Sampai batas tertentu,
mempelajari semesta hingga ke negeri jauh memberi banyak variasi
pengalaman dan sudut pandang kehidupan yang mengembangkan pemikiran.
Itulah salah satu rahasia perjalanan internasional Muhammad kecil ke
Syam dan Yaman yang membuatnya matang di misi kenabian masa mendatang.
Begitupun kisah para perantau ilmu yang arungi ribuan mil mencari cahaya
pengetahuan untuk terangi redupnya kampung halaman.
Namun ekspedisi ke negeri jauh bukan jalan tunggal, karena revolusi
teknologi hari ini merevolusi cara belajar, yaitu eksplorasi mandiri
atau belajar otodidak. Yang pertama unggul karena diri dipaksa
menghadapi tantangan situasi, geografi, dan problem-problem baru yang
bahkan tidak pernah terfikirkan di daerah asal.
Dalam ekspedisi ke dataran jauh lingkungan eksternal memaksa motivasi
agar terus membara, tapi dalam eksplorasi mandiri obsesi internal yang
memberi nafas kerja. Jika dalam ekspedisi jauh situasi-situasi baru yang
menyuplai bahan pengetahuan, dalam eksplorasi mandiri perencanaan yang
menentukan objek pembahasan. Dalam ekspedisi jauh masyarakat baru,
budaya baru memaksa Anda berbahasa baru lalu menggali pengetahuan dengan
bahasa itu, dalam eksplorasi mandiri kursus bahasa jalan pembuka
pemahaman.
Eksplorasi mandiri, adalah jalan para pemuda yang mengalahkan
kesempitan kesempatan. Yaitu mereka yang mengembangkan pikiran tanpa
menunggu waktu ujian, namun mengkonversi cita-cita menjadi motivasi
kerja. Mereka yang tidak mengeluhkan keterbatasan pendidikan formal
namun membuat sendiri kurikulum kehidupan. Mereka yang tidak dibimbing
dosen kelas namun dipandu pergaulan yang cerdas. Mereka yang tidak hidup
di negeri asing tapi memasuki komunitas bahasa asing. Motivasi, guru,
metodologi dan bahasa adalah empat perangkat eksplorasi mandiri, atau
belajar otodidak.
Jika para ulama menganggap sepertiga Islam terangkum dalam hadist, “innamal a’mâlu bin niyyât”
[sunguh, kerja-kerja itu tergantung motifnya], itu bukan hanya karena
urusan ikhlas-tidak ikhlas, tapi juga ia menunjukan makna lain yang sama
dalamnya, yaitu skala motivasi. Seperti tingkat motivasi hijrah
generasi sahabat yang berlevel, yang akhirnya menjadi ukuran kinerja
mereka, begitupun hidup manusia secara umum, mengikuti kaidah sosial
tersebut. Karya manusia yang megah selalu berbahan bakar motivasi yang
melimpah.
Motivasi pemuda pembelajar yang hanya mengejar kerja di perusahaan
minyak tidak sama dengan motivasi pemuda yang bermimpi mengisi
kekosongan umat Islam dari pakar minyak bumi atau nuklir atau
undang-undang internasional atau pakar manuskrip sejarah negeri. Ingatan
akan cita-cita besar itulah yang pada akhirnya terus mengisi
motivasinya untuk mengeksplorasi pengetahuan walau secara mandiri dalam
waktu yang panjang.
Tapi motivasi menggebu itu membutuhkan arah yang benar. Karena ilmu
yang benar dibagun atas fondasi metodologi yang benar. Tidak ada lagi
manusia yang mampu menjadi pakar multidisiplin seperti Ibnu Sina, atau
Aristoteles. Dan waktu yang ada tidak akan cukup untuk membaca semua
buku terbaik yang pernah tercipta. Cita-cita yang jelaslah yang
menentukan satuan-satuan objek yang perlu dikuasai. Bahan pengetahuan
untuk menjadi negarawan tidak sama dengan pakar tata kota, dan
metodologi menjadi pakar nutrisi tidak sama dengan pakar kimia. Namun
semuanya bisa dipelajari secara mandiri.
