Dengan
melakukan istiqra` (penelahaan induktif) terhadap hukum-hukum syara’
yang menyangkut masalah ekonomi, akan dapat disimpulkan bahwa Sistem
Ekonomi (an-nizham al-iqtishady) dalam Islam mencakup pembahasan yang
menjelaskan bagaimana memperoleh harta kekayaan (barang dan jasa),
bagaimana mengelola (mengkonsumsi dan mengembangkan) harta tersebut,
serta bagaimana mendistribusikan kekayaan yang ada. Sehingga ketika
membahas ekonomi, Islam hanya membahas masalah bagaimana cara memperoleh
kepemilikan harta kekayaan, bagaimana mengelola kepemilikan harta
kekayaan yang telah dimiliki, serta cara mendistribusikan kekayaan
tersebut di tengah-tengah masyarakat.
Atas
dasar pandangan di atas, maka menurut Zallum (1983), Az-Zain (1981),
An-Nabhaniy (1990), dan Abdullah (1990), asas-asas yang membangun sistem
ekonomi Islam terdiri dari atas tiga asas, yakni :
(1) bagaimana harta diperoleh yakni menyangkut kepemilikan (al-milkiyah),
(2) bagaimana pengelolaan kepemilikan harta (tasharruf fil milkiyah), serta
(3) bagaimana distribusi kekayaan di tengah masyarakat (tauzi’ul tsarwah bayna an-naas).
Asas Pertama : Kepemilikan (Al-Milkiyyah)
An-Nabhaniy
(1990) mengatakan, kepemilikan adalah izin As-Syari’ (Allah SWT) untuk
memanfaatkan zat (benda) tertentu. Oleh karena itu, kepemilikan tersebut
hanya ditentukan berdasarkan ketetapan dari As-Syari’ (Allah SWT)
terhadap zat tersebut, serta sebab-sebab pemilikannya. Jika demikian,
maka pemilikan atas suatu zat tertentu, tentu bukan semata berasal dari
zat itu sendiri, ataupun dan karakter dasarnya yang memberikan manfaat
atau tidak. Akan tetapi kepemilikan tersebut berasal dari adanya izin
yang diberikan Allah SWT untuk memiliki zat tersebut, sehingga
melahirkan akibatnya, yaitu adanya pemilikan atas zat tersebut menjadi
sah menurut hukum Islam.
Minuman
keras dan babi, misalnya, dalam pandangan ekonomi kapitalis memang
boleh dimiliki, karena zat bendanya memberikan manfaat-manfaat. Tetapi
menurut Islam, minuman keras dan babi tidak boleh dimiliki, karena Allah
SWT tidak memberikan izin kepada manusia untuk memilikinya.
Makna Kepemilikan
Kepemilikan (property), dari segi kepemilikan itu sendiri, pada hakikatnya merupakan milik Allah SWT, dimana Allah SWT adalah Pemilik kepemilikan tersebut sekaligus juga Allahlah sebagai Dzat Yang memiliki kekayaan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
Kepemilikan (property), dari segi kepemilikan itu sendiri, pada hakikatnya merupakan milik Allah SWT, dimana Allah SWT adalah Pemilik kepemilikan tersebut sekaligus juga Allahlah sebagai Dzat Yang memiliki kekayaan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
“Dan berikanlah kepada mereka, harta (milik) Allah yang telah Dia berikan kepada kalian.” (QS. An-Nuur : 33)
Oleh
karena itu, harta kekayaan itu adalah milik Allah semata. Kemudian
Allah SWT telah menyerahkan harta kekayaan kepada manusia untuk diatur
dan dibagikan kepada mereka. Karena itulah maka sebenarnya manusia telah
diberi hak untuk memiliki dan menguasai harta tersebut. Sebagaimana
firman-Nya :
“Dan nafkahkanlah apa saja. yang kalian telah dijadikan (oleh Allah) berkuasa terhadapnya. “(QS. Al-Hadid : 7)
“Dan (Allah) membanyakkan harta dan anak-anakmu.” (QS. Nuh : 12)
Dari
