19 Mei 2013
Oleh Muhammad Elvandi., Lc
Dua
puluh dua hari Murad II mengepung Konstantinopel dari arah
barat, namun
benteng paling kokoh di zamannya selalu
melumpuhkan para penantang,
sebagaimana ia telah melumpuhkan
pasukan muslim selama delapan abad.
Namun mimpinya tidak
mati, ia inspirasikan ke anaknya Muhammad II hingga
mengalir di
jiwa dan darahnya lalu menjadi tujuan hidupnya.
Tulisan ini bukanlah kisah pertarungan bukan juga pertempuran, tapi
cerita tentang pikiran besar dibalik penaklukan yang kata kuncinya
adalah kurikulum Murad II. Maka cerita ini dimulai dari pengisian
bahan-bahan pikiran.
Murad II memulai dari ibukota ‘Ustmaniyyah, Edirne. Ia desainkan
konsep mesjid dan institusi pendidikan terbaik, mesjid untuk pendidikan
dan institusi pendidikan yang berspirit mesjid. Tidak hanya untuk
Muhammad II tapi juga untuk pemuda se-generasinya, karena kebangkitan
tak ditopang seorang pahlawan tunggal, tapi sebuah generasi
berpengetahuan.
Namun kendala umum anak-anak lingkungan borjuis adalah keangkuhan,
termasuk anaknya sendiri. Karena kelimpahan fasilitas, kekuasaan
keluarga, dan posisi kepemimpinan yang pasti ditangan adalah racun yang
melemahkan sendi-sendi motivasi belajar. Murad II menyelesaikan kendala
ini sebelum fase belajar Muhammad II dimulai. Ahmad bin Ismail al-Kurani
adalah guru pertamanya “Aku dikirim ayahmu untuk pendidikanmu, bahkan jika diperlukan pukulan-pun aku keluarkan kalau kamu gemar membangkang”.
Muhammad II kecil tertawa mendengar gurunya, hingga Sang Guru
benar-benar memukulnya. Pukulan itu yang meruntuhkan tameng kewibawaan
mental istana, hingga Muhammad II mulai memahami makna menjadi orang
biasa, bukan anak raja.
Rombongan ulama besar yang tinggal disana di kerahkan seluruhnya
untuk misi besar penyiapan generasi ini. Seperti murid-murid Syaikh
Tiftazani dan Sayyid Syarif Jurjani yang buku-bukunya sekarang
dipelajari di Universitas Islam sedunia, bahkan ‘Alauddin at-Thusi
langsung mengajar disana. Tapi mereka tidak diminta mendatangi Muhammad
karena ia yang harus berlelah datangi pintu guru-guru itu setiap hari
bersama anak-anak jelata lain.
Pendidikan masa kecil itulah cetakan awal karakter Muhammad II yaitu
mental seorang ilmuan. Para pakar itu tidak tersaji dihalaman istana
yang hijau tapi dicari dan didatangi walau di tanah tertandus. Gairah
belajar lebih penting dari pada konten pengetahuannya sendiri karena ia
yang menjamin kontinuitas. Dan ini keberhasilan didikan Al-Kurani.
Sehingga al-Qur’an dihafalnya cepat sebelum delapan tahun, lalu
ilmu-ilmu syari’at dilahapnya setelah itu.
Bahasa pengantar yang diajarkan pada Muhammad II ada tujuh yaitu:
Arab, Turki, Persia, Yunani, Serbia, Italia, dan Latin. Ketujuh bahasa
ini ia selesaikan di usia remaja. Maka akses Muhammad II untuk mengkaji
semesta ini tidak dibatasi cakrawala budayanya [Turki]. Bahkan zaman
Murad II ini dikenal dengan masa emas terjemahan referensi-referensi
besar Islam kedalam bahasa Turki seperti Tafsir dan Tarikh Thabari,
Tafsir dan Tarikh Ibnu Katsir, referensi-referensi Fiqh, Hadist,
kedokteran, kimia untuk dikonsumsi generasi se-zamannya dan setelahnya.
Tapi keistimewaan tersebut bukan pada kuantitas penguasaan bahasa, karena ia hanyalah tools
pembuka pengetahuan, tapi ketepatan sasaran dalam penggunaan. Maka ilmu
ketiga dalam kurikulum Murad II untuk dipelajari Muhammad II kecil
setelah Qur’an dan Islamologi adalah sejarah. Ia fokus mengkaji
kaidah-kaidah kemenangan dan sebab-sebab kekalahan dalam jejak
perjalanan umat-umat terdahulu. Lalu Matematika, Geografi dan Astronomi.
