6 Februari 2007
Oleh: DR. Amir Faishol Fath
dakwatuna.com – Kita hidup di zaman yang mengajarkan
pergaulan bebas, menonjolkan aurat, dan mempertontonkan perzinaan. Bila
mereka berani kepada Allah dengan melakukan tindakan yang tidak hanya
merusak diri, melainkan juga menghancurkan institusi rumah tangga,
mengapa kita takut untuk mentaati Allah dengan membangun rumah tangga
yang kokoh? Bila kita beralasan ada resiko yang harus dipikul setelah
menikah, bukankah perzinaan juga punya segudang resiko? Bahkan resikonya
lebih besar. Bukankankah melajang ada juga resikonya?
Hidup,
bagaimanapun adalah sebuah resiko. Mati pun resiko. Yang tidak ada
resikonya adalah bahwa kita tidak dilahirkan ke dunia. Tetapi kalau kita
berpikir bagaimana lari dari resiko, itu pemecahan yang mustahil. Allah
tidak pernah mengajarkan kita agar mencari pemecahan yang mustahil.
Bila ternyata segala sesuatu ada resikonya, maksiat maupun taat, mengapa
kita tidak segera melangkah kepada sikap yang resikonya lebih baik?
Sudah barang tentu bahwa resiko pernikahan lebih baik daripada resiko
pergaulan bebas (baca: zina). Karenanya Allah mengajarkan pernikahan dan
menolak perzinaan.
Saya sering ngobrol, dengan kawaan-kawan yang
masih melajang, padahal ia mampu untuk menikah. Setelah saya kejar
alasannya, ternyata semua alasan itu tidak berpijak pada fondasi yang
kuat: ada yang beralasan untuk mengumpulkan bekal terlebih dahulu, ada
yang beralasan untuk mencari ilmu dulu, dan lain sebagainya. Berikut ini
kita akan mengulas mengenai mengapa kita harus segera menikah?
Sekaligus di celah pembahasan saya akan menjawab atas beberapa alasan
yang pernah mereka kemukakan untuk membenarkan sikap.
Menikah itu Fitrah
Allah Taala menegakkan sunnah-Nya di alam ini atas dasar berpasang-pasangan. Wa min kulli syai’in khalaqnaa zaujain,
dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan (Adz-Dzariyaat:
49). Ada siang ada malam, ada laki ada perempuan. Masing-masing
memerankan fungsinya sesuai dengan tujuan utama yang telah Allah
rencanakan. Tidak ada dari sunnah tersebut yang Allah ubah, kapanpun dan
di manapun berada. Walan tajida lisunnatillah tabdilla, dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah (Al-Ahzab: 62). Walan tajida lisunnatillah tahwiila, dan kamu tidak akan mendapati perubahan bagi ketetapan kami itu. (Al-Isra: 77)
Dengan
melanggar sunnah itu berarti kita telah meletakkan diri pada posisi
bahaya. Karena tidak mungkin Allah meletakkan sebuah sunnah tanpa ada
kesatuan dan keterkaitan dengan sIstem lainnya yang bekerja secara
sempurna secara universal.
Manusia dengan kecanggihan ilmu dan
peradabannya yang dicapai, tidak akan pernah mampu menggantikan sunnah
ini dengan cara lain yang dikarang otaknya sendiri. Mengapa? Sebab,
Allah swt. telah membekali masing-masing manusia dengan fitrah yang
sejalan dengan sunnah tersebut. Melanggar sunnah artinya menentang
fitrahnya sendiri.
Bila sikap menentang fitrah ini terus-menerus
dilakukan, maka yang akan menanggung resikonya adalah manusia itu
sendiri. Secara kasat mata, di antara yang paling tampak dari rahasia
sunnah berpasang-pasangan ini adalah untuk menjaga keberlangsungan hidup
manusia dari masa ke masa sampai titik waktu yang telah Allah tentukan.
Bila institusi pernikahan dihilangkan, bisa dipastikan bahwa mansuia
telah musnah sejak ratusan abad yang silam.
Mungkin ada yang
nyeletuk, tapi kalau hanya untuk mempertahankan keturunan tidak mesti
dengan cara menikah. Dengan pergaulan bebas pun bisa. Anda bisa berkata
demikian. Tetapi ada sisi lain dari fitrah yang juga Allah berikan
kepada masing-masing manusia, yaitu: cinta dan kasih sayang, mawaddah wa rahmah.