sinilah kita temukan, bahwa ketika Allah SWT menjelaskan tentang status
asal kepemilikan harta kekayaan tersebut, Allah SWT menyandarkan kepada
diri-Nya, dimana Allah SWT menyatakan “Maalillah” (harta kekayaan milik
Allah). Sementara ketika Allah SWT menjelaskan tentang perubahan
kepemilikan kepada manusia, maka Allah menyandarkan kepemilikan tersebut
kepada manusia. Dimana Allah SWT menyatakan dengan firman-Nya :
“Maka berikanlah kepada mereka harta-hartanya. “(QS. An-Nisaa` : 6)
“Ambillah dari harta-harta mereka. “(QS. Al-Baqarah : 279)
“Dan harta-harta yang kalian usahakan.” (QS. At-Taubah : 24)
“Dan hartanya tidak bermanfaat baginya, bila ia telah binasa.” (QS. Al-Lail :11)
Ayat-ayat
di atas menunjukkan bahwa hak milik yang telah diserahkan kepada
manusia (istikhlaf) tersebut bersifat umum bagi setiap manusia secara
keseluruhan. Sehingga manusia memiliki hak milik tersebut bukanlah
sebagai kepemilikan bersifat rill. Sebab pada dasarnya manusia hanya
diberi wewenang untuk menguasai hak milik tersebut. Oleh karena itu agar
manusia benar-benar secara riil memiliki harta kekayaan (hak milik),
maka Islam memberikan syarat yaitu harus ada izin dari Allah SWT kepada
orang tersebut untuk memiliki harta kekayaan tersebut. Oleh karena itu,
harta kekayaan tersebut hanya bisa dimiliki oleh seseorang apabila orang
yang bersangkutan mendapat izin dari Allah SWT untuk memilikinya.
Oleh
karena itu, Allah memberikan izin untuk memiliki beberapa zat dan
melarang memiliki zat yang lain. Allah SWT juga telah memberikan izin
terhadap beberapa transaksi serta melarang bentuk-bentuk transaksi yang
lain. Allah SWT melarang seorang muslim untuk memiliki minuman keras dan
babi, sebagaimana Allah SWT melarang siapa pun yang menjadi warga
negara Islam untuk memiliki harta hasil riba dan perjudian. Tetapi Allah
SWT memberi izin untuk melakukan jual-beli, bahkan menghalalkannya,
disamping melarang dan mengharamkan riba.
Macam-Macam Kepemilikan
Macam-Macam Kepemilikan
Zallum
(1983); Az-Zain (1981); An-Nabhaniy (1990); Abdullah (1990)
mengemukakan bahwa kepemilikan (property) menurut pandangan Islam
dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu : (1). Kepemilikan individu
(private property); (2) kepemilikan umum (collective property); dan (3)
kepemilikan negara (state property).
1) Kepemilikan Individu (private property)
Kepemilikan
individu adalah ketetapan hukum syara’ yang berlaku bagi zat ataupun
manfaat (jasa) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang
mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh
kompensasi dari barang tersebut (jika barangnya diambil kegunaannya oleh
orang lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan
zatnya seperti dibeli). Oleh karena itu setiap orang bisa memiliki
kekayaan dengan sebab-sebab (cara-cara) kepemilikan tertentu.
An-Nabhaniy
(1990) mengemukakan, dengan mengkaji secara komprehemsif hukum-hukum
syara’ yang menentukan pemilikan seseorang atas harta tersebut, maka
akan nampak bahwa sebab-sebab kepemilikan tersebut terbatas pada lima
sebab berikut ini :
(1) Bekerja.
(2) Warisan.
(3) Kebutuhan akan harta untuk mempertahankan hidup.
(4) Harta pemberian negara yang diberikan kepada rakyat.
(5) Harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun.
