14 Maret 2013
Akmal Sjafril
Setelah
gegap-gempita Pilgub Jabar dan Sumut berlalu, muncullah berbagai
analisis seputar proses demokrasi yang baru dijalankan. Dari kelompok
yang bersikap skeptis – bahkan apatis – kepada parpol dan sistem yang
berlaku di negeri ini, sebuah pernyataan mengemuka: Golput telah menang!
Kata
“Golput” atau “Golongan Putih” sering dipakai orang pada era Orde Baru.
Ada suasana yang khas pada masa-masa itu yang menyebabkan nama ini
terasa pas untuk digunakan. Salah satunya adalah identifikasi diri para
peserta pemilu pada masa itu dengan warna-warna tertentu, dan peserta
pemilunya hanya tiga (dengan sendirinya, warnanya pun cuma tiga). Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) identik dengan warna hijau, Golongan Karya
(Golkar) identik dengan warna kuning, dan Partai Demokrasi Indonesia
(PDI) identik dengan warna merah.
Begitu
identiknya para peserta pemilu dengan tiga warna itu, sehingga di musim
kampanye pun orang terpaksa berpikir masak-masak hendak mengenakan baju
apa ketika keluar rumah. Kalau hari itu jadwal kampanye PDI, misalnya,
rasanya was-was kalau jalan-jalan pakai baju kuning. Fanatisme partai
pun berujung pada fanatisme warna. Begitu pentingnya masalah warna ini,
sampai-sampai Megawati Soekarnoputri – ketika menjabat sebagai Presiden
menggantikan Gus Dur – sangat sering terlihat mengenakan setelan pakaian
berwarna merah dengan berbagai variasi model dan coraknya.
Dalam
suasana seperti itulah, di mana rakyat selama bertahun-tahun hanya
boleh memilih satu di antara tiga warna, muncul kelompok ‘baru’ yang
menyebut dirinya ‘golongan tanpa warna’, meskipun akhirnya mereka
memilih sendiri warna putih sebagai representasinya. Maka muncullah nama
“Golput”, sebagai semacam tandingan atas golongan hijau, kuning dan
merah tadi.
Sejak
era reformasi, masih banyak partai yang mengidentifikasi dirinya
melalui warna, meskipun sudah tidak menjadi ‘kewajiban’ lagi. Warna
biru, misalnya, identik dengan Partai Amanat Nasional (PAN) atau Partai
Demokrat (PD). Warna merah masih identik dengan PDI-Perjuangan (PDIP).
Warna kuning masih ‘milik’ Golkar, sedangkan warna kuning yang agak
berbeda (agak dekat ke jingga) digunakan oleh Partai Hati Nurani Rakyat
(Hanura). Warna hijau sudah banyak sekali yang menggunakan, yaitu dari
partai-partai Islam selain Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Yang disebut
terakhir ini malah anomali. Sebab, meski logonya menggunakan warna
hitam dan kuning, ternyata yang lebih dominan dalam pakaian dan asesoris
kader-kader PKS justru putih. Untuk warna kedua setelah putih, PKS
bersikap ‘luwes’ dengan warna-warna lainnya. Dalam Pilgub Jabar 2013
tempo hari, misalnya, warna yang digunakan oleh kandidat dari PKS adalah
putih dan merah.
Kembali
pada klaim ‘kemenangan Golput’, kita dapat menjadikan Pilgub Jabar 2013
sebagai studi kasus. Sebuah lembaga survei mengatakan bahwa sekitar 35%
warga Jabar yang berhak memilih tidak menggunakan hak pilihnya.
Sementara itu, perolehan suara pasangan Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar –
sebagai pemenang Pilgub – tidak sampai jumlah itu. Artinya, jumlah
Golput lebih banyak daripada jumlah pemilih Aher-Deddy. Tapi apakah
dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa Golput telah menang dalam
Pilgub Jabar?
Jika kita amati, ada beberapa kesalahan logika yang mendasari pengambilan kesimpulan ini. Pertama,
kesalahan dalam mendudukkan Golput sebagai ‘lawan’ dari kandidat
Aher-Deddy. Jika logika yang demikian digunakan, maka seolah-olah ‘jika
tidak memilih Aher-Deddy pastilah ia Golput’. Padahal, kenyataannya,
yang tidak Golput dihadapkan pada lima pilihan, dan kandidat Aher-Deddy
hanya satu dari kelima pilihan tersebut. Dengan demikian, ‘lawan’ atau
pembanding yang tepat untuk Golput sesungguhnya bukan salah satu dari
kelima kandidat tersebut, melainkan keseluruhannya. Dengan demikian,
kita seharusnya menyebutkan bahwa ada sekitar 35% yang Golput, namun
masih ada 65% yang non-Golput. Artinya, Golput-lah yang sebenarnya kalah
telak.
Kedua,
jika kita menganalisis secara lebih mendalam lagi ketimbang yang sudah
dilakukan pada paragraf sebelumnya, kita pun akan menyadari bahwa Golput
sebagai satu golongan sebenarnya adalah sebuah ‘ilusi’. Pada
hakikatnya, Golput bukanlah satu golongan, melainkan banyak golongan
yang kebetulan membuat keputusan yang di atas permukaan terlihat sama,
yaitu keputusan untuk tidak memilih (dalam hal ini, tidak memilih pada
Pilgub Jabar). Meski pada tataran perbuatannya sama, bukan berarti
motifnya sama pula.
