Boleh jadi produknya
berbungkusnya label halal, tapi gizinya serendah-rendah kualitas. Bisa
juga kubahnya seagung Tajmahal tapi administrasinya tidak lebih rapi
dari kantor kelurahan. Atau bacaan Qur’annya semerdu Ghamidi namun
analisis psikologinya ngawur tak teruji. Atau slogan gerakannya ‘amar
ma’ruf nahyi munkar tapi anak istri pagi sore selalu lapar.
Pada akhirnya itulah tantangan pemuda muslim, institusi, gerakan
Islam, bahkan umat Islam secara umum. Memberi solusi setelah
mengkhutbahkan materi. Antara keagungan nilai Islam dan manusia-manusia
penerjemahnya ke tanah konkrit adalah dua hal yang berbeda. Disini
bertebaran titik-titik retak. Namun ia sering tersembunyi dilapisan
terdalam. Bukan karena pemuda muslim tidak bersemangat atau tidak
berbakat, tapi berserakan persepsi lama yang tidak lagi layak pakai.
Proyek-proyek kerja umat, atau agenda gerakan Islam bisa jadi bersih
dalam motivasi namun lemah dalam takaran ilmiah. Dalam strategi dakwah
di kampus; pembuatan isu koran, situs dan TV; persaingan pemilu antara
proyek perbaikan Islam menghadapi obsesi penumpuk kekayaan; perumusan
sistem pendidikan; perencanaan tata ruang kota dan pembenahan sistem
transportasi; atau bahkan pertarungan peradilan melawan
koruptor-koruptor negara, ia perlu dikelola oleh manusia-manusia yang
tidak hanya rutin salatnya dan suci hatinya, tapi berbasis pengetahuan
dan kepakaran.
Persepsi dikotomis antara ilmu dunia dan ilmu akhirat adalah persepsi
lama dan sekaligus baru. Lama, karena beberapa ulama, bahkan sekelas
al-Ghazâli membagi ilmu menjadi ‘ulûmuddîn [ilmu agama] dan ‘ulûmuddunya
[ilmu duniawi]. Ada yang menyebut ilmu-ilmu syari’ah seperti tafsir,
hadîst, fiqh dengan nama‘ulûmus syarîf [ilmu terhormat], atau ‘ilmu nâfi
[ilmu yang bermanfaat], dan selainnya tidak. Kimia, Geografi, Gizi,
Hukum, Logika, Informatika adalah urusan dunia, tidak berhubungan dengan
akhirat. Karena memang kata ‘dunia’ berintonasi negatif, hina dalam
Qur’an dan Sunnah. ‘‘apakah kamu rela dengan kehidupan dunia dibanding dengan kehidupan akhirat…’’[at-Taubah:38].
Memang seperti itu karakter dunia. Akhirnya, semakin umat Islam itu
berorientasi akhirat, semakin ia jauh dari ilmu pengetahuan yang
dianggap duniawi. Begitu nasib ilmu non-agama saat dipersepsi duniawi.
Tapi persepsi ini juga baru, setidaknya di dua abad terakhir, sejak
umat Islam berhenti memproduk kreasi di periode akhir Daulah
Ustmâniyyah. Ia baru, karena tidak pernah ada contohnya di masa
Rasulullah. Faktanya, generasi sahabat menguasai arsitektur, ekonomi,
politik, pertanian, ekspor-impor, administrasi, militer, linguistik,
sastra, psikologi. Bahkan nabi-nabi adalah para profesional. Adam adalah
petani, Daud pakar industri besi, Nuh arsitek kapal sekelas Titanic,
Idris pakar jahit, Yusuf menteri prestatif, Musa pengelola peternakan,
Zakaria pakar meuble. Apalagi generasi muslim pasca sahabat yang kian
ambisius terhadap ilmu pengetahuan untuk membangun kehidupan mereka.