2). Kepemilikan Umum (collective property)
Kepemilikan
umum adalah izin As-Syari’ kepada suatu komunitas untuk sama-sama
memanfaatkan benda. Benda-benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan
umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh Allah SWT dan
Rasulullah saw bahwa benda-benda tersebut untuk suatu komunitas dimana
mereka masing-masing saling membutuhkan. Berkaitan dengan pemilikan umum
ini, hukum Islam melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang
akan sekelompok kecil orang. Dan pengertian di atas maka benda-benda
yang termasuk dalam kepemilikan umum dapat dikelompokkan menjadi tiga
kelompok:
a.
Benda-benda yang merupakan fasilitas umum, dimana kalau tidak ada di
dalam suatu negeri atau suatu komunitas, maka akan menyebabkan kesulitan
hidup dan masyarakat akan berpencar ke sana kemari mencarinya
Yang
merupakan fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai
kepentingan manusia secara umum. Rasulullah saw telah menjelaskan dalam
sebuah hadits bagaimana sifat fasilitas umum tersebut. Dari lbnu Abbas,
bahwa Nabi saw bersabda:
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga barang, yaitu air, padang rumput, dan api.”(HR. Abu Daud)
Anas
ra meriwayatkan hadits dari lbnu Abbas ra. tersebut dengan menambahkan:
“wa tsamanuhu haram†(dan harganya haram), yang berarti dilarang
untuk diperjualbelikan. lbnu Majah juga meriwayatkan dari Abu Hurairah,
bahwa Nabi saw bersabda :
“Tiga hal yang tidak akan pemah dilarang (untuk dimiliki siapapun) yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Ibnu Majah).
Dalam
hal ini terdapat dalil, bahwa manusia memang sama-sama membutuhkan air,
padang rumput dan api, serta terdapat larangan bagi individu untuk
memilikinya. Namun perlu ditegaskan disini bahwa sifat benda-benda yang
menjadi fasilitas umum adalah adalah karena jumlahnya yang besar dan
menjadi kebutuhan umum masyarakat. Namun jika jumlahnya terbatas seperti
sumur-sumur kecil di perkampungan dan sejenisnya, maka dapat dimiliki
oleh individu dan dalam kondisi demikian air sumur tersebut merupakan
milik individu. Rasulullah saw telah membolehkan air di Thaif dan
Khaibar untuk dimiliki oleh individu-individu penduduk.
Oleh
karena itu jelaslah, bahwa sesuatu yang merupakan kepentingan umum
adalah apa saja yang kalau tidak terpenuhi dalam suatu komunitas, apapun
komunitasnya, semisal komunitas pedesaan, perkotaan, ataupun suatu
negeri, maka komunitas tersebut akan bercerai-berai guna mendapatkannya.
Oleh karena itu, benda tersebut dianggap sebagai fasilitas umum.
b. Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan.
Yang
juga dapat dikategorikan sebagai kepemilikan umum adalah benda-benda
yang sifat pembentukannya mencegah hanya dimiliki oleh pribadi. Hal ini
karena benda-benda tersebut merupakan benda yang tercakup kemanfaatan
umum (kelompok pertama di atas). Yang termasuk ke dalam kelompok ini
adalah jalan raya, sungai, masjid dan fasilitas umum lainnya.
Benda-benda ini dari segi bahwa merupakan fasilitas umum adalah hampir
sama dengan kelompok pertama. Namun meskipun benda-benda tersebut
seperti jenis yang pertama, namun benda-benda tersebut berbeda dengan
kelompok yang pertama, dari segi sifatnya, bahwa benda tersebut tidak
bisa dimiliki oleh individu. Barang-barang kelompok pertama dapat
dimiliki oleh individu jika jumlahnya kecil dan tidak menjadi sumber
kebutuhan suatu komunitas. Misalnya sumur air, mungkin saja dimiliki
oleh individu, namun jika sumur air tersebut dibutuhkan oleh suatu
komunitas maka individu tersebut dilarang memilikinya. Berbeda dengan
jalan raya, mesjid, sungai dan lain-lain yang memang tidak mungkin
dimiliki oleh individu.
