Abdullah Haidir
Riyadh
"Ini Politik, Bung!"
Ungkapan di atas yang cukup dikenal di dunia politik, sering ditangkap
dengan kesan negatif. Kesan yang mudah ditangkap adalah bahwa ungkapan
tersebut merupakan justifikasi (pembenaran) bagi praktek kotor yang
sering dijumpai di dunia ini. Menghalalkan segala cara, menohok teman
seiring, menjilat, ingkar janji, menggadaikan harga diri, KKN dan
semacamnya seakan menjadi sah adanya, atau minimal harap dimaklumi, jika
hal tersebut terjadi di dunia politik.
Sebenarnya kita dapat melihat ungkapan tersebut dalam sudut pandang
berbeda yang lebih mendatangkan pencerahan dan penilaian positif. Yaitu
sudut pandang yang melihat suatu permasalahan berdasarkan
karakteristiknya dan wilayah pembahasan yang menjadi ruang lingkupnya.
Bagaimanapun setiap medan kehidupan ada karakteristik dan cara
pendekatannya masing-masing, tidak terkecuali politik. Namun sayangnya,
dalam kontek politik (praktis) karakteristik tersebut sering dipandang
dari sisi negatifnya saja, seperti stigma-stigma di atas. Padahal ada
karakteristik dalam medan politik yang apabila kita pahami dengan baik
dapat membantu kita memberi penilaian obyektif tentang dunia ini serta
menghindarkan kita dari sikap apriori dan apatisme berlebihan terhadap
'makhluk' yang satu ini.
Di antara karakteristik dunia ini yang perlu dipahami dengan baik adalah
besarnya porsi pembicaraan tentang kekuasaan dan bagaimana meraihnya
untuk mencapai kemaslahatan yang sebesar-besarnya bagi manusia. Secara
psikologis, kita sering terpenjara dengan ungkapan 'Jangan mengejar
jabatan' sehingga abai dengan dahsyatnya dampak positif sebuah kekuasaan
yang digunakan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan umat dan sebaliknya
dahsyatnya kerusakan dari penggunaan kekuasaan yang tidak benar.
Padahal, kalaupun ungkapan tersebut bersumber dari peringatan Rasulullah
saw tentang bahaya sebuah jabatan, hal itu lebih kepada peringatan agar
jangan menyelewengkan jabatan, atau peringatan bagi mereka yang
bermental lemah untuk menduduki sebuah jabatan. Adapun mengusahakan agar
sebuah jabatan dipegang oleh orang yang kita pandang kompeten, apalagi
disaat ada kekhawatiran jatuh ke tangan orang yang tidak
bertanggungjawab, justeru di sinilah setiap muslim dituntut kontribusi
dan perannya. Dan bisa jadi dia merupakan kewajiban.
Hal inilah yang dicontohkan oleh Nabi Yusuf as, sehingga dia menyodorkan
tawarannya kepada pejabata Mesir… "Jadikanlah aku bendahara Negara…"
(QS. Yusuf: 55) dan dampaknya adalah sebuah kerja prestisius yang dapat
menyelamatkan penduduk Mesir dari bahaya kelaparan. Dan beberapa hari
yang lalu, Presiden Mursi baru saja melakukan panen raya di Mesir yang
menghasilkan produk gandum berlipat-lipat di banding penguasa diktator
sebelumnya, dan akan melakukan swasembada daging dengan membuka jalur
langsung dengan Sudan yang memiliki potensi peternakan berlimpah, untuk
meninggalkan ketergantungan dengan negara-negara eksportir pangan dan
daging dari barat...
Bahwa ada orang yang mengeksploitir masalah kekuasaan untuk kepentingan
pribadi, mestinya tidak membuat kita terjebak dalam beban psikologis
seperti itu. Sebab, jika itu langkah yang kita ambil, sama artinya kita
menyerah menghadapi kondisi buruk untuk seterusnya kita serahkan urusan
kita kepada orang lain yang tidak dapat kita harapkan.
Ini bukan masalah pertandingan Barca lawan Real Madrid, yang kita peduli
atau masa bodoh, tidak berbanding lurus dengan realita dalam kehidupan
nyata di tengah kita. Tapi ini adalah masalah yang kita suka atau tidak
suka 'menang kalahnya' akan berdampak langsung bagi kondisi sebuah
masyarakat yang kita berada di dalamnya.
Di sisi lain, tindakan tersebut (abai terhadap masalah politik)
merupakan sebentuk sikap yang mengesankan lari dari tanggungjawab.
Karena setelah sikap itu diambil, tidak ada lagi konsekwensi yang akan
dia tanggung. Lain halnya jika dia mengambil sikap untuk terjun dan
'berjibaku' di dalamnya, penuh dengan berbagai konsekwensi yang akan dia
tanggung (termasuk berbagai tuduhan dan kecaman) dan pada gilirannya
akan mengantarkannya pada sebuah kerja besar yang membutuhkan stamina
besar dengan agenda besar.
Bukankah hal ini yang diisyaratkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya,
"Seorang mu'min yang berbaur dengan masyarakat dan sabar terhadap gangguan mereka, lebih baik dari seorang mu'min yang tidak berbaur dan tidak sabar dengan gangguan mereka." (HR. Tirmizi).
Maka, dalam kontek perpolitikan, apalagi menjelang pemilu tahun depan,
menjadi amat mendesak untuk membicarakan arti sebuah kekuasaan bagi
kemaslahatan umat dan bagaimana kita meraihnya secara konstitusional.
Tentu dengan bingkai dan orientasi yang lurus serta monitor dan evaluasi
yang spartan.
Setelah itu, jika ada orang yang masih mengusik-usik kerja anda dengan
tuduhan 'haus kekuasaan' cukup anda katakan, 'Ini politik, bung!"
0 komentar:
Posting Komentar