Ia hanya membutuhkan team pengarah. Ia membutuhkan guru-guru yang
mengarahkan metodologi paling efisien untuk menguasai bidang tertentu.
Guru tidak sama dengan buku, karena mereka telah melewati ranjau
kekeliruan dalam perjalanan menuju kepakaran.
Mereka tidak hanya berdiri di ruang kuliah, tapi di tempat kerja,
tetangga, di mesjid, di pasar, atau bahkan anak-anak muda yang
berkesempatan mendapatkan asupan resmi lembaga-lembaga pendidikan
formal. Mereka adalah orang-orang yang lebih dulu mempelajari bidang
yang kita harapkan dan menyelesaikannya. Karena orang bijak bukan hanya
belajar dari kesalahan pribadi, tapi tidak perlu mengulangi kesalahan
orang lain.
Dalam eksplorasi mandiri, guru tidak berfungsi sebagai pentransfer
detail materi tapi arah umum metodologi. Berupa batasan pemahasan dalam
suatu ilmu, tahapan dan referensi utamanya. Karena pada akhirnya,
metodologi itu seperti pakaian yang mempuyai ukuran. Para pemuda
sendirilah yang menjabarkan metodologi umum itu, lalu membuat rencana
pembelajaran tahunan, hingga akhir usianya. Mereka sendirilah, dan bukan
guru, yang menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan seperti: dalam potongan
usia tertentu, target ilmu apa yang harus selesai? Bagaimana membaginya
dalam jadwal bulanan atau mingguan? Buku apa saja yang perlu dibaca?
Pakar mana saja yang perlu dimintai konsultasi?
Perangkat lain adalah bahasa asing. Dibalik setiap cerita revolusi
pengetahuan, selalu berdiri barisan para pemuda cendekia yang melampaui
ketidakberdayaan bahasa negerinya dalam persaingan pengetahuan yang
paling mutakhir. Seperti generasi awal ilmuwan-ilmuwan Yunani yang
menerjemah pengetahuan Mesir kuno dan Babilonia, kemudian muslim Arab
zaman Daulah Umawiyyah dan Abbasiyyah yang menerjemah pengetahuan
Yunani, lalu bangsa Eropa abad pertengahan yang menterjemah pengetahuan
dari negeri-negeri muslim khususnya dari Andalusia di Spanyol, Sisilia
di Italia dan Istambul di Turki.
Generasi muda yang menguasai bahasa asing itu tidak bertugas
mengadopsi budaya asing yang baru, namun menyerapnya sebagai bahan yang
diolah menjadi solusi yang paling tepat bagi negerinya. Karena seperti
itu siklus sejarah dan alur kebangkitan sebuah umat. Dari murid menjadi
guru, dari pengikut pengetahuan menjadi pemimpin peradaban.
Bahasa asing bukan lagi makhluk asing di Indonesia karena lembaga
kursus seperti gedung-gedung Dubai di tanah tandus. Ia tumbuh dengan
pesat dan menyebar di kota-kota besar. Namun bahasa asing bukan hanya
untuk berdendang dan berbincang apalagi prestise. Ia adalah alat untuk
membuka gembok-gembok pengetahuan, kacamata untuk membaca
literatur-literatur terbaik sepanjang zaman. Bahasa asing, khususnya
Arab, Inggeris, Perancis, Cina, Jepang, bagi pemuda bukan lagi untuk
obrolan harian dalam club bahasa, tapi kebiasaan dalam telaah riset dan
kajian-kajian dalam eksplorasi mandiri. Tanpa bahasa asing, walau dengan
semangat membaja, guru yang membina, dan metodologi yang rapi tertata,
suatu saat akan dirasai, bahwa ruang gerak eksplorasi mandiri terasa
sangat sempit.
Paris, 1 April 2013
Majalah Intima Edisi April 2013
Muhammad Elvandi, Lc.
