Oleh: Fahri Hamzah, SE
Dasar pemikiran dari treatment atau perawatan untuk pecandu Narkoba
dan alkoholik dari zaman kuno sampai baru-baru ini masih diwarnai dengan
kuat oleh apa yang disebut Moral Model, yakni pandangan yang melihat
dan kemudian memperlakukan si pecandu dari sudut pandang moral.
Artinya,
seseorang menjadi pecandu karena kesalahan dari si orang itu, apakah ia
salah pergaulan, salah dalam memutuskan untuk mencoba Narkoba, salah
karena melanggar norma-norma agama, salah karena tidak menghiraukan
nasihat orang tua, melanggar hukum, dan sebagainya.
Tetapi pengalaman dari kegagalan yang berterusan dan penelitian yang
semakin mendalam telah mulai menggeser pandangan ini sehingga di dunia
perawatan mutakhir timbul paradigma baru yang disebut Disease Model,
yaitu bagaimana memperlakukan kondisi kecanduan ini sebagai suatu
penyakit.
Ada beberapa turunan dari konsep Disease Model ini, dari mulai sudut
pandang psikiatri yang melihatnya sebagai kondisi kejiwaan sampai sudut
pandang spiritual yang melihat penyakit ini sebagai perusak hubungan
manusia dengan dunia luarnya. Tetapi yang perlu digarisbawahi adalah
konsep ini tidak melihat si pecandu sebagai seseorang yang bersalah.
Dalam pandangan Moral Model, kesalahan si pecandu ini harus dihukum
sehingga jera dan tidak mengulangi perbuatannya. Dan kemudian dibuatlah
instrumen-instrumen hukum dalam masyarakat untuk menerapkan ini. Disease
Model melihat seseorang mengidap penyakit kecanduan seperti tidak
ubahnya penyakit kanker atau jantung muncul di dalam diri seseorang,
orang itu tidak bisa disalahkan karena penyakitnya, tetapi kemudian akan
ada pantangan-pantangan atau penyesuaian gaya hidup yang harus
dilakukan oleh si pecandu agar supaya penyakit ini tidak kambuh. Jadi,
oleh Disease Model menghukum pecandu malah akan menjadi
konter-produktif, karena kondisi ini tidak ditimbulkan dengan sengaja
olehnya.
Ciri khas penyakit kecanduan adalah ketidakmampuan untuk
mengendalikan penggunaan atau Loss of Control, dan Kronis artinya
kondisi ini akan terus bersama dengannya seperti juga kanker atau
penyakit kronis lainnya seperti jantung atau diabetes. Ini bukan berarti
ia akan kecanduan dan aktif menggunakan narkoba seumur hidupnya, karena
penyakit ini bisa diredam, (bukan dihilangkan).
Selama ia mengatur
hidupnya dengan baik dan mengerjakan pantangan yang ia harus kerjakan,
penyakit ini tidak akan aktif dan ia bisa menjadi warganegara produktif
yang normal seperti umumnya manusia, tetapi begitu ia mulai keluar dari
program pemulihannya, seperti juga orang yang mengidap penyakit jantung
atau diabetes, penyakitnya akan kambuh kembali dan dia akan mencari
narkoba kembali.
Ini yang sering tidak dapat dipahami oleh para pelaku perawatan
narkoba di Indonesia seperti terlihat contohnya di kasus Roy Marten yang
digadang-gadangkan oleh BNN sebagai duta anti-Narkoba dan ternyata
tertangkap menggunakan Shabu2 setelah salah satu program anti narkobanya
bersama BNN. Ini juga menunjukkan skill level dan pengetahuan pelaku
perawatan/rehabilitasi di negara ini masih sangat menyedihkan, termasuk
di level BNN yang mendapatkan begitu banyak dana dari negara.
Perlu dicatat tidak semua orang yang menggunakan narkoba akan terus
secara otomatis mengidap penyakit kecanduan. Sebaliknya, mereka2 yang
secara genetis mempunyai kecenderungan untuk mempunyai kondisi ini akan
menjadi kecanduan, sebaliknya banyak manusia yang bisa menggunakan
berbagai zat kimia dan alkohol tetapi tahu kapan ia harus berhenti.
Itulah sebabnya diperlukan tenaga ahli yang bisa memberikan diagnosa
yang tepat untuk bisa membedakan antara pecandu tulen atau bukan, karena
dengan menghukum si pecandu tulen tanpa adanya proses pemulihan yang
benar, maka setelah selesai masa hukuman kemungkinan besar ia akan
kembali menyalahgunakan Narkoba.
Disampaikan pada Seminar Hari Anti Narkoba Internasional 2011, Jakarta, 6 Juli 2011.
Penulis adalah Wakil Ketua Komisi III DPR RI, F-PKS.
0 komentar:
Posting Komentar