Pikiran yang tercerahkan
mampu melihat kaidah-kaidah teoritis Islam dalam medan praktek yang
kompleks. Tapi kaidah-kaidah itu tidak selalu seterang matahari, kadang
seperti abu-abunya awan mendung. Jika pekatnya mampu dipecah maka warna
pelangi pikiran baru muncul dibaliknya.
Itu bukan karena aturan Islam kontradiktif satu-sama lain, tapi
karena setiap konteks waktu, tempat dan situasi menyelimuti aturan itu.
Generasi sahabat mengetahui detail sebab turun ayat dan sebab arahan
Rasul. Maka saat seorang arab muslim fakir berjalan tertatih sebagai
bukti Zuhd, Umar melarang “sejak kapan Zuhd diartikan lemah dan ibadah dipersepsi menyiksa diri”.
Dalam persoalan mikro, kesamaran itu cukup menumpulkan produktivitas
seorang muslim, apalagi jika ia kesamaran itu mengaburkan nilai-nilai
mendasar kehidupan berjama’ah atau organisasi yang darinya lahir banyak
pemikiran yang salah.
Di pundak generasi muda muslim amanah ini bertengger. Yaitu memecah
kesamaran-kesamaran yang menutupi pandangan umat dari cita-citanya yang
jauh membentang. Berikut ini tidak semua, tapi ibu dari anak-anak
pikiran kontraproduktif yang mengisi kepala umat.
Pertama, kesamaran antara prinsip dan cara. Prinsip tidak akan pernah berubah, ia disebut tsawâbit [stable]. Seperti tujuan risalah Islam, standar rahmatan lil ‘alamîn dalam interaksi sosial, Qur’an dan Sunnah adalah sumber primer. “Tsawâbit itulah yang menjaga eksistensi manusia”
kata Muhammad Quthb. Kontennya selalu “what”. Sedang cara adalah
aplikasinya “how”. Ia akan selalu berubah, bagi tiap generasi, bahkan
satu generasi dalam geopolitik yang berbeda selalu membutuhkan cara yang
berbeda. Ia disebut mutaghayyirât [alternative].
Saat prinsip dan cara tercampur, sering terjadi friksi internal yang
biasanya berujung perpecahan atau kematian institusi. Saat pendiri masih
mengawasi, semua terlihat sesuai jalur. Bahwa gerbong sedang menuju
tujuan yang dicita. Lalu berlalulah generasi perintis hingga digantikan
generasi penterjemah visi dan pereka strategi. Disini ilmu pengetahuan
menjadi ukuran bagi siapapun.
Tapi visi dan bangunan pengetahuan pemimpin kadang tidak selalu
dikuti percepatan pemikiran pengikut. Sehingga manuver dan pendekatan
baru pemimpin sering dipersepsi penyimpangan prinsip organisasi. Dengan
alasan, “dahulu kami tidak seperti itu”. Ujian ini tidak hanya
bagi kaum tua, bahkan lebih berat bagi pemuda, karena heroisme corak
perjuangan masa lalu ingin juga mereka rasai di masa sekarang.
Kesamaran pemikiran Ini pada akhirnya menjadi penyumbat kreativitas
berfikir umat dalam proyek-proyek besarnya. Dan inilah jawaban atas
perpecahan banyak organisasi Islam di dunia, dari jama’ah, partai
politik, LSM, bahkan para penguasa muslim sepanjang sejarah. Persis
seperti pengikut Erbakan yang masih sulit menerima manuver-manuver baru
Erdogan dalam pemerintahan Turki, seraya mengatakan “tidak lagi sama dengan prinsip dakwah”.
Kedua, kesamaran antara waktu mengisi dan memberi.
Proses pengisian keimanan pemuda, pembinaan karakternya dan pematangan
kepemimpinannya sering diwadahi oleh komunitas yang disebut Rohis, DKM,
LDK, atau majelis Tarbiyyah. Tidak ada komunitas sosial yang lebih
hangat dari mereka, sampai-sampai kehangatan selimut forum ini
menidurkannya dari masyarakat, hingga ia nyenyak di lembah pengucilan.
Ide tentang agenda-agenda besar Islam hanya bisa dipikul oleh
manusia-manusia matang masih sering tergambar dalam corak gerak insitusi
Islam. Maka proyek perbaikan hanya untuk mereka yang telah meraup
energi keimanan di forum itu berbelas tahun. Walau memang ada
tugas-tugas khusus untuk orang khusus, tapi ia jangan sampai menjadi
penyekat kontribusi.