Sampai batas tertentu,
mempelajari semesta hingga ke negeri jauh memberi banyak variasi
pengalaman dan sudut pandang kehidupan yang mengembangkan pemikiran.
Itulah salah satu rahasia perjalanan internasional Muhammad kecil ke
Syam dan Yaman yang membuatnya matang di misi kenabian masa mendatang.
Begitupun kisah para perantau ilmu yang arungi ribuan mil mencari cahaya
pengetahuan untuk terangi redupnya kampung halaman.
Namun ekspedisi ke negeri jauh bukan jalan tunggal, karena revolusi
teknologi hari ini merevolusi cara belajar, yaitu eksplorasi mandiri
atau belajar otodidak. Yang pertama unggul karena diri dipaksa
menghadapi tantangan situasi, geografi, dan problem-problem baru yang
bahkan tidak pernah terfikirkan di daerah asal.
Dalam ekspedisi ke dataran jauh lingkungan eksternal memaksa motivasi
agar terus membara, tapi dalam eksplorasi mandiri obsesi internal yang
memberi nafas kerja. Jika dalam ekspedisi jauh situasi-situasi baru yang
menyuplai bahan pengetahuan, dalam eksplorasi mandiri perencanaan yang
menentukan objek pembahasan. Dalam ekspedisi jauh masyarakat baru,
budaya baru memaksa Anda berbahasa baru lalu menggali pengetahuan dengan
bahasa itu, dalam eksplorasi mandiri kursus bahasa jalan pembuka
pemahaman.
Eksplorasi mandiri, adalah jalan para pemuda yang mengalahkan
kesempitan kesempatan. Yaitu mereka yang mengembangkan pikiran tanpa
menunggu waktu ujian, namun mengkonversi cita-cita menjadi motivasi
kerja. Mereka yang tidak mengeluhkan keterbatasan pendidikan formal
namun membuat sendiri kurikulum kehidupan. Mereka yang tidak dibimbing
dosen kelas namun dipandu pergaulan yang cerdas. Mereka yang tidak hidup
di negeri asing tapi memasuki komunitas bahasa asing. Motivasi, guru,
metodologi dan bahasa adalah empat perangkat eksplorasi mandiri, atau
belajar otodidak.
Jika para ulama menganggap sepertiga Islam terangkum dalam hadist, “innamal a’mâlu bin niyyât”
[sunguh, kerja-kerja itu tergantung motifnya], itu bukan hanya karena
urusan ikhlas-tidak ikhlas, tapi juga ia menunjukan makna lain yang sama
dalamnya, yaitu skala motivasi. Seperti tingkat motivasi hijrah
generasi sahabat yang berlevel, yang akhirnya menjadi ukuran kinerja
mereka, begitupun hidup manusia secara umum, mengikuti kaidah sosial
tersebut. Karya manusia yang megah selalu berbahan bakar motivasi yang
melimpah.
Motivasi pemuda pembelajar yang hanya mengejar kerja di perusahaan
minyak tidak sama dengan motivasi pemuda yang bermimpi mengisi
kekosongan umat Islam dari pakar minyak bumi atau nuklir atau
undang-undang internasional atau pakar manuskrip sejarah negeri. Ingatan
akan cita-cita besar itulah yang pada akhirnya terus mengisi
motivasinya untuk mengeksplorasi pengetahuan walau secara mandiri dalam
waktu yang panjang.
Tapi motivasi menggebu itu membutuhkan arah yang benar. Karena ilmu
yang benar dibagun atas fondasi metodologi yang benar. Tidak ada lagi
manusia yang mampu menjadi pakar multidisiplin seperti Ibnu Sina, atau
Aristoteles. Dan waktu yang ada tidak akan cukup untuk membaca semua
buku terbaik yang pernah tercipta. Cita-cita yang jelaslah yang
menentukan satuan-satuan objek yang perlu dikuasai. Bahan pengetahuan
untuk menjadi negarawan tidak sama dengan pakar tata kota, dan
metodologi menjadi pakar nutrisi tidak sama dengan pakar kimia. Namun
semuanya bisa dipelajari secara mandiri.