Oleh
karena itu, meskipun dalil hadits pada poin a di atas bisa diberlakukan
pada kelompok b ini, yaitu sama-sama sebagai fasilitas umum, tetapi
benda-benda kelompok kedua ini tidak bisa dimiliki individu. Ini
meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, teluk, selat dan
sebagainya. Yang juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi adalah
masjid, tempat-tempat penampungan, dan sebagainya.
c. Bahan tambang yang jumlahnya sangat besar
Bahan
tambang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu bahan tambang yang
sedikit (terbatas) jumlahnya, yang tidak termasuk berjumlah besar
menurut ukuran individu, serta bahan tambang yang sangat banyak (hampir
tidak terbatas) jumlahnya. Barang tambang yang sedikit (terbatas)
jumlahnya termasuk milik pribadi, serta boleh dimiliki secara pribadi,
dan terhadap bahan tambang tersebut diberlakukan hukum rikaz (barang
temuan), yang darinya harus dikeluarkan khumus, yakni 1/5 bagiannya
(20%).
Adapun
bahan tambang yang sangat banyak (hampir tidak terbatas) jumlahnya,
yang tidak mungkin dihabiskan oleh individu, maka bahan tambang tersebut
termasuk milik umum (collective property), dan tidak boleh dimiliki
secara pribadi. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abyadh bin
Hamal, bahwa ia telah meminta kepada Rasulullah saw untuk dibolehkan
mengelola sebuah tambang garam. Lalu Rasulullah saw memberikannya.
Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari majelis tersebut bertanya:
“Wahai
Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya?
Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu bagaikan air yang
mengalir.” Rasulullah saw kemudian menarik kembali tambang tersebut
darinya. (HR. At-Tirmidzi)
Hadits
tersebut menyerupakan tambang garam dengan air yang mengalir, karena
jumlahnya yang sangat besar. Hadits ini juga menjelaskan bahwa
Rasulullah saw memberikan tambang garam kepada Abyadh bin Hamal yang
menunjukkan kebolehan memiliki tambang. Namun tatkala beliau mengetahui
bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang mengalir (jumlahnya sangat
besar), maka beliau mencabut pemberiannya dan melarang dimiliki oleh
pribadi, karena tambang tersebut merupakan milik umum.
Ketetapan
hukum ini, yakni ketetapan bahwa tambang yang sangat besar jumlahnya
adalah milik umum, meliputi semua tambang, baik tambang yang nampak yang
bisa diperoleh tanpa harus susah payah, yang bisa didapatkan oleh
manusia, serta bisa mereka manfaatkan, semisal tambang garam, tambang
batu mulia dan sebagainya; ataupun tambang yang berada di dalam perut
bumi, yang tidak bisa diperoleh selain dengan kerja dan susah payah,
semisal tambang emas, perak, besi, tembaga, timah, bauksit, marmer, dan
sejenisnya. Baik berbentuk padat, semisal kristal ataupun berbentuk
cair, semisal minyak bumi, maka semuanya adalah tambang yang termasuk
dalam pengertian hadits di atas.
3). Kepemilikan Negara (state properti)
Harta-harta
yang terrnasuk milik negara adalah harta yang merupakan hak seluruh
kaum muslimin yang pengelolaannya menjadi wewenang negara, dimana negara
dapat memberikan kepada sebagian warga negara, sesuai dengan
kebijakannya. Makna pengelolaan oleh negara ini adalah adanya kekuasaan
yang dimiliki negara untuk mengelolanya semisal harta fai’, kharaj,
jizyah dan sebagainya.
Meskipun
harta milik umum dan milik negara pengelolaannya dilakukan oleh negara,
namun ada perbedaan antara kedua bentuk hak milik tersebut. Harta yang
termasuk milik umum pada dasamya tidak boleh diberikan negara kepada
siapapun, meskipun negara dapat membolehkan kepada orang-orang untuk
mengambil dan memanfaatkannya. Berbeda dengan hak milik negara dimana
negara berhak untuk memberikan harta tersebut kepada individu tertentu
sesuai dengan kebijakan negara.