Perangkat ilmu ini membuatnya rasionalis dan berfikir strategis,
berpandangan global dalam perencanaan tapi detail dalam pelaksanaan.
Kemampuan ini saja sudah membuatnya unggul di antara generasi muda
sezamannya, namun Murad II memberi anaknya perangkat lain, yaitu sastra.
Tak sembarangan, seorang guru besar, Ibnu Tamjid, seorang penyair Arab
dan Persia, juga Syaikh Khairuddin dan Sirajuddin al-Halabi. Kapasitas
sastra berfungsi menghidupkan pikiran-pikiran imajinatifnya. Bahkan
lebih dari itu, Muhammad II memang seorang penyair.
Tibalah bagi Murad II untuk menguji kapasitas pengetahuan Muhammad
II. Di usianya yang ke 14, ia ditunjuk menjadi gubernur Manisa. Siapapun
yang pernah mengunjunginya, akan mengakui kapasitas kepemimpinan
Muhammad II dalam mengelola kota, manajemen administratif, membangun
tentara, mendesain konsep sekolah, dan menghiasi kota dengan seni,
festival kebudayaan, dan pembangunan simbol-simbol kebanggaan sejarah.
Namun kesibukan politik tidak mengakhiri petualangan pengetahuannya.
Mesjid Ibrahim Khoja adalah saksi sejarah seorang pemimpin kota yang
rela duduk merendah di jajaran para ulama terbaik di zamannya, khususnya
Aq Syamsuddin, seorang ilmuan ensiklopedik penemu konsep mikrobat dalam
ilmu kedokteran. Disinilah pengetahuan Muhammad II mendaki puncaknya,
karena landasan teoritis yang dikuasai sejak dulu bertemu dengan ruang
aplikasi untuk kemudian dievaluasi dalam majelis pengetahuan mesjid
Ibrahim Khoja.
Semua perjalanan pengetahuan ini adalah pengantar menuju penaklukan
yang dirancang dengan sangat sistematis oleh Murad II. Ia sendiri
meninggal muda dan bahkan tidak pernah menyaksikan anaknya mempersiapkan
pasukan ‘Ustmaniyyah menuju Konstatinopel. Tapi waktu realisasi itu
tidak lama. Muhammad II menggantikan menjadi sultan di Edirne dalam usia
22 tahun dan hanya dalam waktu dua tahun ia melunasi hadist Nabi yang
selama 8 abad belum berhasil dituntaskan generasi-generasi kuat
terdahulu, baik generasi para penakluk daulah Umawiyyah atau generasi
kemakmuran daulah ‘Abbasiyyah.
Generasi-generasi sebelum Muhammad II al-Fatih mungkin sama kuat
militernya, sama luas wilayah kekuasaanya, sama melimpah aset manusia
dan alamnya, dan sama menggebu obsesi penaklukannya, tapi Murad II
meretas jalan untuk mencetak generasi baru yang belum pernah ada dalam
sejarah Islam. Yaitu generasi yang berpengetahuan tingkat tinggi dengan
pemimpin terbaiknya. Pemimpin terbaik di zaman itu bukan hanya petarung,
atau manajer, atau sastrawan, atau ahli fikh, atau panglima, atau
pemikir strategis, tapi pengetahuannya mencapai tingkat kepakaran nyaris
di semua bidang.
Maka mudah saja, memahami semua kreasi strategi Muhammad al-Fatih
dalam proses penaklukan Konstatinopel, yang belum pernah terfikirkan
generasi sebelumnya, seperti pembuatan meriam raksasa, mengangkat 70
perahu lewat darat sepanjang 3 mil, karena itu semua produk pemikiran
berbasis pengetahuan. Bahkan andai strategi-strategi teknis itu gagal,
generasi al-Fatih tidak akan kehabisan stok strategi dari gudang
pengetahuannya. Bagaimana tidak? Rasulullah sendiri yang
mendeskrisipsikan generasi penakluk itu “Konstatinopel benar-benar
akan dibebaskan, pemimpin terbaik adalah pemimpin yang membebaskannya
dan pasukan terbaik adalah pasukan yang bersamanya”. Dibalik setiap
cerita kemenangan, selalu ada revolusi pengetahuan. Dan Muhammad
al-Fatih beserta generasinya adalah model yang paling sempurna untuk
itu.
Istanbul, 29 April 2013
Majalah Intima Edisi Mei 2013
Muhammad Elvandi, Lc.
0 komentar:
Posting Komentar