Ya RasulaLlah”, begitu suatu hari para sahabat bertabik
saat mereka menatap wajah beliau yang purnama, “Ceritakanlah tentang
dirimu.”
Dalam riwayat Ibn Ishaq sebagaimana direkam Ibn Hisyam di Kitab Sirah-nya; kala itu Sang Nabi ShallaLlahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab
dengan beberapa kalimat. Pembukanya adalah senyum, yang disusul senarai
kerendahan hati, “Aku hanyasanya doa yang dimunajatkan Ibrahim, ‘Alaihissalam..”
Doa itu, doa yang berumur 4000 tahun. Ia melintas mengarungi zaman,
dari sejak lembah Makkah yang sunyi hanya dihuni Isma’il dan Ibundanya
hingga saat 360 berhala telah menyesaki Ka’bah di seluruh kelilingnya.
Doa itu, adalah ketulusan seorang moyang untuk anak-cucu. Di dalamnya
terkandung cinta agar orang-orang yang berhimpun bersama keturunannya di
dekat rumah Allah itu terhubung dan terbimbing dari langit oleh
cahayaNya.
“Duhai Rabb kami, dan bangkitkan di antara mereka seorang Rasul
dari kalangan mereka sendiri; yang akan membacakan atas mereka
ayat-ayatMu, mengajarkan Al Kitab dan Al Hikmah, serta mensucikan
mereka. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaqksana.” (QS Al Baqarah [2]: 129)
“Kata adalah sepotong hati”, ujar Abul Hasan ‘Ali An Nadwi, maka doa
adalah setetes nurani. Ia disuling dari niat yang haru dan getar lisan
yang syahdu. Ia dibisikkan dengan tadharru’ dan khufyah;
dengan berrendah-rendah mengakui keagungan Allah dan berlirih-lirih
menginsyafi kelemahan diri. Dalam diri Ibrahim, kekasih Ar Rahman itu,
doanya mencekamkan gigil takut, gerisik harap, dan getar cinta.
Maka dari doa itu kita belajar; bahwa yang terpenting bukan seberapa
cepat sebuah munajat dijawab, melainkan seberapa lama ia memberi
manfaat. Empat ribu tahun itu memang panjang. Tapi bandingkanlah dengan
hadirnya seorang Rasul yang tak hanya diutus untuk penduduk Makkah, tapi
seluruh alam; menjadi rahmat bukan hanya bagi anak-turunnya, tapi
semesta; membacakan ayatNya bukan hanya dalam kata, tapi dengan teladan
cahaya; mensucikan jiwa bukan hanya bagi yang jumpa, tapi juga yang
merindunya; dan mengajarkan Kitab serta Hikmah bukan hanya tuk zamannya,
tapi hingga kiamat tiba.
Dari doa itu kita belajar; bahwa Allah Maha Pemurah; tak dimintaipun
pasti memberi. Maka dalam permohonan kita, bersiaplah menerima berlipat
dari yang kita duga. Allah Maha Tahu; maka berdoa bukanlah memberitahu
Dia akan apa yang kita butuhkan. Doa adalah bincang mesra, agar Dia
ridhai untuk kita segala yang dianugrahkanNya.
Dalam syukur pada 2 orang yang disebut ‘Uswatun Hasanah’ itu, kita teringat shalawat yang diajarkan Muhammad ShallaLlahu ‘Alaihi wa Sallam
dengan rendah hati; mengenang bapak para Nabi yang atas doanyalah
beliau diutus. Maka tiap kebaikan yang dipancarkan Muhammad hingga hari
kiamat, Ibrahim memegang sahamnya.
Dan kita yang rindu pada Sang Nabi untuk disambut di telaganya,
diberi minum dengan tangannya, dinaungi bersamanya, dan beroleh
syafa’atnya; mari tak bosan membaca, “Allahumma shalli ‘ala Muhammad, wa ‘ala Ali Muhammad; kama shallaita ‘ala Ibrahim wa ‘ala Ali Ibrahim..”
sepenuh cinta {dimuat dalam UMMI edisi Juni}
Salim A. Fillah
0 komentar:
Posting Komentar