Sebagai
contoh terhadap air, tambang garam, padang rumput, lapangan dan
lain-lain tidak boleh sama sekali negara memberikannya kepada orang
tertentu, meskipun semua orang boleh memanfaatkannya secara bersama-sama
sesuai dengan keperluannya. Berbeda dengan harta kharaj yang boleh
diberikan kepada para petani saja sedangkan yang lain tidak. Juga
dibolehkan harta kharaj dipergunakan untuk keperluan belanja negara saja
tanpa dibagikan kepada seorangpun.
Asas Kedua : Pengelolaan Kepemilikan (at-tasharruf fi al milkiyah)
Pengelolaan
kepemilikan adalah sekumpulan tatacara (kaifiyah) –yang berupa
hukum-hukum syaraâ– yang wajib dipegang seorang muslim tatkala ia
memanfaatkan harta yang dimilikinya (Abdullah, 1990).
Mengapa
seorang muslim wajib menggunakan cara-cara yang dibenarkan Asy Syari
(Allah SWT) dalam mengelola harta miliknya? Sebab, harta dalam pandangan
Islam pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. Maka dari itu, ketika
Allah telah menyerahkan kepada manusia untuk menguasai harta, artinya
adalah hanya melalui izin-Nya saja seorang muslim akan dinilai sah
memanfaatkan harta tersebut. Izin Allah itu terwujud dalam bentuk
sekumpulan hukum-hukum syaraâ.
Walhasil,
setiap muslim yang telah secara sah memiliki harta tertentu maka ia
berhak memanfaatkan dan mengembangkan hartanya. Hanya saja dalam
pengelolaan harta yang telah dimilikinya tersebut seorang ia wajib
terikat dengan ketentuan-ketentuan hukum syara’ yang berkaitan dengan
pengelolaan kepemilikan.
Secara
garis besar, pengelolaan kepemilikan mencakup dua kegiatan. Pertama,
pembelanjaan harta (infaqul mal). Kedua, pengembangan harta (tanmiyatul
mal).
1) Pembelanjaan Harta
Pembelanjaan
harta (infaqul mal) adalah pemberian harta tanpa adanya kompensasi
(An-Nabhani, 1990). Dalam pembelanjaan harta milik individu yang ada,
Islam memberikan tuntunan bahwa harta tersebut pertama-tama haruslah
dimanfaatkan untuk nafkah wajib seperti nafkah keluarga, infak fi
sabilillah, membayar zakat, dan lain-lain. Kemudian nafkah sunnah
seperti sedekah, hadiah dan lain-lain. Baru kemudian dimanfaatkan untuk
hal-hal yang mubah. Dan hendaknya harta tersebut tidak dimanfaatkan
untuk sesuatu yang terlarang seperti untuk membeli barang-barang yang
haram seperti minuman keras, babi, dan lain-lain.
2) Pengembangan Harta
Pengembangan
harta (tanmiyatul mal) adalah kegiatan memperbanyak jumlah harta yang
telah dimiliki (An-Nabhani, 1990). Seorang muslim yang ingin
mengembangkan harta yang telah dimiliki, wajib terikat dengan ketentuan
Islam berkaitan dengan pengembangan harta. Secara umum Islam telah
memberikan tuntunan pengembangan harta melalui cara-cara yang sah
seperti jual-beli, kerja sama syirkah yang Islami dalam bidang
pertanian, perindustrian, maupun perdagangan. Selain Islam juga melarang
pengembangan harta yang terlarang seperti dengan jalan aktivitas riba,
judi, serta aktivitas terlarang lainnya.
Pengelolaan
kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan umum (collective
property) itu adalah hak negara, karena negara adalah wakil ummat.
Meskipun menyerahkan kepada negara untuk mengelolanya, namun Allah SWT
telah melarang negara untuk mengelola kepemilikan umum (collective
property) tersebut dengan jalan menyerahkan penguasaannya kepada orang
tertentu. Sementara mengelola dengan selain dengan cara tersebut
diperbolehkan, asal tetap berpijak kepada hukum-hukum yang telah
dijelaskan oleh syara’.