Ia hanya membutuhkan team pengarah. Ia membutuhkan guru-guru yang
mengarahkan metodologi paling efisien untuk menguasai bidang tertentu.
Guru tidak sama dengan buku, karena mereka telah melewati ranjau
kekeliruan dalam perjalanan menuju kepakaran.
Mereka tidak hanya berdiri di ruang kuliah, tapi di tempat kerja,
tetangga, di mesjid, di pasar, atau bahkan anak-anak muda yang
berkesempatan mendapatkan asupan resmi lembaga-lembaga pendidikan
formal. Mereka adalah orang-orang yang lebih dulu mempelajari bidang
yang kita harapkan dan menyelesaikannya. Karena orang bijak bukan hanya
belajar dari kesalahan pribadi, tapi tidak perlu mengulangi kesalahan
orang lain.
Dalam eksplorasi mandiri, guru tidak berfungsi sebagai pentransfer
detail materi tapi arah umum metodologi. Berupa batasan pemahasan dalam
suatu ilmu, tahapan dan referensi utamanya. Karena pada akhirnya,
metodologi itu seperti pakaian yang mempuyai ukuran. Para pemuda
sendirilah yang menjabarkan metodologi umum itu, lalu membuat rencana
pembelajaran tahunan, hingga akhir usianya. Mereka sendirilah, dan bukan
guru, yang menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan seperti: dalam potongan
usia tertentu, target ilmu apa yang harus selesai? Bagaimana membaginya
dalam jadwal bulanan atau mingguan? Buku apa saja yang perlu dibaca?
Pakar mana saja yang perlu dimintai konsultasi?
Perangkat lain adalah bahasa asing. Dibalik setiap cerita revolusi
pengetahuan, selalu berdiri barisan para pemuda cendekia yang melampaui
ketidakberdayaan bahasa negerinya dalam persaingan pengetahuan yang
paling mutakhir. Seperti generasi awal ilmuwan-ilmuwan Yunani yang
menerjemah pengetahuan Mesir kuno dan Babilonia, kemudian muslim Arab
zaman Daulah Umawiyyah dan Abbasiyyah yang menerjemah pengetahuan
Yunani, lalu bangsa Eropa abad pertengahan yang menterjemah pengetahuan
dari negeri-negeri muslim khususnya dari Andalusia di Spanyol, Sisilia
di Italia dan Istambul di Turki.
Generasi muda yang menguasai bahasa asing itu tidak bertugas
mengadopsi budaya asing yang baru, namun menyerapnya sebagai bahan yang
diolah menjadi solusi yang paling tepat bagi negerinya. Karena seperti
itu siklus sejarah dan alur kebangkitan sebuah umat. Dari murid menjadi
guru, dari pengikut pengetahuan menjadi pemimpin peradaban.
Bahasa asing bukan lagi makhluk asing di Indonesia karena lembaga
kursus seperti gedung-gedung Dubai di tanah tandus. Ia tumbuh dengan
pesat dan menyebar di kota-kota besar. Namun bahasa asing bukan hanya
untuk berdendang dan berbincang apalagi prestise. Ia adalah alat untuk
membuka gembok-gembok pengetahuan, kacamata untuk membaca
literatur-literatur terbaik sepanjang zaman. Bahasa asing, khususnya
Arab, Inggeris, Perancis, Cina, Jepang, bagi pemuda bukan lagi untuk
obrolan harian dalam club bahasa, tapi kebiasaan dalam telaah riset dan
kajian-kajian dalam eksplorasi mandiri. Tanpa bahasa asing, walau dengan
semangat membaja, guru yang membina, dan metodologi yang rapi tertata,
suatu saat akan dirasai, bahwa ruang gerak eksplorasi mandiri terasa
sangat sempit.
Paris, 1 April 2013
Majalah Intima Edisi April 2013
Muhammad Elvandi, Lc.
0 komentar:
Posting Komentar