Maka tidak aneh kalau “Kita tercengang” kata kata François Anatole, seorang penulis Perancis. “saat
mengingat keprimitifan kehidupan bangsa Arab zaman jahiliyyahnya yang
hanya membutuhkan dua abab untuk mencipta lompatan budaya, dibanding
umat masehi yang butuh 1500 tahun untuk membangun peradabannya”.
Generasi pembangun peradaban itu memahami ayat ini “Siapa yang
menuntaskan kerja yang baik, laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami anugerahkan kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami reward mereka dengan sesuatu yang lebih baik
dari kerja-kerja mereka’’[an-Nahl:97]. Mereka meyakini, bahwa jika
mereka beriman, maka apapun karya yang mereka sumbangkan bagi
kemanusiaan, untuk membangun kehidupan manusia yang lebih baik di dunia,
maka ia menanti balasannya dari Allah di akhirat. Sehingga ilmu-ilmu
pembangun kehidupan itu mereka yakini sebagai ‘ulûm hayatiyyah’ [ilmu
kehidupan] yang pasti langsung terkorelasi dengan kehidupan pasca
kematian mereka.
Ini adalah filsafat kehidupan, bukan sekedar motivasi membara untuk
belajar, yang sangat instan kembali dingin setelah pelatihan. Isi kepala
generasi muslim di masa jaya seperti sinar matahari melimpah terangi
timur dan barat dengan ilmu kehidupan tapi berotasi pada pusat yang
benar dengan ilmu syar’iyah atau ilmu-ilmu yang sumber utamanya Qur’an
dan Sunnah.
Ilmu kehidupan adalah nafas umat ini karena, pertama: bahan misi
manusia dibumi ini, yaitu menjadi khalifah, penguasa, pengelola,
pengembang, pembangun peradaban. Oleh karena itu Allah mengajari Adam
semua perangkat itu, ‘‘dan Allah mengajarkan Adam semua nama-nama’’
[al-Baqarah:31]. Ilmu tentang gunung, struktur tumbuhan, kelautan,
karakter manusia, kata Ibnu Katsir. Lalu Adam mempresentasikan semua
science itu di depan malaikat yang tidak tahu sama sekali. Karena memang
malaikat tidak membutuhkannya. Manusialah yang butuh untuk mengelola
hidupnya.
Kedua, jika umat Islam mandul ilmu kehidupan ini,
mandul karya, mandul produksi, maka dari mana ia mendapat suplainya?
Dalam banyak situasi, kebutuhan ini bukan lagi bersifat kerja sama
ekspor-impor, tapi ketergatungan yang akut. Dalam pertahanan misalnya,
apakah ia akan mengimpor senjata dari Amerika? Atau dari Perancis yang
40% produksinya dihujankan ke warga muslim?
Ataukah tanah gembur negara agraris ini tidak mampu mensuplai perut
rakyatnya dengan beras, kentang dan jagung? Atau justru daya kelola yang
tidak mampu? Dan ilmu pengetahuan yang membatu?
Dalam laporan World Intellectual Property Indicators tahun 2012, hak
Paten Cina mencapai 526 ribu, USA 503 ribu, Israel 6 ribu, sedang
Indonesia yang jumlah penduduknya 30 kali Israel angka kreasinya 5 ribu.
Apakah tidak pernah ada juara-juara muda olimpiade science dari
Indonesia yang mengungguli mereka? Ataukah mereka menghilang ditelan
budaya sendiri yang mereduksi potensi? Hidup dalam kenyamanan karir
terjauh dari lapangan tantangan pengetahuan?
Tidak, mereka itu akan kembali. Generasi muda muslimnya akan
merekonstruksi persepsi. Mencicil cakrawala umatnya dengan ilmu
kehidupannya. Perlahan, menerus penuhi kapasitas menuju derasnya
kreativitas, agar ada lagi tokoh sekelas Jawaharlal Nehru kembali
berkata tentang kita “mereka adalah bapak ilmu pengetahuan modern”.
Rotterdam, 31 Desember 2012
Majalah Intima Edisi Januari 2013
Muhammad Elvandi, Lc
0 komentar:
Posting Komentar