Adapun
pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan negara
(state property) dan kepemilikan individu (private property), nampak
jelas dalam hukum-hukum baitul mal serta hukum-hukum muamalah, seperti
jual-beli, gadai (rahn), dan sebagainya. As Syari’ juga telah
memperbolehkan negara dan individu untuk mengelola masing-masing
kepemilikannya, dengan cara tukar menukar (mubadalah) atau diberikan
untuk orang tertentu ataupun dengan cara lain, asal tetap berpijak
kepada hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh syara’.
Asas Ketiga : Distribusi Kekayaan di Tengah-tengah Manusia
Karena
distribusi kekayaan termasuk masalah yang sangat penting, maka Islam
memberikan juga berbagai ketentuan yang berkaitan dengan hal ini.
Mekanisme distribusi kekayaan terwujud dalam sekumpulan hukum syara’
yang ditetapkan untuk menjamin pemenuhan barang dan jasa bagi setiap
individu rakyat. Mekanisme ini dilakukan dengan mengikuti ketentuan
sebab-sebab kepemilikan (misalnya, bekerja) serta akad-akad muamalah
yang wajar (misalnya jual-beli dan ijarah).
Namun
demikian, perbedaan potensi individu dalam masalah kemampuan dan
pemenuhan terhadap suatu kebutuhan, bisa menyebabkan perbedaan
distribusi kekayaan tersebut di antara mereka. Selain itu perbedaan
antara masing-masing individu mungkin saja menyebabkan terjadinya
kesalahan dalam distribusi kekayaan. Kemudian kesalahan tersebut akan
membawa konsekuensi terdistribusikannya kekayaan kepada segelintir orang
saja, sementara yang lain kekurangan, sebagaimana yang terjadi akibat
penimbunan alat tukar yang fixed, seperti emas dan perak.
Oleh
karena itu, syara’ melarang perputaran kekayaan hanya di antara
orang-orang kaya namun mewajibkan perputaran tersebut terjadi di antara
semua orang. Allah SWT berfirman :
“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr : 7)
Di
samping itu syara’ juga telah mengharamkan penimbunan emas dan perak
(harta kekayaan) meskipun zakatnya tetap dikeluarkan. Dalam hal ini
Allah SWT berfirman :
“Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada
jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan
mendapat) siksa yang pedih.” (QS. At-Taubah : 34)
Secara
umum mekanisme yang ditempuh oleh sistem ekonomi Islam dikelompokkan
menjadi dua, yakni mekanisme ekonomi dan mekanisme non-ekonomi.
Mekanisme Ekonomi
Mekanisme
ekonomi adalah mekanisme melalui aktivitas ekonomi yang bersifat
produktif, berupa berbagai kegiatan pengembangan harta (tanmiyatul mal)
dalam akad-akad muamalah dan sebab-sebab kepemilikan (asbab
at-tamalluk). Berbagai cara dala mekanisme ekonomi ini, antara lain :
1.
Membuka kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab
kepemilikan dalam kepemilikan individu (misalnya, bekerja di sektor
pertanian, industru, dan perdagangan)
2.
Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya pengembangan
harta (tanmiyah mal) melalui kegiatan investasi (misalnya, dengan
syirkah inan, mudharabah, dan sebagainya).
3.
Larangan menimbun harta benda (uang, emas, dan perak) walaupun telah
dikeluarkan zakatnya. Harta yang ditimbun tidak akan berfungsi ekonomi.
Pada gilirannya akan menghambat distribusi karena tidak terjadi
perputaran harta.
4.
Mengatasi peredaran dan pemusatan kekayaan di satu daerah tertentu saja
misalnya dengan memeratakan peredaran modal dan mendorong tersebarnya
pusat-pusat pertumbuhan.
5. Larangan kegiatan monopoli, serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi pasar.
6.
Larangan judi, riba, korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada
penguasa. Semua ini ujung-ujungnya akan mengakumulasikan kekayaan pada
pihak yang kuat semata (seperti penguasa atau konglomerat).
7.
Memberikan kepada rakyat hak pemanfaatan barang-barang (SDA) milik umum
(al- milkiyah al-amah) yang dikelola negara seperti hasil hutan, barang
tambang, minyak, listrik, air dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat.