Kedua sisi fitrah ini tidak akan pernah mungkin tercapai dengan hanya
semata pergaulan bebas. Melainkan harus diikat dengan tali yang Allah
ajarkan, yaitu pernikahan. Karena itulah Allah memerintahkan
agar kita menikah. Sebab itulah yang paling tepat menurut Allah dalam
memenuhi tuntutan fitrah tersebut. Tentu tidak ada bimbingan yang lebih
sempurna dan membahagiakan lebih dari daripada bimbingan Allah.
Allah berfirman fankihuu,
dengan kata perintah. Ini menunjukan pentingnya hakikat pernikahan bagi
manusia. Jika membahayakan, tidak mungkin Allah perintahkan. Malah yang
Allah larang adalah perzinaan. Walaa taqrabuzzina, dan
janganlah kamu mendekati zina (Al-Israa: 32). Ini menegaskan bahwa
setiap yang mendekatkan kepada perzinaan adalah haram, apalagi
melakukannya. Mengapa? Sebab Allah menginginkan agar manusia hidup
bahagia, aman, dan sentosa sesuai dengan fitrahnya.
Mendekati zina
dengan cara apapun, adalah proses penggerogotan terhadap fitrah. Dan
sudah terbukti bahwa pergaulan bebas telah melahirkan banyak bencana.
Tidak saja pada hancurnya harga diri sebagai manusia, melainkan juga
hancurnya kemanusiaan itu sendiri. Tidak jarang kasus seorang ibu yang
membuang janinnya ke selokan, ke tong sampah, bahkan dengan sengaja
membunuhnya, hanya karena merasa malu menggendong anaknya dari hasil
zina.
Perhatikan bagaimanan akibat yang harus diterima ketika
institusi pernikahan sebagai fitrah diabaikan. Bisa dibayangkan apa
akibat yang akan terjadi jika semua manusia melakukan cara yang sama.
Ustadz Fuad Shaleh dalam bukunya liman yuridduz zawaj
mengatakan, “Orang yang hidup melajang biasanya sering tidak normal:
baik cara berpikir, impian, dan sikapnya. Ia mudah terpedaya oleh
syetan, lebih dari mereka yang telah menikah.”
Menikah Itu Ibadah
Dalam
surat Ar-Rum: 21, Allah menyebutkan pentingnya mempertahankan hakikat
pernikahan dengan sederet bukti-bukti kekuasaan-Nya di alam semesta. Ini
menunjukkan bahwa dengan menikah kita telah menegakkan satu sisi dari
bukti kekusaan Allah swt. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah saw. lebih
menguatkan makna pernikahan sebagai ibadah, “Bila seorang menikah
berarti ia telah melengkapi separuh dari agamanya, maka hendaknya ia
bertakwa kepada Allah pada paruh yang tersisa.” (HR. Baihaqi, hadits Hasan)
Belum
lagi dari sisi ibadah sosial. Dimana sebelum menikah kita lebih sibuk
dengan dirinya, tapi setelah menikah kita bisa saling melengkapi,
mendidik istri dan anak. Semua itu merupakan lapangan pahala yang tak
terhingga. Bahkan dengan menikah, seseorang akan lebih terjaga moralnya
dari hal-hal yang mendekati perzinaan. Alquran menyebut orang yang telah
menikah dengan istilah muhshan atau muhshanah (orang
yang terbentengi). Istilah ini sangat kuat dan menggambarkan bahwa
kepribadian orang yang telah menikah lebih terjaga dari dosa daripada
mereka yang belum menikah.
Bila ternyata pernikahan menunjukkan
bukti kekuasan Allah, membantu tercapainya sifat takwa. dan menjaga diri
dari tindakan amoral, maka tidak bisa dipungkiri bahwa pernikahan
merupakan salah satu ibadah yang tidak kalah pahalanya dengan
ibadah-ibadah lainnya. Jika ternyata Anda setiap hari bisa menegakkan
ibadah shalat, dengan tenang tanpa merasa terbebani, mengapa Anda merasa
berat dan selalu menunda untuk menegakkan ibadah pernikahan, wong ini
ibadah dan itupun juga ibadah.
Pernikahan dan Penghasilan
Seringkali
saya mendapatkan seorang jejaka yang sudah tiba waktu menikah, jika
ditanya mengapa tidak menikah, ia menjawab belum mempunyai penghasilan
yang cukup. Padahal waktu itu ia sudah bekerja. Bahkan ia mampu membeli
motor dan HP. Tidak sedikit dari mereka yang mempunyai mobil. Setiap
hari ia harus memengeluarkan biaya yang cukup besar dari penggunakan HP,
motor, dan mobil tersebut. Bila setiap orang berpikir demikian apa yang
akan terjadi pada kehidupan manusia?
