‘‘Les avions sont des jouets intéressants mais n’ont aucune utilité militaire’’ [Pesawat terbang memang mainan menarik, tetapi tak ada nilainya secara militer],
kata Marsekal Ferdinand Foch. Itu pernyataan populer tahun 1911. Tapi
mengapa bisa seorang pakar strategi militer Perancis dan komandan Perang
Dunia I mengatakannya? Atau bahkan, mengapa manusia menertawakan ide
Orville dan Wilbur Wright yang melulu gagal saat percobaan pesawat
terbang mula-mula?
Tapi saat Wright bersaudara membuktikan bahwa benda yang lebih berat
dari udara bisa terbang atau saat Amerika mulai massif menggunakannya
dalam perang, barulah tawa lugu berhenti dan pikiran lama berganti.
Karena pada akhirnya realitas hidup manusia tidak akan lebih jauh dari
daerah yang tersorot mercusuar pikirannya. Setiap kali sinar pikiran
mulai menyoroti jengkal-per-jengkal bumi manusia, saat itu terjadi
peristiwa, dan peristiwa itu yang kemudian menjadi realitas hidup
bersama.
Pembebasan diri atas kendala-kendala pikiran; dari hegemoni tradisi,
kesamaran yang mengecohkan, dan terbaliknya timbangan kebenaran adalah
proses pengkondisian pikiran untuk ditanam di tanah yang benar. Sehingga
ia siap tumbuh meninggi. Supaya ia rindang berbuah. Tapi pikiran tidak
dengan sendirinya tumbuh hanya karena ia bertengger di tanah gembur.
Dahan-dahannya tidak otomatis berdaun ide dan berbuah gagasan jika
akarnya kering variasi air pengetahuan.
Berapa banyak dosen yang matang metodologi berhenti berkreasi saat
pangkat meningkat dan kemapanan finasial menjelang. Atau kritikus
sastera atau da’i kondang penyeru reformasi dan pelarang taklid atau
trainer pelatihan berfikir strategis, tapi perangkat berfikir itu
menjadi puncak akhir kreatifitas mereka bahkan satu-satunya sumber
penghasilan hidup mereka? Mercusuar pikirannya tidak pernah menyorot
lahan baru, tidak ada ide baru, kecuali sekedar mengkritisi kondisi dan
ucapan ‘harus ada perubahan’ tanpa rekomendasi materi perubahan. Padahal
metodologi berfikir yang benar adalah perangkat untuk konsumsi
pengetahuan menuju produksi karya peradaban.
Mimpi-mimpi besar selalu membutuhkan pikiran besar. Maka rencana
kerja unggulan seorang pemuda untuk masa depannya bisa sekedar dibuat
memoar semangat masa lalu jika pikirannya tidak mampu memenuhi kapasitas
mimpinya.
Itu rahasia kecepatan belajar Zaid bin Tsâbit muda dan rahasia
kekuatan diplomasi Rasulullah. Zaid ingin meraih posisi kontribusi
tertinggi bersama Rasulullah, apalagi kalau bukan jihad, dan Rasulullah
membutuhkan referensi pengetahuan untuk umat Islam. Maka diberinya misi
lain ‘‘pelajari bahasa orang Yahudi, karena aku tidak yakin dengan (terjemahan) mereka”
perintah beliau. Maka Zaid menyelesaikannya dalam dua pekan. Sehingga
di usianya yang ke-13 ia menjadi penerjemah resmi negara, selalu di
samping Rasulullah dalam diplomasi-diplomasi. Dan Rasulullah tidak
bergantung dengan penerjemah import untuk bahan kebijakannya, karena umatnya mensuplai kebutuhan itu.
Diseluruh sisi kehidupan, generasi sahabat mengalirkan pengetahuan
spesifik yang memuaskan dahaga umat sampai akhir zaman. Ada pakar
tafsir, ‘Abdullah bin ‘Abbâs Sang Tinta umat [Habrul Ummah], pakar Fiqh
Mu’âdz bin Jabal, dalam bacaan al-Qur’an Ibnu Mas’ud masterpiecenya, ada
legenda perang seperti Singa Allah Hamzah [Asadullah] dan Pedang Allah
Khalid bin Walîd [Saifullah], sekretaris Umat Abû ‘Ubaidah al-Jarrâh
[Amînul Ummah], bank hadist Abu Hurairah, simbol kecerdasan Arab ‘Amr
bin al-‘âsh [Dâhiyyatul ‘Arab] dan ada juga Sang Pembeda kebenaran dan
kebatilan Umar [al-Fârûq] dalam kebijakan publik.