Mekanisme Non-Ekonomi
Mekanisme
non-ekonomi adalah mekanisme yang tidak melalui aktivitas ekonomi yang
produktif, melainkan melalui aktivitas non-produktif, misalnya pemberian
(hibah, shadakah, zakat, dll) atau warisan. Mekanisme non-ekonomi
dimaksudkan untuk melengkapi mekanisme ekonomi. Yaitu untuk mengatasi
distribusi kekayaan yang tidak berjalan sempurna jika hanya mengandalkan
mekanisme ekonomi semata.
Mekanisme
non-ekonomi diperlukan baik karena adanya sebab-sebab alamiah maupun
non-alamiah. Sebab alamiah misalnya keadaan alam yang tandus, badan yang
cacat, akal yang lemah atau terjadinya musibah bencana alam. Semua ini
akan dapat menimbulkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan terhambatnya
distribusi kekayaan kepada orang-orang yang memiliki keadaan tersebut.
Dengan mekanisme ekonomi biasa, distribusi kekayaan bisa tidak berjalan
karena orang-orang yang memiliki hambatan yang bersifat alamiah tadi
tidak dapat mengikuti kompetisi kegiatan ekonomi secara normal
sebagaimana orang lain. Bila dibiarkan saja, orang-orang itu, termasuk
mereka yang tertimpa musibah (kecelakaan, bencana alam dan sebagainya)
makin terpinggirkan secara ekonomi. Mereka akan menjadi masyarakat yang
rentan terhadap perubahan ekonomi. Bila terus berlanjut, bisa memicu
munculnya problema sosial seperti kriminalitas (pencurian, perampokan),
tindakan asusila (pelacuran) dan sebagainya, bahkan mungkin revolusi
sosial.
Mekanisme
non-ekonomi juga diperlukan karena adanya sebab-sebab non-alamiah,
yaitu adanya penyimpangan mekanisme ekonomi. Penyimpangan mekanisme
ekonomi ini jika dibiarkan akan bisa menimbulkan ketimpangan distribusi
kekayaan. Bila penyimpangan terjadi, negara wajib menghilangkannya.
Misalnya jika terjadi monopoli, hambatan masuk (barrier to entry) –baik
administratif maupun non-adminitratif– dan sebagainya, atau kejahatan
dalam mekanisme ekonomi (misalnya penimbunan), harus segera dihilangkan
oleh negara.
Mekanisme
non-ekonomi bertujuan agar di tengah masyarakat segera terwujud
keseimbangan (al-tawazun) ekonomi, yang akan ditempuh dengan beberapa
cara. Pendistribusian harta dengan mekanisme non-ekonomi antara lain
adalah :
1. Pemberian harta negara kepada warga negara yang dinilai memerlukan.
2. Pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada para mustahik.
3. Pemberian infaq, sedekah, wakaf, hibah dan hadiah dari orang yang mampu kepada yang memerlukan.
4. Pembagian harta waris kepada ahli waris dan lain-lain.
Demikianlah
gambaran sekilas tentang asas-asas sistem ekonomi Islam. Untuk
memberikan pemahaman yang lebih luas dan dalam, maka perincian seluruh
aspek yang dikemukakan di atas perlu dilakukan. Wallahu a’lam bishawab.
oleh: M. Shiddiq al-Jawi
jurnal-ekonomi.org
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.H. 1990. Dirasat fil Fikril Islami. Beirut : Darul Bayariq
An-Nabhaniy,T. 1990. An-Nizham Al-lqtishadi Fil Islam. Beirut : Darul Ummah.
Az-Zain,
S. A. 1981. Syari’at Islam : Dalam Perbincangan Ekonomi, Politik dan
Sosial Sebagai Studi Perbandingan (Terjemahan). Bandung : Husaini.
Zallum, A.Q. 1983. Al-Amwal fi Daulah Al Khilafah. Beirut : Darul llmu lil Malayiin.
0 komentar:
Posting Komentar