Saya belum pernah menemukan
sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. melarang seorang
sahabatnya yang ingin menikah karena tidak punya penghasilan. Bahkan
dalam beberapa riwayat yang pernah saya baca, Rasulullah saw. bila
didatangi seorang sahabatnya yang ingin menikah, ia tidak menanyakan
berapa penghasilan yang diperoleh perbulan, melainkan apa yang ia punya
untuk dijadikan mahar. Mungkin ia mempunyai cincin besi? Jika tidak,
mungkin ada pakaiannya yang lebih? Jika tidak, malah ada yang hanya
diajarkan agar membayar maharnya dengan menghafal sebagian surat
Alquran.
Apa yang tergambar dari kenyatan tersebut adalah bahwa
Rasulullah saw. tidak ingin menjadikan pernikahan sebagai masalah,
melainkan sebagai pemecah persoalan. Bahwa pernikahan bukan sebuah
beban, melainkan tuntutan fitrah yang harus dipenuhi. Seperti kebutuhan
Anda terhadap makan, manusia juga butuh untuk menikah. Memang ada
sebagian ulama yang tidak menikah sampai akhir hayatnya seperti yang
terkumpul dalam buku Al-ulamaul uzzab alladziina aatsarul ilma ‘alaz zawaj.
Tetapi, itu bukan untuk diikuti semua orang. Itu adalah perkecualian.
Sebab, Rasulullah saw. pernah melarang seorang sahabatanya yang ingin
hanya beribadah tanpa menikah, lalu menegaskan bahwa ia juga beribadah
tetapi ia juga menikah. Di sini jelas sekali bagaimana Rasulullah saw.
selalu menuntun kita agar berjalan dengan fitrah yang telah Allah
bekalkan tanpa merasakan beban sedikit pun.
Memang masalah
penghasilan hampir selalu menghantui setiap para jejaka muda maupun tua
dalam memasuki wilayah pernikahan. Sebab yang terbayang bagi mereka
ketika menikah adalah keharusan membangun rumah, memiliki kendaraan,
mendidik anak, dan seterusnya di mana itu semua menuntut biaya yang
tidak sedikit. Tetapi kenyataannya telah terbukti dalam sejarah hidup
manusia sejak ratusan tahun yang lalu bahwa banyak dari mereka yang
menikah sambil mencari nafkah. Artinya, tidak dengan memapankan diri
secara ekonomi terlebih dahulu. Dan ternyata mereka bisa hidup dan
beranak-pinak. Dengan demikian kemapanan ekonomi bukan persyaratan
utama bagi sesorang untuk memasuki dunia pernikahan.
Mengapa?
Sebab, ada pintu-pintu rezeki yang Allah sediakan setelah pernikahan.
Artinya, untuk meraih jatah rezki tersebut pintu masuknya menikah dulu.
Jika tidak, rezki itu tidak akan cair. Inilah pengertian ayat iyyakunu fuqara yughnihimullahu min fadhlihi wallahu waasi’un aliim,
jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan
Allah Maha luas lagi Maha mengetahui (An-Nur: 32). Ini adalah jaminan
langsung dari Allah, agar masalah penghasilan tidak dikaitkan dengan
pernikahan. Artinya, masalah rezki satu hal dan pernikahan hal yang lain
lagi.
Abu Bakar Ash-Shidiq ketika menafsirkan ayat itu berkata,
“Taatilah Allah dengan menikah. Allah akan memenuhi janjinya dengan
memberimu kekayaan yang cukup.” Al-Qurthubi berkata, “Ini adalah janji
Allah untuk memberikan kekayaan bagi mereka yang menikah untuk mencapai
ridha Allah, dan menjaga diri dari kemaksiatan.” (lihat Tafsirul
Quthubi, Al Jami’ liahkamil Qur’an juz 12 hal. 160, Darul Kutubil Ilmiah, Beirut).