Kehidupan generasi sahabat dimulai dari garis terendah pengetahuan
dibanding umat-umat yang sezaman: Roma, Persia, India, Cina, Mesir. Tapi
persepsi mereka tentang sumber belajar tidak terbatas, maka hanya dalam
dua abad umat Islam menjadi kiblat belajar manusia. Hanya ketika mereka
berhenti merambah domain baru pengetahuan, maka mereka berhenti
memimpin.
Cerita kebangkitan setiap umat, adalah cerita perjalanan cakrawala
pikirannya. Dan hasil akhir peradaban mereka adalah akumulasi akhir
cakrawalanya. Sebabnya sederhana, peradaban itu dibangun atas ide-ide
yang konstruktif yang menjawab tantangan zamannya.
Tapi ada persoalan lain disini. Seruan-seruan kebangkitan yang
mengiang-ngiang di sudut-sudut mesjid kampus atau organisasi-organisasi
Islam dengan tawaran ide ‘Islam adalah solusi’ seperti hektaran bunga
segar beragam warna. Ia menginspirasi masyarakat muslim pada awalnya.
Apalagi jika ide itu kontras dengan budaya anti Islam yang diperankan
pemerintah. Tapi bunga-bunga slogan itu mulai layu saat
pengawal-pengawal Islam itu ternyata tidak mampu memberi solusi seperti
slogannya saat diberi kesempatan mengelola masyarakat.
Lalu berputarlah konsolidasi dan seminar evaluasi menyelesaikan
masalah: revitalisasi pembinaan gerakan mahasiswa muslim, penguatan
semangat dakwah, kembali ke jalan pendahulu. Padahal akar kemandegan
ide dan kreasi dakwah itu tidak selalu berhubungan dengan dimensi
semangat, motif, bahkan akidah.
Ide-ide adalah hasil referensi. Disanalah keretakan dasar yang
menggoyang keseluruhan bangunan. Ini persoalan paradigmatik, karena itu
tidak selalu terlihat jelas. Tapi ia terlihat misalnya; saat slogan
‘kembali ke jalan Qur’an’ itu diartikan mencukupkan pada teks Qur’an
sambil meremehkan kajian ilmiah di bidang sosiogi, politik, filsafat
sejarah, metalurgi, tata kota, geologi. Atau jika ada proyek-proyek umat
Islam dalam mengelola kota misalnya: jika rekomendasi para penghafal
Qur’an dan lulusan syar’i diberi porsi besar dalam kebijakan tanpa
analisis memadai rombongan pakar kebijakan publik, doktor transportasi,
guru-guru anthropologi.
Sesempit itu cakrawala umat sesedikit itu juga kemungkinan ide-ide
yang mampu diproduksinya. Padahal science yang multidimensi itulah
bahan-bahan utama pikiran dan ide umat untuk merespon kebutuhan manusia.
Bahkan, cakrawala yang multidimensi tersebut adalah bahan dasar para
pemimpin muslim yang menyejarah sepanjang zaman.
Sumber pengetahuan yang sering dipersepsi non-Qur’ani itu justru
sunatullah kebangkitan setiap umat. Ia adalah syarat yang Allah tetapkan
bagi semua manusia, muslim ataupun bukan. Oleh karena itu ribuan ayat
mengarahkan agar umat Islam yang terlebih dahulu membuka cakrawala
berfikirnya dan mengkaji semua sisi hidup ini sebelum didahului yang
lain. “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) Kami di cakrawala bumi dan dalam diri mereka sendiri, hingga
jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar… ’’, [Fusshilat: 53].
Paris, 3 Desember 2012
Majalah Intima Edisi Desember 2012
Muhammad Elvandi, Lc.
0 komentar:
Posting Komentar