Maka tidak heran jika di mesjid-mesjid sering ditemui pemuda kuat,
ikhlas, saleh tapi tidak menulis, tidak berdiskusi dengan masyarakat,
tidak berdebat, tidak berargumen, tidak ceramah, tidak membina, tidak
memikul agenda-agenda sosial yang serius dan berat. Karena persepsi amal
kebaikan itu sebatas kehadiran di forum-forum keimanan di tengah
lingkaran kecil saudara-saudaranya. Kemudian berkata “Iman kami belum cukup untuk merubah masyarakat”.
Keluarlah wahai pemuda Islam! Keluarlah dan dengar derita rakyat yang
menyeru-nyeru. Bawalah ajaran cinta Muhammad ke ramainya jalan-jalan,
ke rapat-rapat panjang pemegang kebijakan, ke ruang-ruang ber-AC-kan
asap rokok yang beterbangan, ke rumah yang bertalu-talukan gendang dan
musik jalanan. Karena saat memberi kamu mengisi. Tujuan pembinaanmu
bukan agar kamu menyepi dalam mihrab duamu tapi agar kamu berkontribusi.
”Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang
mengerjakan haji dan mengurus Masjidil haram kamu samakan dengan
orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta bejihad di
jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada kaum yang zalim” [at-Taubah: 19].
Ketiga, kesamaran antara penyederhanaan dan dramatisasi.
Ini adalah kendala berfikir lain yang serius. Di saat problematika yang
kompleks menyerbu semua pintu kehidupan umat, bersaut-sautan seruan
penyederhanaan yang berlebihan, seperti ”kembali ke ruhiyyah dan hati”.
Kajian strategis yang ilmiah tentang sebab-sebab kemunduran, lalu usaha
menyiapkan platform lengkap solusi keumatan belum menjadi tradisi
berfikir pemuda muslim.
Penyederhanaan itu sangat terlihat dalam institusi Islam yang
menghadapi kendala akut soliditas organisasi. Panah kesalahan selalu
melesat pada area ”karena cinta dunia, karena tidak ikhlas”.
Lalu mengapa institusi-institusi raksasa Internasional di barat, yang
jelas pengelolanya cinta dunia, bahkan materialis, dan pasti tidak
ikhlas, mampu bertahan dan menyelesaikan semua konflik internalnya
bahkan menghegemoni dunia?
Itu karena ada mekanisme sistematis dan ilmiah dalam menghadapi semua
tantangan kehidupan. Oleh karena itu jika sejarah umat-umat itu dikaji,
kata Hasan al-Banna ”semuanya mengikuti sistem yang jelas langkah-langkahnya”.
Bahkan perumusan solusi yang sistematis itu bagian dari tradisi
berfikir nabawi dalam setiap strategi dakwahnya. Jika persoalan itu
rumit maka solusi perlu mengimbangi kerumitan itu bukan sekedar ’kembali
bersihkan hati’.
Bagi sebagian lain, kesamaran itu mengantarnya pada dramatisasi yang
mematikan harapan. Semua tantangan yang dihadapi umat selalu dipersepsi
sebagai konspirasi global yang sempurna dan terpusat seperti processor
pengendali sistem. Maka semua kontribusi perbaikan dianggapnya lilin di
tengah pekat malam di gurun. Konspirasi memang ada, tapi ia bukan tuhan
yang berkuasa penuh. ”mereka bermakar dan Allah pun bermakar, padahal Allah-lah sebaik-baik pembuat makar” [al-Anfal:30].
Sebuah bangsa yang para pemudanya mampu membuka pandangan umatnya
melewati pekatnya kesamaran pikiran maka mereka berbakat memikul bendera
kebangkitan dari sana. Karena bangsa yang kuat memegang prinsip dan
cerdas berkreasi dalam cara akan selalu mempunyai arah yang jelas.
Bangsa sabar mengisi kapasitas pemudanya dan gesit dalam
mendistribusikan tenaganya akan mempunyai kontibusi yang nyata. Dan
bangsa yang sistematis dalam merumuskan solusi atas setiap tantangan
hidupnya akan mempunyai daya semangat untuk terus bekerja.
Feurs, Perancis, 30 September 2012
Majalah Intima Edisi Oktober 2012
Muhammad Elvandi, Lc.
0 komentar:
Posting Komentar