Mereka
yang tidak memilih bisa jadi memiliki banyak alasan yang berbeda. Ada
yang tidak memilih karena menganggap berdemokrasi itu haram. Ada pula
yang tidak memilih karena sedang dirawat di rumah sakit. Ada yang
mendapat musibah pada hari pencoblosan, sehingga tidak bisa memilih. Ada
yang sudah bersikap apatis kepada semua parpol, ada yang tidak apatis
pada parpol, namun tidak menemukan satu kandidat pun yang dianggapnya
cocok untuk dipilih. Mungkin ada juga yang dulunya habis-habisan
mendukung kandidat tertentu, namun apa dinyana kandidat yang didukungnya
tidak diloloskan oleh KPU. Karena itu, ia memutuskan untuk tidak
memilih saja. Ada juga yang secara kebetulan sudah memiliki agenda lain
yang sudah dipastikan sejak jauh-jauh hari, dan kebetulan agenda itu
jatuh pada hari pencoblosan, sehingga ia tidak bisa memilih. Yang
terakhir ini terjadi pada penulis sendiri. Dan, tentu saja, ada juga
golongan yang tidak memilih karena memang tidak peduli. Tidak semuanya
menganggap Pilgub itu penting, bukan?
Jelaslah
bahwa Golput – meski disebut demikian – bukanlah satu golongan. Dengan
demikian, Golput sebenarnya tidak mudah untuk dijadikan bahan analisis,
sebab motif dan pendapat mereka berbeda-beda. Lain halnya dengan mereka
yang memilih, yang sudah menentukan pilihannya dengan jelas.
Dari
perspektif kedua ini pun, agaknya kita tidak bisa mengatakan bahwa
Golput telah menang. Andai pun ingin mengatakan demikian, tidaklah jelas
ke mana kemenangan itu akan disematkan, sebab Golput terdiri dari
banyak golongan.
Selanjutnya,
kita pun dapat mengatakan bahwa Golput yang 35% itu tidak mungkin
dinyatakan sebagai pemenang, sebab ia tidak membawa pengaruh yang pasti
pada kemenangan atau kekalahan kandidat yang bertarung di Pilgub.
Setelah Pilgub pun, Golput harus berjuang keras untuk menyampaikan
aspirasinya, sebab mereka tidak punya perwakilan di mana-mana. Bisa saja
mereka berdemonstrasi kelak untuk menyampaikan pendapat, namun semua
orang pun tahu bahwa demonstrasi memiliki dimensinya sendiri yang
berlainan lagi dengan Pilgub. Lagi pula, siapa yang bilang bahwa mereka
yang Golput di suatu Pilkada kelak akan kompak menyuarakan aspirasinya?
Dengan logika tersebut, lagi-lagi, kita tidak menemukan bukti
‘kemenangan Golput’.
Yang
lebih mengenaskan lagi, menurut penulis, adalah ketika sekelompok
aktivis Islam mereduksi Golput menjadi ‘anti demokrasi’, atau yang
disingkatnya menjadi golongan Andem. Menurutnya, karena jumlah Golput di
Pilgub Jabar sudah lebih besar daripada jumlah pemilih Aher-Deddy, ini
membuktikan ‘kemenangan dakwahnya’ sendiri, yaitu dakwah yang
mengumandangkan sikap anti demokrasi.
Sudah
barang tentu, analisis ini jauh lebih lemah lagi daripada yang
sebelum-sebelumnya. Sebab, mensubstitusi Golput dengan Andem sudah jelas
tidak tepat. Sebab, sekali lagi, Golput bukanlah satu golongan. Mereka
yang tidak memilih belum tentu anti demokrasi, melainkan bisa jadi
karena beberapa alasan yang sudah disebutkan di atas. Bahkan mungkin ada
pula yang tidak memilih karena menganggap Pilgub Jabar justru tidak
demokratis (bagaimana pun, kemungkinan itu ada!). Lebih parah lagi jika
fenomena banyaknya Golput ini dianggap sebagai hasil dari ‘dakwah anti
demokrasi’. Pasalnya, yang tidak memilih belum tentu anti demokrasi,
yang anti demokrasi pun belum tentu dilandasi oleh alasan-alasan agama,
dan mereka pun belum tentu Muslim. Berapa banyak warga Non-Muslim yang
tidak memilih? Apakah pilihan mereka ini adalah hasil dari kerja ‘dakwah
anti demokrasi’? Berapa banyak Muslim yang tidak memilih karena tidak
peduli? Apakah ini juga hasil dari kerja ‘dakwah’?
Sesungguhnya,
memilih atau tidak memilih adalah hak setiap warga negara yang harus
dihormati. Demikian juga sikap pro-kontra seputar sistem demokrasi yang
berlaku di negeri ini, semuanya harus dihormati. Segala diskusi dan
perdebatan yang berkembang niscaya memperkaya umat, selama ia dilandasi
oleh keilmuan yang mendalam, yang tercermin dari kualitas
argumen-argumen dan analisis yang diajukan. Hanya dengan ilmulah kita
bisa memuliakan Islam. Oleh karena itu, debat tanpa ilmu semestinya
disudahi dan jangan sampai dilakukan lagi. Klaim-klaim yang tidak
berdasarkan ilmu – jika dilakukan oleh para aktivis dakwah Islam – hanya
akan mempermalukan Islam.
0 komentar:
Posting Komentar