah kampus.
0 komentar:
Posting Komentar