Rasulullah
saw. pernah mendorong seorang sahabatnya dengan berkata, “Menikahlah
dengan penuh keyakinan kepada Allah dan harapan akan ridhaNya, Allah
pasti akan membantu dan memberkahi.” (HR. Thabarni). Dalam hadits lain
disebutkan: Tiga hal yang pasti Allah bantu, di antaranya: “Orang
menikah untuk menjaga diri dari kemaksiatan.” (HR. Turmudzi dan Nasa’i)
Imam
Thawus pernah berkata kepada Ibrahim bin Maysarah, “Menikahlah segera,
atau saya akan mengulang perkataan Umar Bin Khattab kepada Abu Zawaid:
Tidak ada yang menghalangimu dari pernikahaan kecuali kelemahanmu atau
perbuatan maksiat.” (lihat Siyar A’lamun Nubala’ oleh Imam Adz
Dzahaby). Ini semua secara makna menguatkan pengertian ayat di atas. Di
mana Allah tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya yang bertakwa kepada
Allah dengan membangun pernikahan.
Persoalannya sekarangan,
mengapa banyak orang berkeluarga yang hidup melarat? Kenyataan ini
mungkin membuat banyak jejaka berpikir dua kali untuk menikah. Dalam
masalah nasib kita tidak bisa mengeneralisir apa yang terjadi pada
sebagian orang. Sebab, masing-masing ada garis nasibnya. Kalau itu
pertanyaanya, kita juga bisa bertanya: mengapa Anda bertanya demikian?
Bagaimana kalau Anda melihat fakta yang lain lagi bahwa banyak orang
yang tadinya melarat dan ternyata setelah menikah hidupnya lebih makmur?
Dari sini bahwa pernikahan bukan hambatan, dan kemapanan penghasilan
bukan sebuah persyaratan utama.
Yang paling penting adalah
kesiapan mental dan kesungguhan untuk memikul tanggung jawab tersebut
secara maksimal. Saya yakin bahwa setiap perbuatan ada tanggung
jawabnya. Berzina pun bukan berarti setelah itu selesai dan bebas
tanggungjawab. Melainkan setelah itu ia harus memikul beban berat akibat
kemaksiatan dan perzinaan. Kalau tidak harus mengasuh anak zina, ia
harus menanggung dosa zina. Keduanya tanggung jawab yang kalau
ditimbang-timbang, tidak kalah beratnya dengan tanggung jawab
pernikahan.
Bahkan tanggung jawab menikah jauh lebih ringan,
karena masing-masing dari suami istri saling melengkapi dan saling
menopang. Ditambah lagi bahwa masing-masing ada jatah rezekinya yang
Allah sediakan. Tidak jarang seorang suami yang bisa keluar dari
kesulitan ekonomi karena jatah rezeki seorang istri. Bahkan ada sebuah
rumah tangga yang jatah rezekinya ditopang oleh anaknya. Perhatikan
bagaimana keberkahan pernikahan yang tidak hanya saling menopang dalam
mentaati Allah, melainkan juga dalam sisi ekonomi.
Pernikahan dan Menuntut Ilmu
Seorang
kawan pernah mengatakan, ia ingin mencari ilmu terlebih dahulu, baru
setelah itu menikah. Anehnya, ia tidak habis-habis mencari ilmu. Hampir
semua universitas ia cicipi. Usianya sudah begitu lanjut. Bila ditanya
kapan menikah, ia menjawab: saya belum selesai mencari ilmu.
Ada sebuah pepatah diucapkan para ulama dalam hal mencari ilmu: lau anffaqta kullaha lan tashila illa ilaa ba’dhiha,
seandainya kau infakkan semua usiamu –untuk mencari ilmu–, kau tidak
akan mendapatkannya kecuali hanya sebagiannya. Dunia ilmu sangat luas.
Seumur hidup kita tidak akan pernah mampu menelusuri semua ilmu.
Sementara menikah adalah tuntutan fitrah. Karenanya, tidak ada aturan
dalam Islam agar kita mencari ilmu dulu baru setelah itu menikah.
Banyak
para ulama yang menikah juga mencari ilmu. Benar, hubungan mencari ilmu
di sini sangat berkait erat dengan penghasilan. Tetapi banyak sarjana
yang telah menyelesaikan program studinya bahkan ada yang sudah doktor
atau profesor, tetapi masih juga pengangguran dan belum mendapatkan
pekerjaan. Artinya, menyelesaikan periode studi juga bukan jaminan untuk
mendapatkan penghasilan. Sementara pernikahan selalu mendesak tanpa
semuanya itu. Di dalam Alquran maupun Sunnah, tidak ada tuntunan
keharusan menunda pernikahan demi mencari ilmu atau mencari harta.
Bahkan, banyak ayat dan hadits berupa panggilan untuk segera menikah,
terlepas apakah kita sedang mencari ilmu atau belum mempunyai
penghasilan.
