Masih hening sukma-sukma dalam renungan atas keagungan doa Ibrahim
‘Alaihis Salam, ketika Sang Nabi, mentari di hati para sahabatnya itu
kembali bersabda, “Dan aku adalah kabar gembira yang dibawa oleh ‘Isa ‘Alaihis Salam.”
“Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab [yang turun] sebelumku, yaitu Taurat. Dan memberi kabar gembira dengan [datangnya] seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad..” (QS Ash Shaff [61]: 6)
Memang engkau ya RasulaLlah, adalah kabar gembira. Nubuat tentangmu
dikabarkan para Nabi sebelummu dengan berseri-seri penuh kesyukuran.
Mereka menyebut Himdah, Periklitos, Bar Nasha, Adonis, Maitreya, dan semua sanjungan tentang risalah yang akan memenuhi ufuk, dari tempat terbit mentari hingga terbenamnya.
Engkaulah imam bagi mereka dalam shalat yang ditunaikan di Masjidil
Aqsha nan suci, beberapa saat jelang keberangkatanmu bermi’raj ke
haribaan Ilahi. Engkaulah yang disambut Adam, Yahya serta ’Isa, Yusuf,
Idris, Harun, Musa, dan Ibrahim di tiap lapis langit dengan doa yang
mesra. Engkaulah penutup, bagi matarantai terhubungnya bumi dengan
langit.
Segala keutamaanmu adalah kesempurnaan. Dan kerendahan hatimu pada
mereka menjadikan kemuliaan dirimu tak tergapai oleh seorang makhluqpun.
Inilah kami menitikkan airmata, saat Imam Al Bukhari membawakan
riwayat berisi permisalan yang kaubuat tentang dirimu dengan para Nabi
yang memancangkan tapak-tapak Tauhid sebelum engkau dibangkitkan.
“Perumpamaan antara aku dengan para Nabi yang diutus sebelumku”, ungkapmu, “Adalah seperti orang yang membangun sebuah rumah lalu membaguskan dan memperindahnya. Hingga tersisa sebuah labinah, ceruk di mana satu batu-bata belum terpasang pada dinding samping rumah tersebut. Maka orang-orang pun mengelilingi dan mengaguminya seraya berkata, ‘Duh, betapa baiknya jika batu-bata terakhir dipasang pada tempatnya agar rumah ini sempurna.” Akulah batu bata terakhir itu. Akulah penutup para Nabi.”
Inilah kami, ummatmu yang berbahagia dengan kehadiranmu nan rendah hati.
Yang menyebut keakuan hanya sebagai sesudut batu di rumah yang indah.
Yang memandang diri cuma bak sebatang bata penggenap sempurnanya sebuah
bangunan.
“Rabbku mengajariku Adab”, lagi-lagi kau bertawadhu’ bahwa semua
kemuliaanmu adalah karuniaNya, seperti tercantum dalam riwayat At
Tirmidzi, “Maka Dia membaguskan adab-adabku.” Dan adab da’wahmu adalah
kerendahan hati. Sebab kebenaran tak dapat disampaikan oleh insan yang
merasa tinggi. Sebab orang benar yang angkuh, akan merusak rasa hormat
semesta pada kehakikian itu sendiri.
“Dan berilah peringatan pada kaum kerabatmu yang terdekat. Dan rundukkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu dari orang-orang mukmin.” (QS Asy Syu’ara [26]: 214-215)
Inilah engkau yang menjadi jalan hidayah bagi semesta, rahmat dan cahaya
yang menerangi gelap hati, Allah menuntunmu untuk merundukkan diri.
Sebab bagi hati yang merunduk tak ada lagi kerendahan tuk jatuh. Sebab
dalam hati yang merunduk, terbuncah cinta yang utuh. Sebab atas hati
yang merunduk, segala kepongahan akan takluk. Sebab pada hati yang
merunduk, cinta manusia mengalir teruntuk. Sebab terhadap hati yang
merunduk, semesta akan bertepuk.
Tapi segala ketundukan dan kekhusyukan hatimu hanyalah untuk mengundang cintaNya, bukan sorak-sorai manusia.
Maka izinkan kami belajar darimu wahai hati yang merunduk. Bahwa jika
diri merasa besar, kami harus memeriksa hati. Mungkin ia sedang bengkak.
Jika diri merasa suci, kami harus memeriksa jiwa. Mungkin itu putihnya
nanah dari luka nurani. Jika diri merasa tinggi, kami harus memeriksa
batin. Mungkin ia sedang melayang kehilangan pijakan. Dan jika diri
merasa wangi, kami harus memeriksa niat. Mungkin itu asap dari ‘amal
shalih yang hangus dibakar riya’.
Shalawat dan salam bagimu duhai Nabi yang rendah hati; yang terpuji di langit dan bumi.
sepenuh cinta {termuat dalam UMMI, Juli}
salim a. fillah
0 komentar:
Posting Komentar