Berbagai pengalaman membuktikan bahwa menikah tidak
menghalangi seorang dalam mencari ilmu. Banyak sarjana yang berhasil
dalam mencari ilmu sambil menikah. Begitu juga banyak yang gagal.
Artinya, semua itu tergantung kemauan orangnya. Bila ia menikah dan
tetap berkemauan tinggi untuk mencari ilmu, ia akan berhasil.
Sebaliknya, jika setelah menikah kemauannya mencari ilmu melemah, ia
gagal. Pada intinya, pernikahan adalah bagian dari kehidupan yang harus
juga mendapatkan porsinya. Perjuangan seseorang akan lebih bermakna
ketika ia berjuang juga menegakkan rumah tungga yang Islami.
Rasulullah
saw. telah memberikan contoh yang sangat mengagumkan dalam masalah
pernikahan. Beliau menikah dengan sembilan istri. Padahal beliau secara
ekonmi bukan seorang raja atau konglomerat. Tetapi semua itu Rasulullah
jalani dengan tenang dan tidak membuat tugas-tugas kerasulannya
terbengkalai. Suatu indikasi bahwa pernikahan bukan hal yang harus
dipermasalahkan, melainkan harus dipenuhi. Artinya, seorang yang cerdas
sebenarnya tidak perlu didorong untuk menikah, sebab Allah telah
menciptakan gelora fitrah yang luar biasa dalam dirinya. Dan itu tidak
bisa dipungkiri. Masing-masing orang lebih tahu dari orang lain mengenai
gelora ini. Dan ia sendiri yang menanggung perih dan kegelisahan gelora
ini jika ia terus ditahan-tahan.
Untuk memenuhi tuntutan gelora itu, tidak mesti harus selesai study dulu. Itu bisa ia lakukan sambil berjalan. Kalaupun Anda ingin mengambil langkah seperti para ulama yang tidak menikah (uzzab)
demi ilmu, silahkan saja. Tetapi apakah kualitas ilmu Anda benar-benar
seperti para ulama itu? Jika tidak, Anda telah rugi dua kali: ilmu tidak
maksimal, menikah juga tidak. Bila para ulama uzzab karena
saking sibuknya dengan ilmu sampai tidak sempat menikah, apakah Anda
telah mencapai kesibukan para ulama itu sehingga Anda tidak ada waktu
untuk menikah? Dari sini jika benar-benar ingin ikut jejak ulama uzzab, yang diikuti jangan hanya tidak menikahnya, melainkan tingkat pencapaian ilmunya juga. Agar seimbang.
Kesimpulan
Sebenarnya
pernikahan bukan masalah. Menikah adalah jenjang yang harus dilalui
dalam kondisi apapun dan bagaimanapun. Ia adalah sunnatullah yang tidak
mungkin diganti dengan cara apapun. Bila Rasulullah menganjurkan agar
berpuasa, itu hanyalah solusi sementara, ketika kondisi memang
benar-benar tidak memungkinkan. Tetapi dalam kondisi normal, sebenarnya
tidak ada alasan yang bisa dijadikan pijakan untuk menunda pernikahan.
Agar
pernikahan menjadi solusi alternatif, mari kita pindah dari pengertian
“pernikahan sebagai beban” ke “pernikahan sebagai ibadah”. Seperti kita
merasa senang menegakkan shalat saat tiba waktunya dan menjalankan puasa
saat tiba Ramadhan, kita juga seharusnya merasa senang memasuki dunia
pernikahan saat tiba waktunya dengan tanpa beban. Apapun kondisi ekonomi
kita, bila keharusan menikah telah tiba “jalani saja dengan jiwa
tawakkal kepada Allah”. Sudah terbukti, orang-orang bisa menikah sambil
mencari nafkah. Allah tidak akan pernah membiarkan hambaNya yang
berjuang di jalanNya untuk membangun rumah tangga sejati.
Perhatikan
mereka yang suka berbuat maksiat atau berzina. Mereka begitu berani
mengerjakan itu semua padahal perbuatan itu tidak hanya dibenci banyak
manusia, melainkan lebih dari itu dibenci Allah. Bahkan Allah mengancam
mereka dengan siksaan yang pedih. Melihat kenyataan ini, seharusnya kita
lebih berani berlomba menegakkan pernikahan, untuk mengimbangi mereka.
Terlebih Allah menjanjikan kekayaan suatu jaminan yang luar biasa bagi
mereka yang bertakwa kepada-Nya dengan membangun pernikahan. Wallahu a’lam bishshawab. <>
0 komentar:
Posting Komentar